KOLOM  

KH. Yahdi Matlab, Kiai Mojogeneng Yang Ahli Istiqomah

“Ayo santri kabeh sing sregep lan istiqomah ngajine, jamaah sholate lan dijogo akhlake. Tembok-tembok, cagak-cagak lan dampar dampar nang kene iki esok bakal dadi saksi” (KH. Yahdi Matlab)

Tidak ada satu desa yang ada di Kabupaten Mojokerto yang memiliki pesantren sebanyak Desa Mojogeneng. Ada sekitar 13 Pesantren besar di desa tersebut seperti Al-Ghazali, As-Syifaiyah, Ahlal Quro, Al Khodijah, As-Shomadiyah, Ar-Robi’iyah, Al Karimah, Ar-Ruhamaiyah, Al-Mathlabi, Darul Quran, Kun Alimah, Al Qurtubi dan al Maba. Uniknya pesantren ini memiliki satu naungan dalam naungan Pesantren Bidayatul Hidayah. Dan membincangkan pesantren Bidayatul Hidayah tidak bisa dilepaskan dari sosok Kiai yang kharismatik dan istiqomah membesarkan pesantren ini. Yakni KH. Yahdi Mathlab. Seperti apa sejarah beliau, dan bagaimana kiprah KH. Yahdi Mathlab dalam mengembangkan pendidikan Pesantren Bidayatul Hidayah ini. Tulisan sederhana ini akan menyuguhkannya.

###

Jauh sebelumnya, Mojogeneng memiliki latarbelakang Islam yang kuat. Pada tahun 1932, sudah berdiri Madrasah. Uniknya Madrasahnya tidak memiliki nama. Dan tempat yang dijadikan sebagai pembelajarannya tidak berada di gedung sekolahan, tetapi di Mushola. Meskipun memiliki murid sebanyak 15 siswa, tetapi karena tidak menggunakan manajemen yang baik, sekolah ini hanya bisa bertahan satu tahun. Dan pada tahun 1937, Kiai Suhaemi dan Abdul Latif mendirikan kembali Madrasah ini. Tetapi perjalanan Madrasah ini tidak semulus yang dikira. Banyak persoalan persoalan yang muncul, hingga kemudian datanglah seorang pemuda yang lama berkelana menimba ilmu di pesantren memimpin Madrasah ini, hingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang sangat diperhitungkan. Dialah KH. Yahdi Mathlab.
KH. Yahdi Mathlab dilahirkan di Desa Mojogeneng, Kecamatan Jatirejo Kab. Mojokerto pada tahun 1917. Ayahnya bernama Kiai Mathlab dan ibunya bernama Nyai Jannah. Kiai Mathlab sendiri putra dari seorang Kiai asal Pasuruan yang merantau ke Mojogeneng bernama Kiai Simun. Sedang Nyai Jannah, putri dari seorang Kiai juga yang bernama Kiai Idris bin Kiai Ustman Surodinawan.

Sejak kecil KH. Yahdi Mathlab sudah memiliki tanda-tanda keistimewan. Keistimeannya ditandai dengan kecerdasan dan rasa hausnya terhadap ilmu. Ia sempat terpikir untuk masuk ke Sekolah Rakyat yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun karena factor finansial, maka niat ke sekolah rakyat diurungkan. KH. Yahdi Mathlab kecil fokus mengaji kepada Kiai-Kiai di desanya yang menyelenggarakan pengajian di rumah-rumahnya.

Hingga ketika ia mencapai usia 14 tahun, KH. Yahdi Mathlab berpamitan kepada orang tuanya untuk menempuh pendidikan di pesantren. Pesantren yang dipilihnya adalah Pesantren Seblak Jombang, yang diasuh oleh menantu Hadratus Syeikh Hasyim Asyari yakni KH. Masum Ali. KH. Maksum Ali sendiri adalah seorang ulama yang alim penulis kitab tashrif yang digunakan sebagai kitab rujukan dalam pembelajaran gramatikal Arab.

Pada tahun 1937, KH. Yahdi Mathlab melanjutkan nyantrinya ke PP. Darul Ulum Jombang dibawah asuhan KH. Romli Tamim, seorang Mursyid Thoriqoh Qadariyah wan Naqsabandiyah. Di Pondok ini selain beliau memperdalam tasawuf, juga memfokuskan diri menghafal al-Quran dibawah bimbingan Kiai Dahlan. Dalam waktu setahun, KH. Yahdi Mathlab mampu mengkhatamkan hafalan al-Qurannya.

