Tidak banyak orang tahu, di bumi Jatirejo, pernah muncul sosok Kiai yang alim dan Zuhud. Beliau adalah KH. Abdurahman Idris.
###
KH. Abdurrahman Idris lahir pada tanggal 08 Oktober 1957 di Magelang, dari pasangan Bapak Idris dan Ibu Fatimah. Beliau lahir dengan nama asli Asmu’i Idris dan setelah Haji pada tahun 2003 berubah menjadi Abdurrahman Idris.
KH. Abdurahman Idris lahir dari keluarga ekonomi yang kurang mampu. Semasa kecil KH. Abdurrahman ikut mengembala kambing untuk membantu keluarganya.
Meskipun demikian, orang tuanya tidak mengesampingkan pendidikan. KH. Abdurahman Idris pernah mengenyam pendidikan formal pada masa orde baru namun tidak dijelaskan sekolah dimana dikarenakan ijazah KH. Abdurrahman Idris sulit untuk dicari keberadaannya.
Pada saat KH. Abdurahman Idris berumur 21 tahun, beliau memutuskan untuk belajar mendalami ilmu agama di PP. Tebuireng. Kemudian melanjutkan mondok ke PP. Roudhotul Ulum, Kencong, Pare. Beliau menghabiskan waktu belajar selama kurang lebih 15 tahun.
Dalam perjuangannya mendalami ilmu agama tentunya beliau merasakan perjuangan yang sangat berat sebab berasal dari keluarga yang kurang mampu, namun kendati demikian beliau memilih untuk melatih diri dengan tirakat bahkan beliau pernah hanya makan nasi dengan lauk buah sawo yang masih mentah dengan cara diparut sebagai ganti kelapa.
Sewaktu mondok beliau pernah berguru kepada KH. Samian Pakis, KH. Hannan Ma’sum, dan KH, Muhajir.
KH. Abdurrahman muda termasuk santri yang giat dalam kegiatan pondok sampai mendapat kepercayaan para kiai untuk menjadi abdi ndalem.
Beliau menikah di Pondok Roudhotul Ulum di usia 27 tahun dengan meminang salah seorang wanita bernama Hj. Hannah Muayyidatus Syifa’ adik dari Bu Nyai Kholidah, pengasuh dari Ponpes Robithotul Ulum, Mapel. Setelah menikah beliau tetap melanjutkan pendidikan di Pondok.
###
Setelah dirasa cukup mondoknya, KH. Abdurahman Idris pulang dan membantu mengajar di ponpes Robithotul Ulum, Mapel, Jatirejo, Mojokerto.
Setelah cukup lama membantu mengajar di Ponpes Robithotul Ulum, KH. Abdurahman Idris memenuhi permintaan dari warga Dusun Kowang, Desa Gebangsari untuk mengajar di desa tersebut. Pada waktu itu masih belum ada tempat pendidikan sama sekali dengan keadaan masyarakat yang tidak tahu syariat Islam.
Pada awal mengajar, tepatnya tahun 1988, beliau dibantu istrinya dan juga beberapa sesepuh dari desa tersebut. Dalam mengajar, KH. Abdurrahman Idris sangat ikhlas dan sabar. Suatu ketika tempat yang digunakan sebagai mengajar dikencingi oleh masyarakat sekitar. Meskipun demikian beliau tidak marah dan tetap melanjutkan mengajar seperti biasa.
Beliau termasuk sosok ulama yang sangat berhati hati dan mandiri dalam berbuat. Diceritakan, suatu ketika putra KH. Abdurahman Idris hendak lahir. Disaat dukun kampung yang biasanya membantu melahirkan itu datang ke rumah, kondisi bayinya sudah di gendong. Bukan karena apa-apa, hal ini dikarenakan akhlak Bu Nyai Hj. Hannah Muayyidatus Syifa’ menjunjung tinggi rasa malu. Begitu seterusnya sampai anak terakhir.
Kedua pasangan ini memiliki enam keturunan, yakni tiga putra dan tiga putri, yang sekarang ikut membantu mengajar dan membantu dalam segala hal di Pondok. KH. Abdurrahman Idris menasehati pada putra putrinya bahwa,
“Jangan pernah mengambil apa yang bukan menjadi hak kita”. Beliau tak pernah sekalipun meminta bayaran dalam mengajar, keikhlasan beliau inilah yang diturunkan kepada putra putri beliau.
###
Ada kisah menarik dibalik berdirinya Ponpes Roudhotul Muttaqin yang didirikan oleh KH. Abdurrahman Idris. Pada awal masa proses pembangunan gedung pondok dana yang di dapat bukan dari pemerintah melainkan dari kemandirian KH. Abdurrahman beserta para santrinya.
Setiap malam selepas mengaji para santri pergi ke sungai untuk mencari pasir dan digunakan untuk membangun gedung ponpes. Tukang dan kuli dilakukan sendiri oleh para santri dibantu masyarakat.
Uniknya beliau tak pernah memegang uang dana pembangunan gedung ponpes. Semuanya dikelola oleh santri. KH. Abdurahman hanya mengkoordinir.
Dawuh beliau saat itu yang terngiang di telinga para santri,”Bangunan dari pemerintah memang bagus, tapi sayang santrinya. Manfaat ilmunya kurang”.
Beliau bahkan sudah memikirkan apa yang akan terjadi jika pendidikan berlangsung melalui hal yang syubhat.
###
Kemudian yang perlu diteladani lagi dari sosok KH. Abdurahman Idris adalah semangat egaliternya. Beliau tidak menjaga jarak dengan para santrinya. Setiap pukul 07.00 WIB, setelah mengaji subuh, berangkat ke sawah di Desa Mrisen. Begitu seterusnya sampai memiliki gedung yang seperti sekarang.
Di NU, KH. Abdurahman Idris tercatat pernah menjabat sebagai Rais Syuriah selama dua periode pada tahun 2011-2021 di MWC NU Jatirejo.
Di bidang pendidikan, selain mengembangkan Ponpes Rudhotul Ulum, beliau juga turut aktif bekerja sama mengembangkan pendidikan keagamaan di MTs Muhajirin Dinoyo, SMPN 1 Jatirejo, dan SMK Maarif NU Jatirejo.
###
Dengan kondisi yang semakin menua, KH. Abdurrahman Idris jatuh sakit. Beliau mengalami sakit lambung selama kurang lebih satu tahun. Dan kemudian wafat pada 28 Agustus 2021 dan setahun kemudian di bulan yang sama disusul oleh wafatnya istri beliau Bu Nyai H. Hannah Muayyidatus Syifa’. Dan sekarang pondoknya dilanjutkan oleh putra putrinya.
Penulis : Rizal Jatirejo.