Ide pendirian Rumah Sakit Islam Mojokerto berasal dari Bapak HD. Fatchur Rahman, Bupati Mojokerto dua periode, yaitu tahun 1975 sampai dengan tahun 1985. Beliau ingin memberikan tinggallan untuk masyarakat Mojokerto berupa Rumah Sakit Islam. Ide tersebut dilatarbelakangi sebuah kenyataan habwa potensi umat Islam di Mojokerto sangat besar, 90% lebih penduduk Mojokerto beragama Islam. Umat Nasrani yang minoritas saja bisa memiliki Rumah Sakit, tentunya umat Islam yang mayoritas lebih bisa asal ada kemauan dan ada yang menggerakkan.
Ide mendirikan Rumah Sakit Islam dimulai dengan membentuk badan hukum berupa Yayasan Mustayfa Al Islam Mojokerto yang diketuai oleh dr. H Hatta Said dan sekertarisnya, H. Ismed. Kepengurusan Yayasan didominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, ada H. Shaleh CV Brawijaya, H. Soejono, H. Zamzam, dan lain-lain. Adapun tokoh NU yang dilibatkan adalah H. Sirodji Ahmad dan H. Sholeh Brangkal.
Dana untuk pendirian Rumah Sakit Islam Mojokerto bersumber dari kontribusi para pengusaha jasa kontruksi yang mengerjakan proyek di Kabupaten Mojokerto. Dan sumbangan masyarakat melalui NTCR di kantor Depag (sekarang, Kementerian Agama) Mojokerto, disamping itu juga ada mobilisasi dana melalui Kepala desa. Hasil pengumpulan dana tersebut dipergunakan untuk pembelian tanah sawah di jalan RA Basuni di keluarah Japan, kurang lebih 2 hektar.
Seiring dengan perjalanan waktu, dr. Hatta Said yang menjabat sebagai Direktur RSUD Wahidin Sudirohusodo dan sebagai ketua Yayasan Mustasyfa Al Islam tersandung masalah hukum, pengurus-pengurus lainnya ada yang meninggal dunia, sehingga sampai dengan berakhirnya masa jabatan Bupati HD Fatchur Rahman pembangunan Rumah Sakit Islam Mojokerto belum dapat diwujudkan. Bertahun-tahun tanah 2 hektar itu mangkrak dan hanya ada papan nama yang bertuliskan “Disini akan dibangun Rumah Sakit Islam Mojokerto’.
Kondisi ini mendapatkan perhatian dari para Kyai dan tokoh-tokoh NU Mojokerto. Atas inisiatif H. Sirodji Achmad dan atas persetujuan serta dukungan KH. Achyat Chalimi, dikumpulkanlah para Kyai dan tokoh-tokoh NU di rumah H. Moh. Sholeh Badrus, Brangkal. Pertemuan itu juga dihadiri KH. Zakky Gufron, ketua Yayasan RSI Surabaya sebagai narasumber tentang pentingnya perjuangan pembangunan rumah sakit NU demi terwujudnya cita-cita izzul islam wal muslimin.
Pertemuan di rumah H. Moh Sholeh sepakat membentuk tim sembilan yang diketuai H. Munasir Ali. Tim 9 ditugasi menghadap Bupati Mojokerto dan menyampaikan aspirasi para kyai dan warga NU untuk mengambil alih pembangunan RSI Mojokerto dari Yayasan Mustashfa Al Islam Mojokerto.
Ketika tim 9 menghadap Bupati Kunto Sutejo, untuk menyampaikan aspirasi para Kyai dan warga NU, Bupati Mojokerto menyanggupi untuk mengkomunikasikan aspirasi para kyai dan warga NU kepada pengurus Yayasan Mustasyfa al Islam Mojokerto.
Selang beberapa hari Bupati Kunto Sutejo memanggil pengurus Yayasan Mustayfa al Islam Mojokerto. Hasil pertemuan antara Bupati dengan Yayasan Mustasyfa Al Islam Mojokerto mempersilahkan para Kyai dan warga NU melanjutkan pembangunan RSI Mojokerto di atas tanah milik Yayasan Mustayfa Al Islam Mojokerto di desa Japan Kelurahan Sooko sepanjang tidak merubah badan Hukum, Akta yayasan dan kepengurusan Yayasan. Sikap dan keputusan Yayasan Mustasyfa Al Islam tersebut disampaikan oleh Bupati Mojokerto kepada tim sembilan. Tim sembilan memandang jawaban tersebut merupakan sebuah penolakan, dan misi tim sembilan dianggap gagal. Namun demikian semangat mendirikan Rumah Sakit NU Mojokerto tidak pernah surut. KH. Achyat Chalimy masih tetap menawarkan tanah yang ada di Kecamatan Trowulan dapat dipergunakan untuk pendirian Rumah Sakit NU Mojokerto. Tawaran KH. Achyat Chalimy tersebut kurang mendapatkan respon dari pengurus NU karena terlalu masuk dan dianggap kurang strategis untuk pendirian sebuah rumah sakit. (Bersambung)
*Tulisan diambil dari memoar Almarhum KH. Masud Yunus (Mantan Wali Kota Mojokerto)