KH. Muhaimin, Kiai Alim Yang Tidak Menunjukkan Kealimannya

Tempat Lahir dan Silsilah Keluarga

Tidak banyak masyarakat Mojokerto yang mengenal sosok KH. Muhaimin. Bila dibandingkan dengan kiprah dan perjuangannya, KH. Muhaimin memiliki jasa yang tak kalah dibanding dengan Kiai Kiai lain yang ada di Mojokerto.

KH. Muhaimin lahir pada tanggal 13 April 1913 di dusun Kedung Kopek Desa Surodinawan dari pasangan KH. Moh. Noer dan Hj. Shoimah.

Dari silsilah keluarga, KH. Muhaimin merupakan keturunan keluarga yang agamis selain juga termasuk kalangan yang berpunya. Bila diurutkan silsilahnya, KH. Muhaimin bin KH. Moh. Noer bin KH. Usman bin Kiai Sambiyo bin Kiai Darib bin Kiai Sholeh.

KH. Usman, kakek KH. Muhamin, adalah santri kinasih Syaikhona Kholil Bangkalan. KH. Usman banyak menulis ulang kitab kitab kuning yang diperoleh selama nyantri kepada Syaikhona Kholil. Sayang, tulisan tulisannya turut terbakar saat rumah KH. Muhaimin terbakar beserta pondok mungilnya.

Selain alim, KH. Usman juga tergolong Kiai Kaya. Kekayaannya diperoleh dari mengembangkan bidang pertanian. Sawahnya luas, dan menghasilkan komoditas pertanian yang berlimpah. Karenanya beliau mampu memberikan pendidikan yang layak kepada putra putrinya.

Selain KH. Moh. Noer, putra lainnya yakni KH. Idris menurunkan seorang putri bernama Nyai Jannah. Dan Nyai Jannah ini dinikah oleh Kiai Simun. Yang kemudian melahirkan KH. Yahdi Matlab, pendiri Pesantren Bidayatul Hidayah Mojogeneng.

Kekayaan maupun kealiman KH. Usman, terwariskan pula kepada KH. Moh Noer. Dan dari kultur ini, KH. Muhaimin dibesarkan dan dibimbing. Selain dididik secara ketat dengan ilmu ilmu agama sejak kecil, juga dipenuhi dengan fasilitas yang layak dibanding anak anak disekitarnya.

Pendidikan dan Pengembaraan Intelektualnya

Pada tahun 1919 sampai 1925, KH. Muhaimin “nyantri” ke Pondok Pesantren Assholikhiyyah Kranggan Mojokerto yang diasuh oleh KH. Ilyas. Di pondok ini, KH. Muhaimin, mendalami ilmu ilmu dasar ke-Islaman, baik Fiqh, al-Quran, dasar dasar bahasa dan lain lain.

Perlu diketahui bahwa KH. Ilyas merupakan Kiai Alim pada zamannya. Dari jejak jejak kitab yang pernah diajarkan kepada santrinya – kebetulan penulis memiliki kitab yang ditulis ulang oleh salah satu santrinya – dapat diketahui kedalaman keilmuannya. Dari persoalan fiqh hingga perdebatan tentang tasawuf tersajikan dengan sangat rinci. Karenanya tak heran, apabila dari surat menyuratnya antara KH. Hasyim Asyari dengan KH. Ilyas, KH. Hasyim Asyari menyebut KH. Ilyas dengan panggilan Hadratus Syeikh.

Selesai menempuh pendidikan di PP. Asholikiyah dibawah asuhan KH. Iyas, pada tahun 1925, KH. Muhaimin melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke Pesantren Seblak Jombang. Di PP. Seblak ini, KH. Muhaimin berguru kepada menantu Hadratus Syeikh Hasyim Asyari yang terkenal akan kealimannya yakni KH. Maksum (Mualif Kitab Shorof). Di Pondok Seblak ini, KH. Muhaimin diberi keistimewaan, sebab KH. Muhaimin diberi izin mendirikan gotakan tersendiri. Dugaan penulis, KH. Noer, juga merupakan donatur pondok ini. Sehingga kata KH. Faqih Usman, hingga sekarang hubungan antara PP. Seblak dengan keluarga KH. Muhaimin terjalin dengan sangat baik.

Seperti hampir yang dialami santri santri Seblak lainnya, KH. Muhaimin selain fokus berguru kepada KH. Maksum sendiri, juga ikut “ngalap barokah” ngaji kepada Hadratus Syekh Hasyim Asyari beserta Kiai Kiai yang mengajar di PP. Tebuireng.

Baca Juga:  Tingkatkan Kualitas, MI Darussalam Pacet Bentuk Karakter Peserta Didik Melalui Cinta Al Qur'an  

Pada tahun 1933, KH. Muhaimin yang masih belia, diajak berangkat haji oleh orang tuannya. Perjalanan naik haji pada tahun itu, menggunakan armada kapal sebagai transportasinya. Selama perjalanan, KH. Muhaimin mengisi hari harinya yang panjang dengan turut ngaji kepada Kiai Kiai yang ada di kapal. Tetapi suatu kali, para kiai kiai Mojokerto yang ada di kapal tersebut, menguji keilmuan KH. Muhaimin. KH. Muhaimin diminta untuk membacakan kitab Fatkhul Qorib dihadapan para jamaah. Karena kepiawaian membaca kitab kuning tersebut, KH. Romli Trowulan kesemsem untuk mengambil mantu KH. Muhaimin. Tetapi karena masih terlalu muda, maka KH. Muhaimin ba’da pulang dari Hajinya, melarikan diri dengan mondok ke Mojosari, Nganjuk.

Di pondok ini, KH. Muhaimin dibawah bimbingan KH. Zainuddin, menyempurnakan kealiman ilmu syariatnya dengan “laku lampah” menuju pendalaman ruhaninya.

KH. Muhaimin memperoleh bimbingan spiritual secara langsung dari KH. Zainudin. Termasuk bimbingan dalam menempuh kehidupan selanjutnya. Atas arahan KH. Zainudin meminta KH. Muhaimin untuk kembali ke Mojokerto dan menerima takdir yang telah digariskan Allah kepadanya dengan menikahi putri KH. Romli Trowulan. Di Trowulan ini, KH. Muhaimin ditugaskan untuk membantu mengajar di Pondok Pesantren bersama kakak iparnya, KH. Dimyati Romli.

Jejak Dakwahnya

Tahun 1939, KH. Muhaimin pindah ke Kedung Mulang Kota Mojokerto. Di tempat barunya itu, beliau meniti jalan dakwah dengan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat sekitarnya. Pada tahun 1940 bersama dengan KH. Muhsin, dan KH. Shodiq, mendirikan sebuah lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di Masjid Nurul Huda. Dari tahun ke tahun, murid murid yang belajar semakin bertambah. Sehingga kebutuhan untuk mendirikan gedung sekolah sangat mendesak. Karenanya pada tahun 1965, setelah huru hara G 30 S PKI, KH. Muhaimin beserta masyarakat mulai merintis pembangunan gedung madrasah di atas tanah wakaf seluas 2857 m2.

Pahun 1986, Yayasan sosial dan pendidikan yang didirikan berhasil mendapatkan pengakuan hukum dari negara melalui notaris di antaranya adalah TK/MI, MTs dan Pondok Pesantren Nurul Huda.

Kiprah Perjuangan dan keterlibatannya di NU

Pada masa masa perjuangan, KH. Muhaimin turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan. Rumahnya dijadikan sebagai markas perjuangan Laskar Hizbullah. Juga sebagai pusat dapur umum untuk konsumsi Laskar Hizbullah yang bertempur di medan perjuangan.

Pada tahun 1955, KH. Muhaimin membantu KH. Achyat Halimi merintis berdirinya pesantren sabilul muttaqin. Terlebih kala KH. Achyat Halimi menjadi konstituante, KH. Muhaimin menggantikan mengajar santri yang masih sedikit di PP. Sabilul Muttaqin.

Waktu KH. Achyat Halimi mendirikan Ngaji Ahadan, KH. Muhaimin termasuk pendiri sekaligus juga pengisi Ngaji Ahadan. Ngaji Ahadan ini, dulunya dilakukan secara istiqomah di PP. Sabilul Muttaqin. Pesertanya masyarakat umum. Yang mengisi para kiai kiai dengan pembacaan kitab kuning yang berbeda. Tetapi lambat laun, Ngaji Ahadan ini dilakukan secara anjangsana, berpindah pindah dari kecamatan satu kecamatan lain di Kabupaten Mojokerto.

