Mengenal Perkara Sunnah dan Bid’ah dari Kitab Karya KH Hasyim Asyari

Sering sekali kita menemui kata sunnah dan bid’ah dalam kehidupan sehari-hari. Semasa sekolah, kita diperkenalkan dengan istilah sunnah yakni segala sesuatu yang diucapkan, dikerjakan maupun yang didiamkan oleh Nabi disebut sunnah. Selain itu, seringkali kita mudah mengkategorikan suatu perkara tersebut bid’ah atau tidak. Hingga terdapat suatu perdebatan bahwa segala sesuatu yang bid’ah tidak boleh dikerjakan. Dalam beberapa kasus, bahkan pelakunya dituduh sebagai kafir. Maka, dalam tulisan ini akan dijelaskan lebih lanjut perihal perkara sunnah dan bid’ah.

Pengertian sunnah seperti yang dikatakan oleh Kyai Abu Al-Baqa’ al-Kafawi dalam kitabnya berjudul al-Kulliyat Mu’jam al-Musthalahat wa al-Furuq al-Lughawiyyah, sunnah dilihat dari segi bahasa memiliki arti “jalan” –sekalipun jalan itu tidak diridhoi Allah–. Secara istilah sunnah berarti nama atau sebutan bagi jalan yang diridhoi Allah yang ditempuh dalam agama yang mana Rasulullah menempuhnya, pun orang selain Rasulullah –dalam hal ini para sahabat serta para pengikutnya–. Sunnah adalah sesuatu yang senantiasa dilakukan oleh Rasululah SAW.

Nabi Muhammad SAW mengarahkan agar ummatnya mengikuti sunnahku, tingkah lakuku dan khulafaur rasyidin. Sunnah dari sisi urf-nas (secara umum) yakni sesuatu yang senantiasa dilakukan atau ajaran yang ditradisikan oleh orang yang menjadi panutan baik nabi maupun wali. Orang biasapun dapat masuk ke dalam kategori sunnah dari sudut pandang bahasa, syariat. Urf-nas yang dilakukan tentu sunnah yang dipandang dari segi syariat.

Baca Juga:  Hukum Lomba Mancing

Adapun bid’ah, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ahmad Zaruq al-Fasi dalam kitab ‘Uddatul Murid yaitu memperbaharui suatu perkara di dalam agama yang menyerupai adanya perkara tersebut menyerupai dengan agama tetapi hakikatnya bukan termasuk perkara agama –berbentuk rupa maupun hakikatnya–. Dalam kata lain berarti inovasi dalam praktik pengalaman agama yang tidak ada dalam ajaran syariat serta dalil-dalil syara’ (Al-Quran dan Hadist).

Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa setiap barang yang diperbaharui itu adalah bid’ah. Maka, segala sesuatu yang diperbaharui karena tidak dilakukan di zaman Rasulullah diistilahkan sebagai bid’ah. Seperti penulisan dan pembukuan Al-Qur’an. Dalam wujudnya, Sahabat Abu Bakar ra pada saat itu memikirkan bagaimana agar Al-Quran tetap bisa terjaga, karena selama ini ayat-ayat Quran hanya sebatas dijadikan hafalan sementara dikhawatirkan hafalan tersebut hilang, maka dengan begitu semasa Abu Bakar ra dilakukanlah penulisan dan pembukuan Al-Quran.

Baca Juga:  Boleh Tidak Wanita Haid dan Nifas Nderes Al-Qur'an?

Menurut Syekh Zaruq, untuk mempertimbangkan hal tersebut bid’ah atau tidak, terdapat tiga ukuran:

Pertama, kita perlu melihat terlebih dahulu perkara yang baru tersebut seperti apa, perkara yang tidak pernah ditemui bahkan di zaman Rasulullah jika di dalamnya terdapat prinsip syariat dan juga landasan ushul menyelimuti perkara tersebut, maka tidak dikategorikan bid’ah.

Kedua, melihat kaidahnya para pemimpin atau para ulama. Kita perlu mempertimbangkan kaidah para ulama dan imam terdahulu, seperti Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan imam lainnya. Ketika melihat dari para imam sudah terlihat perkara tersebut bertentangan, maka perkara tersebut dianggap bid’ah.

Ketiga, kita perlu mengkategorikan setiap perbuatan dengan takaran hukum. Jika terdapat suatu perkara yang tidak bisa diidentifikasikan dengan salah satu kategori hukum, maka ia dianggap sebagai bid’ah.(*)

 

*dinukil dari Pengajian Ramadhan PCNU – Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah