Warta  

Seri 2 : Tantangan Sosial dan Ketidakberpihakan Kebijakan Terhadap Madrasah Diniyah

Namun di tengah perannya yang begitu vital, madrasah diniyah kini menghadapi tantangan besar yang tak bisa diabaikan. Salah satu persoalan utama adalah minimnya dukungan sosial dan kebijakan pemerintah yang berpihak. Di banyak daerah, pendidikan diniyah masih dianggap sebagai pelengkap, bukan kebutuhan pokok. Akibatnya, perhatian terhadap kesejahteraan guru, fasilitas, maupun kurikulum madrasah diniyah sering kali berada di urutan terakhir—jika tidak terlupakan sama sekali.

Guru-guru diniyah, yang dengan sabar mendidik anak-anak selepas sekolah formal, sering bekerja tanpa honor tetap. Mereka digerakkan oleh panggilan hati, bukan oleh gaji. Di sisi lain, masyarakat yang semakin sibuk dengan urusan ekonomi kadang menganggap ngaji sebagai kegiatan tambahan, bukan prioritas. Banyak anak yang kini lebih akrab dengan gawai daripada dengan kitab. Fenomena ini menjadi tanda alarm bagi masa depan pendidikan moral bangsa.

Lebih ironis lagi, kebijakan pendidikan nasional sering kali hanya mengukur keberhasilan dari aspek akademik dan formalitas ijazah. Padahal, madrasah diniyah berperan di wilayah yang tidak bisa diukur dengan angka—wilayah pembentukan hati, etika, dan spiritualitas. Ketika segala sesuatu dinilai dengan logika administratif dan target kognitif, ruang bagi pendidikan keimanan dan akhlak makin menyempit.

Baca Juga:  Buka Satkorwil Banser Jawa Timur, HM. Budi : Terima Kasih Ansor Mojokerto

Regulasi yang ada pun sering tumpang tindih dan tidak memberi jaminan keberlangsungan madrasah diniyah. Bantuan pemerintah, jika ada, datang seperti tamu musiman—tidak rutin, tidak berkelanjutan. Akibatnya, banyak madrasah diniyah bertahan dengan donasi masyarakat atau dana swadaya guru. Tidak sedikit yang akhirnya tutup karena kekurangan murid dan dana operasional. Jika kondisi ini dibiarkan, madrasah diniyah bisa perlahan musnah, bukan karena hilang peminat, tetapi karena tak diberi ruang untuk hidup.

Padahal, hilangnya madrasah diniyah berarti hilangnya sistem pendidikan moral di akar masyarakat. Bangsa tanpa madrasah diniyah ibarat rumah tanpa pondasi—mungkin tampak megah, tapi rapuh di guncangan pertama. Jika pemerintah terus menutup mata, kita sedang menggali lubang sendiri untuk generasi yang kehilangan arah dan nilai.

Kini, yang dibutuhkan bukan hanya wacana, tapi kebijakan afirmatif yang menempatkan ngaji dan madrasah diniyah sebagai bagian penting dari pembangunan nasional. Subsidi kesejahteraan guru, pengakuan kurikulum diniyah, dan integrasi dengan sistem pendidikan formal harus menjadi prioritas. Tanpa itu, cita-cita mencetak generasi berakhlak hanyalah slogan indah tanpa pijakan nyata.

Baca Juga:  Peringati HUT RI ke 76, Lazisnu Bangsal Santuni 77 Anak Yatim dan Dhuafa

Sebab jika madrasah diniyah dibiarkan padam, kita tidak hanya kehilangan tempat belajar agama—kita kehilangan denyut nurani bangsa itu sendiri. (Zamroni Ahmad/Wakil Katib Syuriyah PCNU Kabupaten Mojokerto)