Selain Pondok Seblak dan Darul Ulum, KH. Yahdi Mathlab juga tabarukan ke Pesantren Mojosari Nganjuk. Pada saat itu, Pondok Mojosari ini, diasuh oleh KH. Zainuddin, generasi kelima dari Kiai Imron, selaku pendiri Pesantren yang terkenal sebagai tempat yang melahirkan para tokoh tokoh hebat. Pada era itu, belum lengkap pencarian keilmuan seseorang santri, sebelum mondok ke Pesantren ini. Di Pesantren ini, memang dikenal sebagai pesantrennya para ahli riyadoh. Dan dari pesantren ini, calon calon Kiai diberi bekal ilmu ruhani yang bisa dipergunakan kelak ketika berada ditengah umat yang penuh tantangan dengan aneka permasalahannya.

Baca Juga:  Langit Desember Yang Murung : Mengenang Kepergian Gus Dur

Pada tahun 1939, KH. Yahdi Mathlab resmi boyong dari Pondok. Ia memaklumatkan dirinya untuk mengamalkan ilmunya di desa tempat ia dilahirkan. Awal mulanya, ia membantu-bantu mengajar ngaji di Madrasah yang muridnya hanya berjumlah empat siswa. Namun karena keistiqomahan dari KH. Yahdi Mathlab dalam mengajar, lambat laun Madrasah tersebut bisa terus berkembang. Pada tahun 1943, KH. Yahdi Mathlab memperoleh wakaf tanah dari H. Sofii Desa Dinoyo. Dari wakaf tanah tersebut kemudian didirikan gedung sekolah yang diberi nama Sekolah Rakyat Islami (SRI). Dengan Sekolah Rakyat Islami itu, para santri yang awal mula belajar di Mushola secara resmi pindah ke gedung sekolah yang terbuat dari bambu.

Pada tahun 1951, Sekolah Rakyat Islami ini mengalami krisis siswa. Banyak dari tenaga pengajar yang keluar. Ada pula yang meninggal. Sehingga mengurangi mutu dan kualitas Sekolah. Namun sekolah tetap berjalan. KH. Yahdi Mathlab terus istiqomah mengajar. Pada tahun 1953, Sekolah Rakyat Islami dirubah namanya menjadi Madrasah Ibtidaiyah. Pada tahun 1955, KH. Yahdi Mathlab mengembangkan Madrasah Ibtidaiyah dengan mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Pendirian Madrasah Tsanawiyah itu dirasa perlu, sebab banyak lulusan Madrasah Ibtidaiyah kebingungan meneruskan sekolah setelahnya. Sedangkan di daerah sekitar Mojogeneng, belum ada Madrasah Tsanawiyahnya yang bisa menampung lulusan Madrasah Ibtidaiyah. Pada tahun yang sama, KH. Yahdi Mathlab juga mendirikan Madrasah Al-Quran. Dan madrasah-madrasah yang didirikannya itu kemudian terus berkembangkan dengan jumlah siswa yang signifikan.

Namun ada satu persoalan yang mendasar yang terpikirkan oleh KH. Yahdi Mathlab. Yakni tidak ada santri yang kerasan untuk bermukim. Setelah berembuk dengan beberapa Kiai, akhirnya pada tahun 1959, KH. Yahdi Mathlab mantab untuk membuat asrama mukim bagi para santri-santri. Pada tahun 1960, proses pendirian asrama terus dilanjut. Sedang santri santri masih tidak tertampung di asrama yang didirikan. Karenanya para santri santri itu disebar di rumah Kiai-Kiai sekitar Mojogeneng.

Ba’da tahun 1965, dengan ontran-ontran G 30 S PKI, justru keberkahan bagi Madrasah dan Pondok yang didirikan oleh KH. Yahdi Mathlab. Tidak dinyana, santri mencapai 750. Karena membludaknya santri yang berminat nyantri di Pesantren Mojogeneng ini, maka kebutuhan mendirikan asrama terus bertambah. Karenanya kemudian berdiri asrama al-Khodijah, asrama ar-ruhamaiyyah, asrama ar robaiiyah dan seterusnya. Hingga sekarang asrama asrama ini berjumlah sekitar 13. Sekolah formalnya pun bertambah, selain MI dan MTS, kini di Mojogeneng juga berdiri Madrasah Aliyah, Madrasah Diniyah, juga perguruan tinggi yang bekerjasama dengan STIT Raden Wijaya Mojokerto.

