Indonesia adalah zamrud katulistiwa, panorama indah yang sedap di pandang, kepulauan terbesar di dunia yang membujur di titik strategis persilangan antar benua dan antar samudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban (Yudi Latif, 2011: 3). Keindahan ini acapkali harus berubah gelap, getir bertukar dengan geliat segelintir orang yang berusaha memporak-porandakan Indonesia dengan sentuhan halus doktrin dan simbol atas nama agama sebagai scientia sacra (pengetahuan-suci) yang melampaui batas dan tidak masuk akal. Rentetan fanatisme ini terus dikembangkan sebagai gerakan transnasional, dipupuk sebagai dalih pembenaran atas nama agama, mereka berusaha menciptakan proxi war, ketegangan sosial untuk mencapai ide gagasan dengan melakukan serentetan teror.
Gerakan dan faham radikalisme ini telah merebak dan mengusik kehidupan beragama di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, gerakan masif yang intoleran dengan pemerintah yang berdaulat, mereka melakukan perusakan tempat ibadah, masih terjadi di banyak tempat, pengusiran warga, dan masih bayaknya hate speech (ujaran kebencian), bahkan anarkisme dan terorisme telah mengambil peran dengan menahbiskan nafsu kebinatangan, radikalisme menjadi adi karya dalam menyelesaikan masalah yang seharusnya tidak boleh terjadi di negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerukunan antar umat beragama. Ini menandaskan betapa toleransi dalam keberagaman masih menjadi barang mahal nun langka di negeri kita tercinta. kalau ini dibiarkan akan menjadi pemantik obor pemicu munculnya konflik yang liar yang akan merusak persatuan, dan mengancam keutuhan NKRI.
Harmony dalam keberbedaan
Islam hadir membawa cinta, menebar pancaran kasih dari letupan jiwa yang paling dalam, menyatu pada insan memberi kedamaian, ketentraman, keindahan tanpa ada kebencian. Agama yang diturunkan kepada seluruh umat, nilai-nilai kasih sayang yang terkandung di dalamnya tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam an sich. Lebih dari itu, Islam adalah agama yang sejak awal memproklamirkan diri sebagai agama rahmatan lil’alamin memberikan kasih sayang dan bertujuan menciptakan perdamaian dunia.,” Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. (21):107). Sikap saling menolong (ta’awun), saling mengenal, apalagi menyangkut kemaslahatan bersama, bukanlah hal mustahil untuk dilakukan. Elastisitas geraknya untuk seluruh umat dalam lintas agama, suku, maupun golongan, agar mewujudkan kerukunan dengan prinsip kesetaraan, kebersamaan, toleransi dan saling menghormati satu sama lain, dengan syarat bila ada,” kalimat sawâ’ “(QS. Ali Imram (3):64), ada titik temu, ada kesamaan ide, yang berpijak pada kemaslahatan ummat. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat (49): 13:,”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Konsep yang bisa dipahami dari QS. al-Hujurat (49): 13 diatas, sentuhan khitabnya menggeneralisir pada setiap manusia yang netral entis, suku, agama, maupun gender untuk melakukan penetrasi “lita’ârofu” (saling kenal-mengenal) secara totalitas, menggambarkan interaksi yang terpadu, potensi dua arah yang bersinergi. Dalam konteks ilmu morfologi (Sharaf), kata, “lita’ârofu” berfaedah, “musyârokah” menempatkan dua posisi yang saling berinteraksi bisa jadi menjadi fâil (subyek) atau menjadi maf’ul (obyek) yang saling memberi kemanfaatan membaur satu sama lain yang saling berkesinambungan bersimbiosis mutualisme, mengenal yang saling memberi dan menerima (take and give). dalam kajian literatur tafsir makna ta‘âruf yang dikehendaki menurut tafsir al-Baghawi dan al-Khazin, kata ta‘âruf dimaksudkan agar setiap orang dapat mengenali secara totalitas dhahiran wa bathinan.
Islam telah membuka “keran” yang lebar bagi umatnya dan tidak membatasi untuk berbuat baik kepada semua umat beragama, betapapun agama mereka berlainan, namun mereka tetaplah makhluk ciptaan Tuhan yang berhak atas perlakuan yang sama hidup di dunia. Sebagaimana dalam QS. al-Mumtahanah (60): 8 dijelaskan: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah Mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Justru, ketika umat Islam bersikap “sinis, bengis” ini akan menciderai substansi Islam itu sendiri, dan mereka henyah dari kehidupan kita (QS.(3):159), Islam tidak menginginkan orang memeluk agama karena faktor keterpaksaan. Bukankah sudah jelas bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (QS.(2):256
Dari ayat diatas, sudah jelas bahwa ketika berbicara konsep toleransi secara makro, Islam tidak mengenal radikalisme apalagi fanatisme buta yang tidak menghargai perbedaan, interaksi yang dibangun memberikan kedamaian, ketenangan, ketentraman pada seluruh makhluk, agama rahmatan lil’alamin yang kebenarannya selalu hadir dalam bentang sejarah sebagai cahaya di atas cahaya, perbedaan gender, suku, agama dan bangsa-bangsa bukan satu-satunya penghalang untuk saling mengenal dan berkolaborasi.
