Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Sakinah (1)

Berdirinya rumah Sakit Islam Sakinah Mojokerto merupakan puncak dari proses perjuangan panjang PCNU Mojokerto yang mempunyai cita cita dan keinginan memiliki sebuah rumah sakit NU. Gagasan dan cita cita mendirikan rumah sakit NU sudah ada sejak tahun 1958, pencetusnya adalah KH. Achyat Chalimi, seorang ulama dan tokoh NU kharismatik di Mojokerto. Menurut beliau mendirikan rumah sakit NU di Mojokerto hukumnya fardhu kifayah, karena saat itu rumah sakit di Mojokerto hanya ada dua yaitu rumah sakit umum milik pemerintah dan Rumah Sakit Rekso Wanito (sekarang Rekso Waluyo) milik Yayasan Kristen. Kedua Rumah Sakit tersebut jumlah kamar dan bed-nya masih terbatas belum sebanding dengan jumlah penduduk di Mojokerto.

Masyarakat Mojokerto yang mayoritas beragama Islam bila sakit dan tidak tertampung di rumah sakit umum milik pemerintah terpaksa dirawat di Rumah Sakit Kristen Rekso Wanito yang mana pada setiap kamar terpampang salib, diselimutnya juga tergambar salib dan dibimbing oleh ruhaniawan Kristen. Hal tersebut dipandang oleh KH. Achyat Chalimi sangat membahayakan aqidah umat Islam dan bisa jadi berakibat pemurtadan.

Disisi lain KH. Achyat Chalimi mempunya komitmen untuk menjadikan NU sebagai jam’iyyah/organisasi yang dapat memberikan manfaat langsung kepada umat dan masyarakat dalam khidmah-nya dibidang dakwah/diniyah, pendidikan, sosial masyarakat termasuk bidang kesehatan dan ekonomi. Karenanya pada saat ada muktamar NU di Bandung, Jawa Barat, beliau satu satunya tokoh NU dan peserta Muktamar yang mengusulkan agar NU menanggalkan baju politiknya dan kembali ke khitah NU 1926, walaupun saat itu belum mendapatkan respon dari mayoritas peserta Muktamar.

Keyakinan KH. Achyat Chalimi eksis tidaknya NU di Indonesia tergantung sejauh mana NU memberi manfaat kepada umat dan masyarakat. Keyakinan tersebut didasari firman Allah pada Q.S ar Radu ayat 17.

Namun demikian untuk mendirikan sebuah rumah sakit di kalangan NU mengalami banyak kendala antara lain:

  1. Kendala SDM. PCNU Mojokerto belum memiliki tenaga medis dan paramedis yang nantinya bisa dipercaya untuk mengelola Rumah Sakit NU sekaligus keberadaan tenaga medis dan paramedis menjadi persyaratan untuk mendapatkan izin operasional rumah sakit NU dari pemerintah
  2. Kendala dana. Untuk mendirikan rumah sakit membutuhkan dana besar. Tidak cukup hanya untuk membangun gedung saja, tapi juga untuk pembelian alat medis dan penunjang medis serta perlengkapan lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan. PCNU Mojokerto belum memiliki dana untuk keperluan tersebut bahkan untuk pembelian tanah saja masih harus pinjam uang kepada KH. Wahib Wahab.
  3. Kendala politik. Status NU sebagai partai politik dapat mengurangi konsentrasi terhadap program-program pelayanan umat. Di satu sisi NU sebagai jamiyah harus melaksanakan program program sosial kemasyarakatan, di sisi lain NU sebagai partai politik disibukkan dengan kegiatan kegiatan politik praktis dan kegiatan di legislatif dan pemerintahan sehingga program pendirian Rumah Sakit NU sempat terganggu.

Adanya tiga kendala tersebut, pendirian Rumah Sakit NU belum dapat dilaksanakan dan untuk pemanfaatan tanah dan bangunan yang ada, dialihkan kepada program pendidikan yaitu untuk pendidikan Taman kanak-kanak NU yang sekarang menjadi TK Muslimat Cut Nyak Dien dan pendidikan menengah, yaitu Madrasah Mualimin Mu’alimat NU yang sekarang menjadi SMP Islam Brawijaya.