KH. Muhaimin, mengawali karir dalam organisasi NU, sebagai Ketua Ranting Surodinawan. Selanjutnya beliau menjabat sebagai anggota Syuriah PCNU Kab/Kota Mojokerto hingga beberapa periode.

Sebagai Syuriah, KH. Muhaimin kerap dijadikan sebagai rujukan dalam mensikapi persoalan di tengah masyarakat. Karenanya dulu ada empat Kiai yang selalu bermusyawarah dalam memecahkan persoalan yakni KH. Achyat Halimi, KH. Arif Hasan, KH. Dimyati dan KH. Muhaimin.

Baca Juga:  Menjadi Garda Terdepan, Banser Bantu Amankan Lailatul Ijtima' MWC NU Jetis

Selain itu, KH. Muhaimin juga turut mendirikan wadah organisasi untuk para penghafal al-Quran. Yang kemudian sekarang dikenal dengan Jammiyatul Hamalatil Quran (JHQ) yang memiliki jumlah anggota sebesar 1200-an.

KH. Muhaimin di mata keluarga

KH. Muhaimin meskipun alim, tetapi sering menunjukkan penampilan yang biasa biasa saja. Beliau bahkan cenderung menutupi kealiman dirinya.

Saat ada keluarga atau warga sekitar yang punya “gawe” KH. Muhaimin sering hadir bahkan memiliki kebiasaan ikut melek’an semalaman. Pada saat melek’an itu beliau sering masuk ke dapur untuk mencicipi makanan dari masakan para ibu ibu. Pada saat mencicipi itu, beliau sering memuji muji kelezatan hasil masakan. Sehingga membuat orang merasa senang dengan pujian itu.

Dilingkup keluarga, sosok KH. Muhaimin adalah ayah yang sangat toleran dengan piluhan anak-anaknya. Pilihan pendidikan atau cita cita anak selalu didukung. KH. Muhaimin tidak pernah memaksakan anaknya harus sesuai dengan kemauan. Meskipun demikian, putra putrinya menjadi tokoh tokoh yang berpengaruh bagi umat Islam. Salah satunya KH. Faqih Usman, yang pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah juga Rais Syuriah PCNU Kota Mojokerto.

Akhir kehidupan KH. Muhaimin

Pada hari Jum’at, 7 Juli 2000, KH. Muhaimin tertimpa musibah kebakaran hebat meluluhlantakkan bangunan rumah dan pesantren putri. Musibah ini tidak hanya menghanguskan bangunan saja, akan tetapi juga menghilangkan berbagai peninggalan sejarah seperti seragam Hizbullah, senjata-senjata rampasan, termasuk pula seluruh kitab-kitab beliau yang sangat berharga.

Di tahun itu pula, KH. Muhaimin meninggal dunia, bertepatan pada hari senin, tanggal 7 Agustus 2000 pukul 11.30 dalam usia 87 tahun akibat kecelakaan lalu lintas.

Dari cerita KH. Faqih Usman, KH. Muhaimin selesai mengunjungi putranya, hendak kembali ke Masjid untuk melaksanakan shalat dzuhur. Saat menyeberang jalan, tiba tiba seorang remaja melaju sepeda motornya dengan kecepatan tinggi melintasi jalan. Tak dinyana, KH. Muhaimin tertabrak oleh sepeda motor remaja itu. Saat dirawat di rumah sakit Sakinah itu, KH. Muhaimin menghembuskan nafas terakhirnya.

KH. Faqih Usman yang bepergian ke Sidoarjo, tergopoh gopoh pulang menuju RS. Sakinah. Tetapi beliau mendapati ayahnya telah berpulang ke rahmatullah. Setelah selesai merawat jenazahnya, dalam iringan tangis santri dan masyarakat, KH. Muhaimjn dimakamkan berdekatan dengan kakeknya KH. Usman. Tak berselang beberapa bulan, Ibu Nyai Hj. Siti Rohmah menyusul pula pulang ke pangkuan Ilahi pada Kamis, 1 Maret 2001.

Isnoe Woeng Sayun
(Ketua LTN NU Kab. Mojokerto)

Sumber :

Wawancara dengan KH. Faqih Usman pada tanggal 17 Mei 2020 di kediaman beliau pada pukul 20.00-21.00

http://nasrullohmaliki.blogspot.com/2017/09/sosok-kyai-memang-menjadi-panutan-bagi.html

http://www.mi-nurulhuda2.sch.id/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id=2&Itemid=5