KOLOM  

Meneladani Sebuah Perjuangan Dari Siti Hajar, Istri Nabi Ibrahim AS

NU Online Mojokerto – 

Siti Hajar merupakan seorang budak Mesir yang kemudian menikah dengan Nabi Ibrahim As. Siti Hajar bukanlah istri pertama Nabi Ibrahim, melainkan istri kedua atas permintaan Siti Sarah yang saat itu belum bisa memberikan keturunan. Atas izin Allah SWT Siti Hajar mengandung. Melihat hal seperti itu, Siti Sarah cemburu. Setelah melahirkan, atas perintah Allah SWT Nabi Ibrahim membawa Siti Hajar bersama putra kecilnya (Nabi ismail As) ke sebuah lembah yang gersang, tidak ada tanam-tanaman, buah-buahan, maupun sumber mata air. Pada situasi yang sulit itu, Nabi Ibrahim hanya memberikan pesan untuk selalu berpasrah kepada Allah SWT dan beliau kemudian meninggalkan Siti Hajar sendiri.

Jiwa seorang ibu tidak bisa terlepas dari anaknya. Ketika persediaan makanan dan minuman habis, Siti Hajar kebingungan harus mencari di mana. Akhirnya, beliau berlari-lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwah. Kondisi gurun pasir yang panas seringkali membuat fatamorgana, kondisi di mana seolah-olah terdapat di depan mata apa yang kita inginkan. Saat itu, Siti Hajar pun mengalami hal demikian, sehingga beliau melakukan hal yang sama yaitu lari antara Bukit Safa dan Marwah sampai tujuh kali putaran. Ketika Siti Hajar di ujung tanduk keputusasaan karena usahanya yang belum membuahkan hasil, Allah SWT memberikan sumber air yang keluar dari kaki putranya yang mengais-ngais di pasir karena lapar. Seketika Siti Hajar membendung mata air tersebut. Mata air itulah yang kini kita kenal sebagai mata air zam-zam.

Baca Juga:  Orang Tua Para Nabi Adalah Ahli Surga

Banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kisah tersebut. Pertama adalah tentang ketetapan yang telah Allah berikan. Ali bin Abi Thalib pernah berkata “Aku merasa tenang karena apa yang melewatkanku tidak akan menjadi takdirku, dan apa yang menjadi takdirku tidak akan pernah melewatkanku”.

Penetapan Allah yang menjadikan Siti Hajar ada di tempat gersang tanpa makanan adalah takdir Siti Hajar. Siti Hajar pun menerima dan menjalankan apa yang menjadi takdirnya. Penerimaan atas ketetapan Allah tersebut mengantarkan Siti Hajar selalu terkenang dalam sejarah yang wujudnya masih bisa dinikmati hingga kini. Wujud sejarah tersebut adalah ibadah Sa’i (lari-lari kecil antara Safa dan Marwah) dan sumber air zam-zam. Jika saja Siti Hajar tidak menjalankan perintah Allah, tentu saja sejarah tersebut tidak akan tercipta.

Terkadang kita tidak sadar bahwa ketetapan Allah sudah menjadi ketetapan terbaik versi diri kita sendiri. Namun, seringkali seseorang terutama anak milenial menilai bahwa apa yang didapatkan saat ini masih kurang dibandingkan lain. Obat untuk hal tersebut adalah menerima dengan ikhlas dan bersyukur. Sama halnya dengan yang dilakukan Siti Hajar, dengan menerima dan bersyukur kebaikan-kebaikan yang lain akan datang dengan tidak disangka-sangka. Salah satu tipsnya adalah jangan membandingkan diri kita dengan orang lain, karena kita diciptakan dengan jalan kesuksesan kita masing-masing.

Baca Juga:  Jejak Dra. Hj. Choirun Nisa M.Pd, dari menjadi seorang guru hingga Wakil Bupati

Kedua adalah pelajaran tentang usaha dan tawakal. Ibrah selanjutnya yang dapat kita ambil dari kisah Siti Hajar adalah perjuangan beliau untuk mencari sumber air. Walaupun beliau sudah berpasrah kepada Allah di tempat gersang, beliau tidak berdiam diri untuk menunggu rezeki Allah datang, tetapi beliau melakukan usaha terbaiknya untuk menjemput rezeki tersebut. Hingga akhinya Allah memberikan buah hasil kerja kerasnya berupa sumber mata air yang memiliki kualitas terbaik nomor satu di dunia dan tidak pernah kering.

Sebuah perjuangan tidak ada yang sia-sia, setiap tetes keringatnya pasti ada buahnya. Siti Hajar membuktikan hal tersebut bahwa perjuangannya naik turun bukit tidaklah sia-sia. Ketika seseorang mempunyai impian dan dia gagal, janganlah berputus asa. Ingat bahwa Siti Hajar saja harus tujuh kali bangkit untuk mencari sumber mata air. Setiap orang di dunia memiliki jatah kegagalannya masing-masing, tinggal bagaimana kita memaknai kegagalan tersebut agar membentuk diri kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Karena sejatinya di dunia ini tidak ada yang namanya sukses atau gagal, yang ada adalah sukses atau belajar.

Kontributor: Riyan Fahmi, LTN NU Pacet