KOLOM  

Viral, Hoaks dan Anjuran Menyikapinya

 

Arus informasi zaman sekarang sudah tidak terbendung lagi pergerakan dan kapasitasnya. Semua orang memiliki akses yang tak terbatas untuk mendapatkan. Hal tersebut tidak terlepas dari semakin membuminya keberadaan gadget di genggaman, dengan layanan internetnya. Dengan gadget di tangan, semua orang bisa bebas menyebarkan informasi yang berada disekitarnya.

Namun kondisi tersebut bagaikan pisau bermata dua. Dengan tidak terbatasnya ruang lingkup  informasi, nilai kebenaran yang disampaikan tidak terjamin keabsahannya. Karena pembuat informasi memiliki berbagai tendensi kepentingan mengenai isi tulisan. Bisa dibilang, informan memiliki tujuan yang diselipkan dalam penyebaran informasi atau biasa yang biasa disebut misiinformasi. Maka tidak jarang informasi-informasi yang tersebar belakangan ini sudah diolah sedemikian rupa agar maksud dan tujuannya tercapai. Semua bisa membuat dan menyebarkan informasi dengan mudah dalam jangkauan yang luas.

Bahkan, banyak informasi yang dibuat hanya untuk mengejar ke-viral-an semata. Tentu hal tersebut tidak sulit untuk dilakukan mengingat semakin menjamurnya keberadaaan platform-platform media sosial, semacam instagram, facebook, youtube dan masih banyak yang lainya. Tidak adanya filter atau kendali mengenai unggahan membuat informan bisa seenaknya menyebarkan informasi. Hal itu mengakibatkan informasi sampah maupun informasi hoaks bertebaran dijagad dunia maya.

Sebagai gambaran, menurut beberapa pengamat, hampir 68% pembaca Indonesia terjangkit FOMO ( fear of missing out ) atau perasaan takut untuk ketinggalan. Dan bahayannya lagi, 60% dari 68 % pembaca Indonesia yang terjangkit FOMO sangat riskan terpapar informasi hoaks. Dari gambaran sederhana itu, bisa kita lihat bersama bahwa bobot informasi sudah tidak diperhatikan lagi.

Baca Juga:  Upaya Media Pondok se-Jawa Timur Memberantas Objektivikasi dan Eksploitasi Konten Santri Putri

Hal tersebut semakin diperparah dengan besarnya nafsu untuk menyebarkan informasi tersebut. Semua orang seakan merasa wajib untuk menyebarkan informasi yang didapat karena ketidakmampuan mereka memfilter dan memanejemen informasi yang masuk ke otak mereka. Tentu ini memiliki imbas yang buruk, tidak hanya kepada individu tapi juga secara sosial luas. Menimbulkan keresahan akibat kesimpang siuran kebenaran yang mereka dapat.

Tapi pencegahan penyebaran informasi sampah yang hanya mengejar rating tayangan atau mengejar keviralan adalah sebisa mungkin kita mau untuk memberi informasi pembanding yang berdasarkan fakta dan data. Penyajian informasi yang obyektif.  Sebagaimana etos seorang jurnalis, memberikan informasi yang jujur dan sesuai fakta. Karena meluasnya penyebaran informasi yang unfaedah bisa jadi bermula dari kurangnya informasi yang benar. Volume informasi “viral” harus dilawan dengan memperbanyak informasi fakta yang nyata serta mendidik. Menumbuhkan sifat intelegensi pembaca untuk mendapatkan kebenaran mengenai suatu hal. Agar masyarakat terdidik dan terbiasa mendapatkan informasi yang benar. Sehingga bisa dijadikan filter ataupun pembanding. Karena pada hakikatnya nilai viral bukan pada informasinya melainkan pada manusia pembacanya.

Penjelasan-penjelasan di atas mendapat peneguhan bila merunut isi ayat ke-6 dari QS. Al-Hujurat,: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal”.  Dari ayat tersebut kita bisa mentadaburi, pentingnya mencari sangka-paran suatu kebenaran dari sebuah informasi.

Baca Juga:  Nabi Ibrohim Persasat Bapak Kulo

Jurnalisme sekarang benar-benar berubah haluan. Adanya ruang maya memberi semacam “nafsu” untuk menjadi yang paling awal mendapatkan sesuatu hal. Tidak melihat nilai manfaat dan kemaslahtananya. Jadi tidak jarang informasi yang menghebohkan lebih memiliki daya tarik. Berbanding terbalik dengan jurnalis yang membuat informasi berdasarkan fakta dan data. Mereka mengalami semacam oase. Kekeringan minat baca. Tentu tidak bisa disalahkan secara sepihak. Sekali lagi selain penyedia, titik berat anomali ini juga ada pada pembacaannya. Karena pada hakikatnya nilai viral dan hoaks tidak berada pada informasinya, melainkan kepada manusia pembacanya. Semoga saja, kita bisa belajar ikut “urun informasi” yang sesuai fakta. Agar mampu mengubah iklim yang ada sekarang ini menjadi lebih baik. Karena iklim yang baik akan menumbuhkan populasi yang baik. Informasi yang baik akan melahirkan masyarakat yang kondusif dan terdidik.

Rahmat Wahyudi (Anggota LTN NU Kab. Mojokerto)