Program sekolah gratis yang dipropagandakan oleh para politisi untuk mendapatkan simpati pemilihnya benar benar berbuntut panjang. Masyarakat memahami bahwa sekolah gratis itu tidak berbiaya sama sekali. Mulai dari seragam, buku, dan lain lain. Semuanya gratis.
Berbeda dengan pihak sekolah, sekolah gratis dipahami hanya pada hal-hal tertentu terkait biaya operasional sekolah.
Berdasarkan data dari bos.kemdikbud.go.id, dana bantuan operasional sekolah (BOS) reguler yang diberikan untuk SD Rp 900.000 per siswa per tahun. Jenjang SMP menerima Rp1.050.000 per siswa per tahun. Jenjang SMA Rp. 1.500.000. Makin banyak jumlah peserta didik di satu sekolah, makin banyak juga BOS yang diberikan untuk sekolah itu.
Sementara itu, setiap sekolah di tingkat kabupaten/kota juga dapat BOS daerah dari pemkab atau pemkot. Kabupaten Mojokerto memberikan BOS daerah pada 2024 di jenjang SD-SMP dengan ploting sebesar Rp 5,4 miliar. Rincinya Rp 2,8 miliar bagi jenjang SD, dan Rp 2,5 miliar untuk jenjang SMP selama setahun. Anggaran fantastis itu digunakan untuk pengadaan seragam kain batik.
Sedang Kota Mojokerto, menggerojok BOS daerah senilai Rp 75 ribu per bulan setiap siswa untuk jenjang SD. Rp 92 ribu per bulan untuk jenjang SMP. BOS daerah inilah yang biasanya digunakan sekolah untuk melakukan renovasi kecil. Seperti mengecat musala atau perpustakaan, dan memperbaiki toilet.
Sedang SMA?
Selama ini SMA memperoleh pendanaan dari BOS, BPOPP dan Dana Partisipasi masyakarat. Untuk penggunaan dana BOS dan BPOPP, diberikan sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan. Diluar ketentuan itu, tidak diperbolehkan. Karenanya ada kebutuhan sekolah yang tidak bisa dicover oleh BOS maupun BPOPP. Mereka kemudian menggunakan dana partisipasi masyarakat.
Meskipun sudah diketahui secara jamak bahwa dana partisipasi itu berdasar Permendikbud Nomor 75/2016, tentang Komite Sekolah, di Pasal 3 ayat (1) huruf b berbunyi, dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, komite sekolah bertugas menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat.
Tetapi fakta dilapangan, seringkali penggalangan dana partisipasi bermasalah. Masyarakat dalam hal ini LSM, kerap kali melaporkan sekolah telah melakukan pungutan liar.
Karena kerapkali dilaporkan dan diberitakan jelek oleh wartawan Bodrex, beberapa kepala sekolah yang penulis temui ingin, ” kalau memang dana awal tahun dan dana partisipasi dimasalahkan, tidak masalah kalau tidak ada. Tetapi jangan disalahkan kalau sekolah hanya fokus pada akademik saja. Untuk pengembangan diri dan lain lain tidak usah dilaksanakan.
Pun halnya tak usah lagi, ada LKS, seragam, kalender pendidikan, majalah, kartu pelajar, kunjungan studi ke campus, outing class, atau pelaksanaan gelar karya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), wisuda, Diklat, seminar dan pelatihan pelatihan.
Mau dibawa kemana pendidikan kita?
Isno M.Pd.I
Ketua LTN NU Kab Mojokerto Tahun 2019-2024