Transformasi Fatayat NU Pacet, Bangkit Bersama, Berdaya Bersama

Pacet, NU Online Mojokerto – 

Seperti yang diketahui, Fatayat Nahdlatul Ulama merupakan organisasi pemudi (wanita muda) Islam, merupakan salah satu badan otonom di lingkungan Nahdlatul Ulama yang resmi didirikan di Surabaya, 24 April 1950 M atau bertepatan dengan 7 Rajab 1369 H.

Mengingat perjuangan masa lalu, pelopor pendirian Fatayat NU terkenal dengan sebutan “tiga serangkai”. Tiga serangkai ini beranggotakan tiga orang wanita tangguh yang memiliki pemikiran luar biasa tentang pentingnya organisasi pemudi Islam masa itu. Ketiga wanita tangguh ini adalah Khuzaemah Mansur, Aminah Mansur, dan Murtosijah Chamid.

Dalam perjalanannya, selain tantangan eksternal terkait keanggotaan, ketiga wanita ini harus berjuang meyakinkan organisasi induknya, yaitu Nahdlatul Ulama untuk menyetujui pendirian organisasi ini. Usaha dan niat yang baik akan selalu mendapatkan jalan dari Allah SWT. Singkatnya, Fatayat NU ini berhasil didirikan dan dapat disaksikan eksistensinya sampai saat ini.

Rahasia umum jika langkah awal dalam berorganisasi sangatlah berat. Hal yang sama pun dialami Fatayat NU kecamatan Pacet. Menjadi wilayah di kaki Gunung Welirang, tentu banyak tantangan. Pola pikir masyarakat yang belum terbuka terhadap hal baru menjadi kendala utama di masa lalu. Namun, tentang itu dapat diatasi dengan baik, sebab sampai saat ini, Fatayat NU Pacet masih kokoh eksis dan berdiri.

Fatayat NU Pacet bermula dari seorang ketua yang bernama Ibu Sanawiyah. Beliau adalah ketua Fatayat NU Pacet yang pertama. Disusul dengan Ibu Supi’ah sebagai ketua Fatayat NU yang kedua. Tongkat estafet masih berlanjut dengan kepemimpinan Ibu Asfiyatin selama dua periode, dan dilanjutkan oleh Ibu Hanik Muni’ah sebagai ketua Fatayat NU hingga saat ini.

Rekam jejak perubahan juga tampak pada seragam Fatayat yang mengalami perkembangan. Dari yang dahulu masih menggunakan jarik atau sewek lengkap dengan jilbab segitiga berenda dan kebayanya, menjadi rok maxi dan atasan serupa blazer yang lebih elegan. Mungkin, seragam yang dahulu, sangat kental dan menyatu dengan ras atau etnis wilayah Jawa. Hal ini tentu sangat menarik dan membanggakan. Namun, Fatayat NU bukan hanya untuk orang Jawa.

Perkembangan Fatayat NU di seluruh penjuru negeri, menuntut semua harus disamakan. Seperti bahasa, memiliki bahasa persatuannya, pun dengan seragam Fatayat ini harus memiliki seragam kesatuannya. Maka, seragam terbaru yang bertahan sampai saat ini merupakan pilihan terbaik untuk semua pihak.

Sepanjang perjalanannya, penguatan kader yang ditempuh adalah melalui aktivitas berbau pendidikan. Sedang, di Pacet, Fatayat NU memilih giat rutinan sebagai sarana penguatan kader. Rutinan tersebut meliputi pembacaan diba’ barzanji, khotmil qur’an, majelis taklim atau ngaji kitab. Rutinan pada masa itu sangat eksotis. Bagaimana, tidak? Para anggota Fatayat harus berjalan kaki sedangkan rutinan dilaksanakan secara bergilir di rumah-rumah anggota. Toa atau pengeras suara masih bertiang bambu. Belum lagi harus membayar iuran atau kas. Bisa dibayangkan, kondisi sesulit itu tidak menyurutkan semangat para Fatayat masa itu. Bagaimana dengan masa kini?

Rutinan ini terus berjalan hingga saat ini. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan kondisi dan sarana yang lebih mudah. Ditambah program-program by moment yang lain, menambah chemistry antar anggota. Tak terasa sudah 72 tahun usia Fatayat NU di negeri ini. Harapan terbaik semoga tercapai di periode ini, khususnya Fatayat NU Pacet. Dengan slogan “Bangkit bersama, berdaya bersama”, semoga dapat meningkatkan kinerja dan sumber daya manusia wanita muda Islam Pacet tercinta. Selamat Harlah yang ke-72, Fatayat NU Pacet.

Kontributor: Zanit, LTN NU Pacet