Berawal dari selebaran dari teman-teman mengenai adanya festival Kenduren (Kenduri Durian) di Wonosalam , saya terdorong untuk mengulas makna dan sejarah kenduri. Bagaimana tradisi ini bisa mengakar membudaya dan mampu melewati lintas zaman sehingga menjadi kearifan lokal yang begitu khas di negara Indonesia khususnya di Jawa ini.
Dahulu kenduri merupakan sebuah ritual yang dilakukan sebagai bentuk syukur. Bertempat di bawah pohon besar, dengan sesaji dan dipimpin seorang juru kunci. Namun kebiasaan itu diubah oleh para wali dengan menyempurnakan tata caranya. Dengan mengubah tempat dan memasukkan doa-doa Islami. Perubahan itu tidak dilakukan secara spontan agar tetap bisa diterima. Jadilah kenduri seperti yang kita kenal saat ini.
Proses akulturasi budaya seperti itu sebenarnya telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Prosesnya terbagi menjadi 3 tahapan. Yang pertama, metode “tahmil”. Yaitu menyempurnakan suatu tradisi dan budaya yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat sebelumnya. Para wali pun menggunakan metode tersebut untuk diterapkan di tanah Jawa. Salah satunya, adalah ditambahkannya nasi yang dibentuk kerucut (tumpeng) pada nasi yang berbentuk mendatar lengkap dengan lauk-pauknya (ambeng) pada ritul kenduri. Sebagai perlambang bahwa hubungan manusia tidak hanya kepada sesama manusia saja (hablum minannas), tapi juga harus membangun hubungan dengan Tuhan (hablum minallah).
Selanjutnya adalah metode “taghyir”. Yakni mengubah atau merekonstruksi tradisi dan budaya yang sudah dilaksanakan, dengan tata cara yang sesuai dengan syariat Islam, namun inti pelaksanaan tradisi tersebut tetap dilaksanakan dan tidak dilarang.
Yang terakhir ada metode “tahrim”, yaitu melarang dan mengharamkan tradisi yang sudah mapan pada masyarakat sebelumnya, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Ketiga metode itulah yang mampu mengenalkan agama melalui nilai, estetika dan budaya. Karena agama tidak hanya dipahami melalui sudut pandang hukum yang beranggapan bahwa agama hanya bisa dilakukan dengan keberaturan yang kaku.
Kalau dipandang dari prespektif sejarah—seperti diungkapkan oleh sejarawan K.H. Ng. Agus Sunyoto, bahwa kenduri adalah strategi Sunan Bonang sebagai perlawanan terhadap “bhairawa tantra”—orang (laki-laki) yang mengamalkan ajaran Tantrayana.
Awal mula kegiatan tersebut dimulai dari Desa Singkal, Nganjuk, Jawa Timur, masa Sunan Bonang atau Syekh Maulana Makhdum Ibrahim yang lahir sekitar 1465 M. Aliran Tantrayana berasal dari India Selatan. Aliran ini menjalankan “lima keharusan” dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Lima keharusan itu disebut “pancamakara” atau “batara lima” atau “malima”, yaitu: mamsa (makan daging mayat dan minum darah); madya (menenggak minuman keras); matsya (makan ikan gembung beracun); maithuna (bersetubuh secara berlebihan); mudra (tarian melelahkan hingga jatuh pingsan).
Sunan Bonang memulai dakwah dengan meniru upacara yang dilakukan aliran Tantrayana. Praktiknya sama, yaitu orang-orang duduk melingkar. Tapi yang di tengah-tengah mereka bukan korban manusia, melainkan makanan dan minuman halal. Itulah yang kemudian sekarang disebut “slametan” atau “kenduri” atau “kenduren”. Strategi yang jitu—dengan menggunakan metode taghyir—untuk memulai membajak sawah (nyingkal) dan menyemai benih-benih Islam di Nusantara. Yang terbukti mampu bertahan sampai hari ini.
“Sebutan ‘kenduri’ merupakan kutipan dari bahasa Persia, yakni ‘kanduri’ yang berarti tradisi upacara makan-makan saat memperingati Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad Saw. Tradisi orang-orang muslim Campa (Kamboja) berfaham Syiah Persia yang datang mengungsi ke Jawa pada rentang waktu antara tahun 1446 hingga 1471 masehi, Masyarakat Jawa dengan kekhasan bahasanya kemudian menyebutnya sebagai “kenduren”.
Kenduri sangat lekat dengan masyarakat Jawa. Sebuah ekspresi rasa syukur yang bisa mempererat ukhuwah antar sesama manusia. Dari dulu sampai sekarang, kenduri telah melewati dan melampaui setiap zaman ke zaman. Begitu panjangnya perjalanan sejarah “kenduri” menjadikannya salah satu kearifan bangsa Indonesia. Bahkan menjadikan salah satu jalan dakwah penyebaran nilai-nilai Islam di nusantara. Sebagaimana dicontohkan sunan Bonang. Jadi sangat miris kalau ada yang mengatakan bahwa kenduri adalah sesuatu yang bid’ah. Dari nilai falsafahnya, kenduri bisa mengantarkan menuju cakrawala baru pemahaman mengenai budaya. Budaya atau tradisi seharusnya tidak hanya dianggap bagian dari klenik belaka, melainkan harus bisa dicari nilai filsafatnya. Karena setiap budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang pasti mengandung kemanfaatan yang berguna dalam kehidupan kita kedepanya. Agar kita bisa mempertahankan budaya dan tidak kehilangan estetika sebagai orang Jawa.
Kenduri bisa kita aplikasikan kemana saja, nilai-nilai yang terkandung didalamnya bisa digunakan sebagai tonggak, agar kita tetap kuat dalam menjalin ukhuwah sesama manusia, dan dijadikan sebagai semangat untuk terus bersyukur atas kelimpahan rezeki-Nya. Wallahu ‘alam.
Rahmat (Anggota LTN NU Kab. Mojokerto)