Interaksi
Potret miniatur indah dari kehidupan keberagaman yang harmoni, yang disuguhkan oleh the real solution Rasul Muhammad SAW ketika menjadi pemimpin di Madinah, dalam kebijakannya beliau tidak menggunakan al-Qur’an sebagai azas legalitas pemerintahan, Hukum, dan pelayanan public, namun PIAGAM MADINAH lah sebagai pilihan satu-satunya sistem aturan pemerintahan dan legislasi hukum yang terdiri dari 47 pasal, semua agama etnis, dan suku mendapatkan kesamaan hak dalam legalitas hukum hanya mereka yang berbuat dholim saja yang tidak mendapatkan payung hukum yang menjadi esepakatan bersama.
Inilah tonggak toleransi yang patut kita contoh, menjamin, memberi jalan terbaik dalam menciptakan persatuan dan solidaritas keagamaan setiap suku, dan golongan yang ada di Madinah waktu itu, inilah preseden terbaik untuk mengaplikasikan nilai kerahmatan Islam.
Al-Qur’an tidak mengenal radikalisme
Petunjuk radikalisme tidak pernah ditemukan dalam al-Qur’an, mereka terjebak pada tekstualitas dan hitam-putihnya pemaknaan al-Qur’an yang tidak sirkular secara triadik, al-Qur’an (teks) dan realitas (conteks) tidak diposisikan sebagai obyek kajian hermeneutic yang saling berkelindan dan memberikan fungsi elastisitasnya sebagai kalam Allah yang salih li kulli zaman wa al makan (al-Qur’an yang lentur dan peka zaman), namun mereka terbius oleh dominasi corak pemikiran skripturalis, fundamentalis dan radikal dalam melihat teks-teks suci (al-Qur’an) dan hadis sehingga melahirkan ideologi gerakan yang anarkis tidak lagi bertumpu pada ruh dan semangat jihad fi sabilillah yang sebenarnya yakni perjuangan meningkatkan ibadah semata-mata karena Allah, tapi karena terkooptasi oleh gagasan yang parsial dalam menginterpretasikan teks suci hanya take for grand (apa adanya) tanpa melihat sisi keilmuan yang dibutuhkan dalam menggali intertektualitas al-Quran.
Tidak ada ayat-ayat yang disinyalir melahirkan gerakan radikalisme, sparatisme inilah stigma sumber inspirasi kekerasan yang tidak bisa dibenarkan. Memang Al-Qur’an memperbolehkan tindak kekerasan tetapi pada saat tertentu dan dengan persyaratan yang sangat ketat sekali, peperangan dan jihad yang terjadi,dalam catatan sejarah disebabkan ilfiltrasi dari luar yang mengganggu kelangsungan hidup umat Islam dan hukum mempertahankannya adalah wajib. Dari sini jelas bahwa Al-Qur’an sama sekali tidak mengijinkan tindakan kekerasan apalagi terorisme atas nama Tuhan.
Harapan baru Indonesia
Agar terwujud pondasi yang kokoh, pilar persatuan umat yang kuat, konsep ideal toleransi harus dibangun, diwujudkan, diapresiasikan, sebagai harapan dan cita-cita mulia bangsa Indonesia, menuju baldatun toyyibatun wa robbun ghofûr,. premordialisme, pergumulan atas nama agama dan etnis yang menjelma menjadi gerbong identitas sosial baru yang anarkis harus dikikis habis menuju Nasionalisme yang totalitas, memberikan kefahaman indahnya keberbedaan, dengan melestarikan dan” merawat keberagaman dalam kesatuan NKRI karena berbeda adalah rahmat dari Allah, dengan tetap menyuarakan:
- Islam menghargai perbedaan, memberi ruang gerak yang lebar sebagai sinergi yang berkesinambungan, dibangun diatas pondasi toleransi yang saling menghargai bukan melukai, bukan menyamaratakan dan mencampuradukan keyakinan dan simbol-simbol suci antar agama tapi memurnikan hubungan nilai-nilai suci antar agama
- Islam mengajarkan toleransi bukan radikalisme, atau bahkan fanatisme buta berdalih agama, yang mengacak-ngacak sendi-sendi kehidupan yang sudah tertata dengan baik,
- Gerakan radikalisme di Indonesia dapat merugikan ketatanegaraan NKRI dan juga tidak sesuai dengan dasar negara Indonesia. Radikalisme dapat menjadikan negera dipandang rendah oleh bangsa lain sehingga ekonomi negara memburuk, sehingga Pemerintahan Indonesia harus berupaya memulihkan hal tersebut yang tentu merugikan ketatanegaraan. Selain itu radikalisme bertentangan dengan pancasila sila pertama. Tidak ada satupun agama yang di Indonesia yang mengajarkan radikalisme untuk mencapai tujuan dari suatu umat beragama.
- Islam melihat substansi negara dengan teritorialnya sebagai tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi warganya. Khilafah itu memang fakta sejarah, pernah dipraktikkan di masa Al-Khulafa’ur Rasyidin yang sesuai dengan eranya di mana kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara bangsa (nation state). “Pasalnya, perangkat pemerintahan dan kesiapan masyarakat saat era khilafah masih sederhana. Pada saat itu belum ada birokrasi yang tersusun rapi seperti sekarang, sehingga dibutuhkan orang dengan kemampuan lebih dalam pelbagai hal untuk menjadi khalifah. Sementara sekarang, kondisi masyarakat dan kesiapan pranata pemerintahan yang terus berkembang, menuntut bentuk pemerintahan yang berbeda.
Wassalam
Penulis :
Zainul Arifin, SHI, MHI
(Khatib Syuriah PCNU Kab. Mojokerto)
NB : Tulisan pernah dimuat di Majalah Mimbar di Kemenag Jawa Timur