###

Banyaknya santri-santri dari berbagai daerah yang mondok di Pesantren Bidayatul Hidayah Mojogeneng ini, membuat orang-orang bertanya, apa strategi, metode, dan cara KH. Yahdi Mathlab membesarkan pondok ini? Dari segi letak strategi sepertinya kurang strategi. Letak pondok ini jauh dari kota dan jalan raya besar. Pun KH. Yahdi Mathlab juga bukan Kiai yang suka berceramah kesana kemari sambil memperkenalkan lembaga pendidikannya.

Baca Juga:  Kemunduran Islam

Bila ditelisik, hal itu dikarenakan haliyah dari KH. Yahdi Mathlab yang ahli istiqomah. Sejak mondok, KH. Yahdi Mathlab merupakan santri yang istiqomah dalam melakukan riyadoh. Setiap malam ia tidak berlepas dari shalat malam. Untuk membantu supaya bangun, setiap hendak tidur, ia meletakkan bathok yang berisi air disampingnya. Dengan harapan, apabila tersenggol maka ia akan tersiram air sehingga ia akan basah kuyup dan bisa melaksanakan shalat malam.

Sesudah menjadi seorang Kiai, KH. Yahdi Mathlab selalu menauladani santrinya untuk istiqomah selaian shalat malam, juga melaksanakan shalat jamaah. Selain itu, dalam hal mengabdi untuk umat, KH. Yahdi Mathlab istiqomah mengajar santri-santrinya. Sewaktu mengajar Madrasah Ibtidaiyah dengan santri yang berjumlah empat siswa, KH. Yahdi Mathlab tidak mengeluh. Ia terus mengajar. Pun pada tahun 1950-an, saat Madrasah yang dikelolanya mengalami kemerosotan dengan banyaknya guru yang keluar, KH. Yahdi Mathlab pun tetap istiqomah mengajar. Dikala pesantren yang dirintisnya didera fitnah dan masalah baik dari serangan fitnah manusia maupun jin, KH. Yahdi Mathlab tak bergeming untuk menghentikan pesantren yang dirintisnya. KH. Yahdi Mathlab terus melaju dengan memasrahkan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Bisa dibilang, kehidupan KH. Yahdi Mathlab, dari pagi hingga malam, semua diperuntukkan untuk umat dan santrinya. Sedang istirahatnya sangat sedikit. Karena waktu seluruh harinya diperuntukkan untuk umat, sedang kesehatannya kurang diperhatikan, maka kesehatannya pun mulai terganggu. Ditengah kesibukannya, KH. Yahdi Mathlab mengalami drop dengan tekanan darah tinggi. Beliau langsung dibawa ke rumah sakit Sakinah Mojokerto. Tepat pukul 03.00 tanggal 7 Juli 1991, beliau menghembuskan nafas terakhirnya meninggalkan santri dan seluruh keluargannya menuju haribaan Allah.

Khabar duka itu menghentakkan seluruh santri dan handai taulan. Semua menitikkan air mata. Seakan dunia terhenti. Kiai yang dikagumi dan dihormati telah berpulang.
Tepat pukul 04.00 wib jenazah diantar dengan ambulance menuju pelataran rumah KH. Yahdi Mathlab. Tak berapa lama berjubel jubel warga, santri dan alumni serta sahabat serta handai taulan memenuhi kediaman. Beribu ribu orang menangis mengantar jenazah KH. Yahdi Mathlab yang dihormati. Hujan gerimis pun turut menjadi saksi duka yang mendalam akan kepergian dari kekasih Allah ini.

Pukul 10.00 WIB upacara pemakaman dilangsungkan dengan terlebih dahulu KH. Dimyati Salim memberikan sambutan atas nama keluarga. Dan kemudian dilangsungkan dengan pembacaan talqin oleh KH. Husein Ihsan, pengasuh PP. Al Ihsan Brangkal.

KH. Yahdi Mathlab meninggalkan istri dan 12 putranya. Putra putrinya diantaranya yakni Nyai Zumroh (wafat masih kecil), Gus M. Shobiri, Nyai Zahroh,Nyai Siti Masriyah, Gus Masrur (wafat masih kecil), Gus Ahmadul Huda, Nyai Lilik Maisaroh, Nyai Aminatus Zuhriah, Gus Saifuddin, Gus Agus Salim, Gus Al Bazi (wafat masih kecil), Gus Miftahus Surur (wafat masih kecil).

 

Penulis : Isnoe Woeng Sayun (Ketua LTN NU Kab. Mojokerto)