KOLOM  

Shah Rukh Khan-Gauri, Kisah Romansa Cinta Terhalang Agama

Kehidupan rumah tangga beda agama yang dijalani pasangan Shah Rukh Khan dan istrinya Gauri Khan selalu terlihat harmonis. Jauh dari gosip tak sedap dan keduanya tetap menghormati privasi agama masing-masing.  Seperti diketahui, Shah Rukh Khan adalah penganut agama Islam dan Gauri penganut agama Hindu. Mereka menjalani rumah tangga sejak ketenarannya belum seperti sekarang. Pasangan yang sudah menjalani bahtera rumah tangga selama 31 tahun ini dinilai sebagai pasangan yang mengagumkan.

Mereka menghadapi tantangan keluarga, bahkan muslim India berdemo atas pernikahan mereka. Shah Rukh Khan (Selanjutnya disingkat SRK) – Gauri juga harus menikah 3 kali : Pernikahan di pengadilan, pernikahan secara Islam (keduanya dilakukan secara tertutup) dan pernikahan secara adat Hindu yang dilakukan secara terbuka sesuai dengan keinginan keluarga Gauri. Sudah 3 dekade sejak Shah Rukh Khan dan Gauri Khan menyegel kesepakatan pernikahan mereka pada 1991, tetapi pernikahan beda agama masih menjadi salah satu topik yang paling banyak dibicarakan.

Di Indonesia sendiri banyak peristiwa semacam ini. Sebut saja Jamal Mirdad – Lydia Kandow, pernikahan beda agama yang paling terkenal dalam sejarah Indonesia walaupun pada akhirnya mereka bercerai. Atau Cristhian Sugiono – Titi Kamal dan yang paling akhir adalah Peristiwa di Surabaya yang berujung dengan keluarnya putusan PN pada tanggal 26 April 2022 oleh hakim tunggal, Imam Supriyadi dengan nomor perkara 916/Pdt.P/2022/PN Sby : “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Memberikan izin kepada para pemohon yang berbeda agama untuk melangsungkan pernikahan berbeda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya”

Sontak keputusan ini memunculkan beragam reaksi. PBNU dan MUI menyatakan bahwa pernikahan beda agama hukumnya tidak sah. Ada empat orang yang mengajukan gugatan pada putusan ini, agar putusan pengadilan tersebut dianulir. Beragam komentar pro dan kontra muncul terkait putusan ini.

 

Siapa Seharusnya Mengatur Sah Atau Tidaknya Pernikahan?

UU Pernikahan tahun 1974 adalah masterpiece para ulama dalam menghubungkan aturan negara bukan agama (daar al-islam) dengan aturan syariat sebuah agama. Keputusan untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang demikian sudah disadari oleh para ulama.

Ketika AA. Maramis mengajukan keberatannya atas piagam Jakarta, karena hanya akan memunculkan dua kelas warga negara (muslim dan non muslim), seluruh pendiri bangsa ini sepakat untuk mengeluarkan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945. Ini berarti bahwa negara ini bukan sebagai Daulah Islamiyah (Negara Islam) tapi sebagaimana keputusan hasil Muktamar NU 1936 statusnya adalah Daar al-Islam. Pendiri bangsa ini juga sepakat bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler.

Semua agama melalui para penganutnya di negeri ini mempunyai kontribusinya masing-masing atas kemerdekaan Indonesia. Maka Para Ulama -terutama Muassis Nahdlatul Ulama, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisyri Sansyuri menekankan nilai-nilai dari agama yang bersifat universal harus menjadi panduan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Persis sebagaimana hubungan al-Quran dan Pancasila, Negara dan Agama harus berjalan beriringan, tidak untuk saling berhadapan ataupun saling meniadakan. Maka, agama dan negara harus saling menguatkan antara yang satu dengan yang lain.

Dengan cara pandang demikian, kontruksi perundangan negara Indonesia berdasar pada UUD 1945 dan Penafsiran Mahkamah Agung adalah satu-satunya penafsiran legal atas semua hal terkait perundang-undangan. Kontruksi hukum ini memunculkan berbagai macam implikasi bagi umat Islam di Indonesia. Salah satunya terkait dengan legalitas hukum pernikahan dalam negara ini ditinjau dari syariat Islam. Jika saja Indonesia berbentuk negara Islam (daulah islam), maka produk fiqh adalah sebagai aturan dari sebuah negara.

Semua agama pada dasarnya memandang pernikahan sebagai sesuatu yang agung. Islam sendiri menganggapnya sebagai “mitsaqan ghalidhan”, perjanjian seorang hamba langsung dengan Tuhannya. Di Kristen sendiri, ada pengucapan janji pernikahan yang merupakan tanda janji persekutuan abadi di hadapan Tuhan. Dengan kontruksi nalar membangun perlindungan bagi keragaman agama, menempatkan kesakralan institusi pernikahan di tengah perbedaan dan untuk menjaga dan menghormati aturan masing-masing agama, lahirlah UU Perkawinan tahun 1974.

Penulis sepakat dengan pandangan PN Surabaya yang mengatakan bahwa UU Perkawinan Tahun 1974 memang tidak mengatur perkawinan beda agama. Makna yang terkandung dalam Pasal 2 ayat 1 dapat ditafsirkan secara umum bahwa untuk menilai sah atau tidaknya suatu perkawinan, negara menyerahkan kepada masing-masing agama dan kepercayaan dimasyarakat untuk menilainya. Sehingga norma hukum yang terkandung dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perawinan adalah norma yang sifatnya perintah bukan norma larangan.

Melalui undang undang tersebut, Negara tidak melarang tegas perkawinan beda agama, akan tetapi negara memerintahkan kepada agama dan kepercayaan lainnya untuk memberikan penilaian sah atau tidaknya kawin beda agama. Dengan makna demikian, maka penilaian tertinggi institusi pernikahan perihal sah atau tidaknya adalah pada agamanya masing-masing. Jika ada warga negara yang tidak menyetujui tindakan nikah beda agama –menurut KH. Abdurrahman Wahid– maka tindakan yang diperbolehkan adalah mengajak pada masyarakat untuk tidak melakukan hal itu (amar makruf nahi munkar).

Dengan konsep bentuk negara Madani atau berkonsep dari piagam Madinah, maka semua warga negara harus mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang sama dari Negara. Negara juga harus memastikan semua warga negara terlindungi dan tidak ada perlakuan diskriminatif yang terjadi pada mereka. Negara juga harus menjamin, menghormati dan tidak menodai institusi agama. Tindakan negara yang melangkah melampaui kewenangannya adalah tindakan yang tidak tepat.

UU Perkawinan yang tidak mengatur tentang hukum nikah beda agama sudah tepat. Hanya institusi agama lah yang berhak memutuskan sah atau tidak sebuah prosesi pernikahan seseorang. Negara tidak boleh masuk pada wilayah ini. Sedangkan yang tertera dalam UU Administrasi Kependudukan sebagai bentuk penertiban administrasi dan perlakuan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum juga sudah tepat, karena itu merupakan kewajiban Negara. Wewenang Negara adalah memastikan agar tidak ada perlakuan diskriminatif pada warganya, bukan memutuskan hukum sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Bukankah seseorang yang melanggar hukum agamanya sendiri dengan dalih hak asasi manusia, dia sebenarnya sedang melakukan hal yang kontradiktif terhadap apa yang dia yakini kebenarannya? Wallahu ‘alam.