KOLOM  

Refleksi Syukur

Gus Fatih
Dr. H. M. Fatih Masrur, M.Fil.I (Dewan Pakar LPTNU Kab. Mojokerto Masa Khidmat 2018-2023. Katib Majelis Ilmi JQHNU Kab. Mojokerto Masa Khidmat 2020-2025. Kabid. SDM JHQ Kab-Kota Mojokerto Masa Khidmat 2016-2021. Pengasuh PPTQ An-Nawawiy, Mengelo Utara, Sooko Mojokerto)

 

Nikmat Allah sangat banyak. Tak terhingga. Sangking banyaknya, kita kadang tidak menyadarinya. Udara, sinar matahari, pergantian siang dan malam, alat-alat indera, akal, umur, dan semisalnya adalah anugerah agung yang dirasakan secara umum oleh semua orang. Menurut Imam Ghazali, manusia biasanya lalai dan tidak menganggap anugerah yang umum ini sebagai nikmat yang patut disyukuri, kecuali saat anugerah tersebut berkurang atau hilang darinya. Kita jarang bersyukur atas nikmat oksigen dalam udara yang kita hirup setiap saat, kecuali saat hampir pingsan karena terjebak di lift macet. Air yang kita gunakan setiap hari baru kita sadari nilainya ketika kekeringan melanda. Saat pandemi covid 19 ini, kita juga baru menyadari bahwa berbagai kegiatan secara tatap muka, baik di bidang pendidikan, ekonomi, budaya, dan lainnya ternyata juga nikmat yang sangat berharga.

Umumnya, manusia hanya menganggap nikmat dan merasa perlu bersyukur jika memperoleh sesuatu yang tertentu untuk dirinya saja, seperti memperoleh harta, jabatan, popularitas, dan sejenisnya. Sedangkan nikmat yang umum, dimiliki dan dirasakan semua orang, tidak dianggap sebagai nikmat, meskipun nilai dan urgensinya jauh melebihi hal-hal yang tertentu di atas. Jika pemahaman ontologis tentang nikmat saja kita sudah keliru, bagaimana mungkin kita bisa mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan secara semestinya.

Mengetahui tentang hakikat nikmat adalah syarat pertama untuk bisa bersyukur. Pengetahuan tentang nikmat saja belum cukup. Dibutuhkan pemahaman tentang bagaimana cara bersyukur yang benar. Pada kenyataannya, tak jarang seseorang merasa telah bersyukur hanya dengan sekedar mengucap alhamdulillah, memuji dan berterima kasih kepada Allah dengan lisan, tetapi menggunakan nikmat tersebut justru untuk durhaka kepada Sang Pemberi Nikmat. Mengetahui tentang cara bersyukur yang benar adalah syarat kedua untuk bisa bersyukur. Menurut Imam Ghazali, pengetahauan tentang hakikat nikmat dan cara bersyukur juga belum menjamin seseorang akan bersyukur, karena manusia seringkali keok, terpelanting, oleh dorongan syahwat dan provokasi setan.

Secara bahasa, syukur berarti tampak jelasnya bekas makanan pada tubuh binatang. Dikatakan, “binatang itu bersyukur” jika tubuhnya tampak gemuk karena pengaruh makanan yang dikonsumsinya. Dari sini, maka seorang hamba dikatakan bersukur kepada Allah jika bekas nikmat Allah itu tampak pada lisannya berupa pengakuan dan pujian, pada hatinya berupa penyaksian dan cinta, dan pada anggota badannya berupa ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya. Pondasi syukur kepada Allah ada lima, yakni ketundukan kepada Allah, kecintaan kepada-Nya, pengakuan atas nikmat-Nya, pujian kepada Allah atas nikmat-Nya, dan menggunakan nikmat tersebut untuk perkara-perkara yang diridhai-Nya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa bersyukur itu bukan perkara mudah. Kita perlu tahu tentang apa itu hakikat nikmat dan bagaimana cara mensyukurinya. Dibutuhkan pula komitmen dan energi ilahiyah untuk mewujudkannya. Oleh karenanya, Nabi SAW. memberi tuntunan agar kita selalu berdoa memohon pertolongan Allah agar mampu bersyukur. Nabi SAW. berpesan kepada Muadz bin Jabal :

Baca Juga:  Viral, Hoaks dan Anjuran Menyikapinya

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ رَسُولَ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ، وَقَالَ: «يَا مُعَاذُ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ»، فَقَالَ: ” أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “

Artinya : “Dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah SAW. memegang tangannya dan berpesan, “Wahai Mu’adz, demi Allah, sungguh aku benar-benar mencintaimu. Demi Allah, sungguh aku benar-benar mencintaimu. Aku berpesan kepadamu wahai Mu’adz, sungguh jangan engkau tinggalkan berdoa di akhir setiap shalat, “Ya Allah, berilah aku pertolongan untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud, Nomor: 1522)

