JQH, KOLOM  

Hikmah Memperhatikan Makanan Kita (Renungan atas QS. Abasa (80) : 24)

Gus Fatih
Gus Fatih
Gus Fatih

Kita pasti sudah tidak ingat berapa banyak ragam makanan yang pernah kita santap, sejak kecil hingga dewasa. Mulai dari makanan tradisional hingga modern. Pernahkah kita berpikir, bahwa ada tahapan dan proses panjang dalam setiap makanan yang kita konsumsi? Nasi yang setiap hari kita makan, sejatinya telah melalui tahapan dan proses panjang, mulai dari tahap pembuatan bedengan untuk pembibitan padi, persemaian atau pembibitan padi, penyiapan lahan, penanaman, pengaturan irigasi, pemupukan, pengendalian hama, pemanenan, pengeringan, dan penyelepan menjadi beras.

Setiap tahapan dan proses tersebut melibatkan tidak sedikit orang, waktu, biaya, energi, keterampilan, keahlian, teknologi, bahkan suasana batin yang tak semuanya terucapkan. Ini baru nasi. Belum lagi sayuran, lauk pauk, hidangan pembuka-penutup, dan camilan yang kita konsumsi. Ada proses dan tahapan hingga menjadi sajian yang siap santap di atas meja. Di sana terbentuk ruang-ruang tawa, tangis, cucuran keringat, ungkapan sambat, panjatan do’a, ekspresi syukur bahkan juga umpatan dan kejengkelan.

Dalam surat ‘Abasa ayat 24, Allah memerintahkan manusia agar memperhatikan makanannya.

فَلۡيَنظُرِ ٱلۡإِنسَٰنُ إِلَىٰ طَعَامِهِۦٓ ٢٤

Muhammad Asad dalam The Message of the Quran menerjemahkan ayat ini dengan “Maka hendaklah manusia memperhatikan (sumber-sumber) makanannya”. Dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, lafadz yang tersusun dari akar kata نظر  dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang lebih dari 100 kali dalam al-Qur’an. Prof. Quraish Shihab berpendapat, kata الى (ilaa, kepada) yang dirangkai dengan kata ينظر  (yandzuru, melihat / memperhatikan) bertujuan untuk mendorong manusia melihat dan memperhatikan hingga batas akhir yang ditunjuk oleh kata الى itu, dalam hal ini adalah makanan. Sehingga pandangan dan perhatian benar-benar menyeluruh dan komprehensif agar menghasilkan bukti tentang kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Syeikh Mutawalli asy-Sya’rawi menyatakan, bahwa pada ayat ini Alloh hendak menegaskan tentang sifat kemakuasaan (al-Qudrah) dan maha mengatur/mengurusi makhluk-Nya (al-Qayyumiyyah).

Menurut Imam ar-Rozi, perintah memperhatikan makanan dalam ayat ini bertujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran tentang bagaimana suatu makanan itu diproses hingga menjadi sajian siap dikonsumsi, dan bagaimana makanan tersebut diproses dalam tubuh manusia sehingga menjadi energi yang bermanfaat bagi kehidupannya. Dengan memahami dan menghayati hal ini, kita akan lebih menghargai setiap makanan yang kita miliki. Tidak berlaku tabdzir, israf, meremehkan masakan istri, dan terdorong untuk berusaha menggunakan energi yang dihasilkan dari makanan tersebut untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat, sebagai ungkapan syukur kita kepada Allah SWT.

Secara panjang lebar, Imam al-Ghazali mengulas bagaimana cara dan mekanisme Allah dalam mengatur urusan makanan, mulai dari menyiapkan sumber-sumbernya, bahan mentahnya, peralatan dan material industrinya, sarana transportasinya, dan seterusnya sehingga makanan bisa hadir dan dijumpai di setiap tempat.

Beliau menyatakan tidak semua hasil tanaman dan binatang bisa langsung dipatahkan, lalu dimakan oleh manusia. Ada proses dan tahapan sebelum ia menjadi sajian siap dikonsumsi; dibersihkan, dibuang bagian-bagian tertentu, dimasak, dan seterusnya. Sepotong roti bermula dari biji gandum yang ditanam oleh petani di ladang yang sebelumnya telah ia persiapkan, lalu disirami selama beberapa waktu, dibersihkan dari rumput hingga tiba saatnya panen. Setelah dipetik, dibersihkan, lalu digiling sehingga menjadi tepung lalu diolah menjadi adonan roti, sehingga hadirlah sepotong roti yang siap disantap.