Sekalipun belum berhasil mendirikan Rumah Sakit NU di jalan Brawijaya, semangat mendirikan Rumah Sakit NU tetap tinggi. KH. Achyat Chalimy berkali-kali menawarkan pada rapat pengurus PCNU Mojokerto untuk membangun Rumah sakit NU di atas tanah beliau yang ada di Kecamatan Trowulan. Namun tawaran itu belum direspon oleh pengurus NU lainnya karena sebagian besar pengurus NU menjadi anggota DPRD Kabupaten dan Kota Mojokerto. Disamping itu juga ada yang menjadi anggota BPH (Badan Pemerintah Harian) di pemerintah daerah Kabupaten dan Kota Mojokerto. Mereka lebih berkonsentrasi pada agenda-agenda pemerintahan dan mengimbangi manuver-manuver politik PKI yang saat itu lagi gencar-gencarnya.

Meletusnya G30S PKI menambah kesibukan PCNU Mojokerto untuk melaksanakan pembersihan PKI dan mengadakan apel-apel menuntut pembubaran PKI, sehingga kegiatan NU lebih fokus pada masalah politik dan keamanan. Kegiatan sosial kemasyarakatan termasuk pendirian Rumah Sakit NU hampir terabaikan.

###

Pasca G 30 S PKI, NU semakin disibukkan dengan hiruk politik negara. Lebih lebih di era pergantian rezim pemerintahan dari orde lama ke orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Ada upaya upaya untuk menyingkirkan peran NU di berbagai lini.

Adanya kebijakan monoloyalitas Golkar, dimana semua Pegawai Negeri Sipil dan keluarganya, Pamong desa dan keluarganya wajib menjadi anggota Golkar pada pemilu 1971. Intimidasi, penahanan tokoh-tokoh NU dilaksanakan dimana-mana. Tekanan politik yang sangat kuat terus berlangsung pasca pemilu 1971 sehingga terjadi NU-phobia. Masyarakat yang semula bangga menjadi warga NU menjadi takut sebagai warga NU. Lembaga-lembaga milik NU sudah tidak berani menampakkan identitas ke NU-annya, antara lain LP Ma’arif NU menjadi Yayasan Darut Tarbiyah Wat Ta’lim. Madrasah-madrasah yang dulunya MINU berubah nama bermacam-macam sesuai dengan selera kepengurusannya dan lembaga-lembaga tersebut banyak yang mendirikan Yayasan-yayasan lokal, contohnya lembaga pendidikan MMNU di jalan Brawijaya Mojokerto dulunya di dalam naungan lembaga LP Ma’arif PCNU Mojokerto, berubah menjadi SMP Islam Brawijaya dibawah naungan Yayasan lokal Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin. Demikian pula STM Raden Fatah, MINU Kauman, dan ratusan lembaga pendidikan berubah nama dan tidak ada yang berani menampakkan identitas ke-NU-annya, karena pemerintah orde baru menjadikan NU sebagai lawan politik. Kementrian Agama yang sejak dulu dipimpin oleh tokoh-tokoh NU, di era Orde Baru Kementerian Agama mulai pusat hingga daerah dipimpin oleh kader Muhammmadiyah. Belum lagi adanya pemecatan-pemecatan dari jabatan-jabatan struktural di pemerintahan dan Pamong Desa karena mempertahankan ke NU-an dan tidak loyal pada Golkar dan pemerintahan Orde Baru.

Bantuan pemerintahanpun hanya diberikan kepada lembaga yang loyal pada Golkar dan pemerintah Orde Baru atau setidak-tidaknya, tidak beridentitas NU. Dengan kondisi politik seperti itu tidak mungkin PCNU Mojokerto melaksanakan program pendirian Rumah Sakit NU yang dicita-citakan. (Bersambung)

 

*Tulisan ini berdasarkan Catatan almarhum KH. Masud Yunus (Pendiri dan Mantan Wali Kota Mojokerto)