Dalam al-Qur’an, kata “syukur” dalam berbagai bentuknya diulang lebih dari 70 kali. Berkaitan dengan syukur, Al-Qur’an membagi manusia menjadi tiga kelompok. Pertama, orang-orang yang banyak bersyukur. Kelompok ini jumlahnya sedikit, al-Qur’an menyatakan :

وَقَلِيلٞ مِّنۡ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ ١٣

Artinya: “..Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur.” (QS. Saba’: 13)

Suatu ketika, Umar bin Khatthab mendengar seorang laki-laki berdoa, “Ya Allah jadikan aku dari golongan orang-orang yang sedikit.” Umar lalu berkata, “Wahai hamba Allah, apa maksudmu dengan “orang-orang yang sedikit?”. Laki-laki itu menjawab, “Aku mendengar firman Allah “… Dan tidaklah beriman bersama Nuh kecuali sedikit.” (QS. Hud: 40), “… Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur.” (QS. Saba’: 13), laki-laki itu menyebutkan ayat-ayat yang lain.” Umar lalu berkata: “Semua orang lebih mengerti dari Umar.” (Imam Ahmad bin Hambah, az-Zuhd, Nomor: 593)

Syukur adalah akhlak dan perilaku para Nabi dan orang-orang pilihan. Ummul Mukminin, ’Aisyah R.A. menuturkan, Nabi SAW. selalu bangun di malam hari untuk melaksanakan shalat sampai telapak kakinya bengkak dan pecah-pecah. Beliau bertanya, “Mengapa panjenengan berbuat demikian itu, wahai Rasulallah. Bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lampau dan yang akan datang?”. Nabi menjawab, “Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (HR. Bukhari, Nomor: 4836, 4837)

Kedua, orang-orang yang sedikit bersyukur. Al-Qur’an menyatakan dengan ungkapan Qoliilan maa Tasykuruun. Kalimat ini diulang 4 kali. Satu kali dalam al-A’raf  ayat 10, ketika menguraikan tentang nikmat Allah dalam penempatan manusia di bumi lengkap dengan segala sumber-sumber penghidupannya. Tuhan menganugerahkan kepada manusia bumi yang nyaman untuk tempat tinggal, udara, air, tanah untuk bercocok tanam, sinar matahari, pergantian siang dan malam, sumber-sumber makanan dan rezeki yang melimpah, dan lan-lain yang memungkinkan mereka hidup nyaman dan berkecukupan.

Baca Juga:  Muhammad Kace: Perusak Citra Islam Yang "Tidak Kece"

Demikian pula dalam al-Mukminun ayat 78, as-Sajdah ayat 9, dan al-Mulk ayat 23, masing-masing ayat ini menjelaskan tentang nikmat pendengaran, penglihatan, dan hati. Telinga, mata, akal, dan hati adalah sederet nikmat agung yang wajib disyukuri dengan menggunakannya untuk hal-hal yang positif dan diridhoi Allah. Kita sendiri yang lebih tahu, apakah selalu, sering, atau jarang mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Dr. Faishol Misy’al dalam bukunya Sirru Dawaamin Ni’am, menerangkan bahwa yang dimaksud sedikit bersyukur  adalah jarang sekali bersyukur, atau sangat sedikit waktu bersyukurnya, atau mersyukuri sebagian kecil saja dari nikmat-Nya.

Ketiga, orang-orang yang tidak bersyukur. Kelompok inilah yang paling banyak. Al-Qur’an menyatakan dengan ungkapan Walaakinna Aktsaran Naasi laa Yasykuruun (al-Baqarah 243, Yusuf 38, Ghafir 61), Walaakinna Aktsarahum laa Yasykuruun (Yunus 60, an-Naml 73). Dalam ayat-ayat ini, ungkapan di atas selalu didahului dengan penegasan bahwa Allah telah melimpahkan karunia (fadhl) kepada manusia. Dan ungkapan Walaa Tajidu Aktsarahum Syaakiriin (al-A’raf: 17) yang menegaskan tentang tekad Iblis menggoda anak Adam dari berbagai arah supaya mereka tidak bersyukur kepada Allah SWT.

Tahun 2020 ini kita akan merayakan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 75. Kemerdekaan ini adalah rahmat dan nikmat Tuhan yang wajib kita syukuri. Bersyukur atas nikmat kemerdekaan adalah bagian dari ibadah. Allah telah mengumumkan dalam al-Qur’an:

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧

Artinya : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

 

Ayat ini dapat menjadi refleksi barometer kesyukuran kita atas nikmat kemerdekaan. Jika kesejahteraan, kemakmuran, dan ketentraman bangsa ini semakin berkurang, ini menandakan bahwa syukur kita kepada Allah atas nikmat negeri dan kemerdekaan ini masih kurang.

Semoga bermanfaat! Walloohu A’lamu bisshowaab.

Salam Sukses Bersama al-Qur’an…

 

Daftar Bacaan :

Imam al-Ghazali, Ihyaa’u Ulumiddin

Ibn Qayyim al-Jauziyah, Madaarijus Saalikiin baina Manaazili Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’iin

Prof. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah

Faishol bin Misy’al, Sirru Dawaamin Ni’am