“Gerangan apakah yang menyebabkan Allah menjadikan engkau kekasih-Nya?” Nabi Ibrahim menjawab: “Sebab tigal hal: yaitu, saya memilih urusan Allah ketimbang urusan yang lain, saya tidak pernah gundah terhadap apa-apa yang telah ditangungoleh Allah untukku dan saya tidak pernah makan malam maupun makan siang melainkan bersama tamu.”
Dalam suatu riwayat dinyatakan, bahwa Nabi Ibrahim sering pergi sejauh satu-dua mil hanya unutk mencari orang yang diajak makan bersama (di rumahnya).
Kita tentu mengetahui bahwasanya Nabi Ibrahim as adalah termasuk nabi pilihan Allah yang mendapatkan gelar Ulul Azmi dan menurut ranking, gelar tersebut didapat Nabi Ibrahim nomor dua setelah Nabi Muhammad SAW. Nabi Ibrahim mendapatkan gelar khalilullah pula karena sangat dengan dan disayang oleh Allah.
Nabi Ibrahim as tidak pernah merasa khawatir dengan apa-apa yang telah menjadi tanggungan Allah SWT. Seperti perihal rezeki. Qur’an Surah Hud menyinggung perihal hal tersebut dalam ayat 6
“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalah Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Itulah mengapa Nabi Ibrahim as tidak pernah sedikitpun mengkhawatirkan apa-apa yang sudah menjadi tanggungan Allah SWT, karena Nabi Ibrahim meyakini rezeki itu sudah ada takaran dan jatahnya tersendiri dari Allah SWT. Manusia hanya ditugaskan untuk berikhtiyar.
“Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jum’ah: 10).
Allah SWT memberi kita maqom Asbab dan maqom Tajrid. Maqom asbab yakni maqom yang orang-orang harus berusaha terlebih dahulu untuk mendapatkan kehidupan dunia (rezeki). Sementara maqom tajrid ialah orang-orang yang dikehendaki hanya semata-mata untuk beribadah, maka walaupun tidak bekerja Allah sudah mengirimkan rezekinya. Maqom ini tentu hanya khusus bagi orang-orang pilihan Allah, kekasih-kekasih Allah.
Dalam kitab Nurul Burhan yang menerangkan manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani, diterangkan bahwa Syekh Abdul Qodir Jaelani sudah tiga hari tidak makan dan tidak minum tetapi tidak merasakan lapar dan haus. Ini merupakan suatu tanda dari maqom tajrid. Alkisah, saat Syekh Abdul Qodir Jaelani keluar dari rumah kemudian menemui santrinya yang sedang berjualan roti dan kemudian dibelinya roti tersebut, ketika roti itu hendak dimakan ditemukanlah surat jatuh dari dalam bungkus roti “ya Syekh, mengapa engkau makan roti itu sedangkan engkau tidak makan saja sudah kuat untuk beribadah, shodaqohkan roti itu kepada yang membutuhkan.”(*)
*dinukil dari Pengajian Ramadhan PCNU – Kitab Nashoihul Ibad