Tahapan dan proses ini melibat sekian banyak orang dan beragam, peralatan. Untuk membuat peralatan-peralatan itu pasti dibutuhkan materi atau bahan seperti besi, kayu, batu, timah, tembaga, dan lain-lain. Pada titik inilah, Allah menciptakan gunung, batu, barang tambang dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk bahan industri peralatan-peralatan di atas.

Uraian ini memberikan gambaran bahwa sepotong roti atau makan lain yang siap kita santap di atas meja membutuhkan proses panjang yang melibatkan banyak orang, keterampilan, keahlian, peralatan berikut material produksinya. Tidak semua orang bisa membuat sendiri peralatan-peralatan tersebut. Allah memberikan ilham dan petunjuk dalam keterampilan tersebut kepada sebagian orang, dan tidak memberikannya kepada sebagian yang lain. Maka, tidak sepatutnya kita memandang rendah profesi atau pekerjaan tertentu yang dianggap asor/remeh, karena nyata-nyata kita tidak mampu membuatnya sendiri tetapi membutuhkan jasa dan keahlian mereka.

Pada sisi lain, manusia hidup tersebar di mana-mana, sedangkan makanan dan segala kebutuhan tidak seluruhnya dijumpai di setiap tempat. Ada sebagian orang yang hidup terpencil. Untuk menjangkaunya tak jarang harus menyeberangi lautan atau menembus gurun sahara. Alloh memiliki strategi dan mekanisme untuk meratakan makanan dan kebutuhan sehingga bisa menjangkau manusia di mana pun ia berada. Alloh menciptakan binatang-binatang dengan karakter tertentu yang sesuai dengan kondisi alam dan derajat kepentingan manusia, seperti unta yang tahan haus dan lapar meski membawa muatan berat melintasi gurun sahara. Keledai yang penyabar dengan muatan berat di punggungnya, kuda dengan kecepatan gerak dan larinya. Alloh juga mengilhami manusia menciptakan kapal, perahu, dan lainnya sebagai alat transportasi laut untuk mengusung makanan dan aneka kebutuhan manusia.

Pemerataan distribusi makanan ini juga terbantu oleh adanya sifat cinta harta dan nafsu meraup keuntungan besar yang melekat dalam diri sebagian orang, hingga ia rela menyeberangi lautan, menembus gurun sahara, untuk melakukan aktivitas perdagangan demi meraih keuntungan materi, meskipun nyawa dan keselamatan jiwa menjadi taruhannya. Ombak besar mereka abaikan, ancaman perompak di tengah laut dan pembegal di tengah gurun sahara luas terkalahkan oleh bayangan meraup keuntungan. Inilah bagian dari Allah mengatur distribusi makanan sehingga menjangkau daerah luas di mana saja manusia tinggal dan menetap.

Ternyata makanan memiliki spektrum yang sangat luas dan multi dimensi. Dari sektor makanan, muncul berbagai cabang profesi dan keahlian, disiplin ilmu, teknologi, kreatifitas, dan ladang pekerjaan-pekerjaan baru yang bermanfaat bagi kehiduan manusia. Inilah sekelumit makna dan fungsi serta barokah dari perintah Allah dalam surat ‘Abasa ayat 24 agar manusia memperhatikan asal, sumber, dan proses tersajinya makanannya. Memperhatikan dan merenungkan setiap tahapan ini akan menjadikan kita semakin meyakini kekuasaan, kebesaran, dan Rububiyah Allah SWT.  Wallohu A’lam bisshowab.  

Penulis :

Dr. H. M. Fatih Masrur

(Dewan Pakar LPTNU Kab. Mojokerto Masa Khidmat 2018 – 2023, Katib Majelis Ilmi JQHNU Kab. Mojokerto Masa Khidmat 2020 – 2025, dan Pengasuh PPTQ An-Nawawiy, Mengelo Utara, Sooko Mojokerto)

 

Bahan Bacaan :

Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin

Imam Fakhruddin Ar-Rozi, Tafsir Mafatihul Ghaib

Syeikh Mutawalli asy-Sya’rowi, Tafsir wa Khawathir Imam Mutawalli asy-Sya’rowi

Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil Qur’an

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah

Muhammad Asad, The Message of the Quran