Kalimat “kemunduran Islam” biasanya banyak ditelusuri hingga kembali pada masa akhir kekhalifahan Abbasiyah (ca. AD 1100). Tak terkecuali Steven Weinberg, pemenang hadiah Nobel Fisika tahun 1979. Menurutnya dalam “To Explain the World”, salah satu indikasi kemunduran ini adalah absennya sosok ilmuwan muslim besar pasca generasi Al-Battani, al-Biruni, Ibnu Sina, juga al-Haitam.
Al-Battani yang asli Mesopotamia itu adalah seorang astronom yang paling memberi pengaruh pada dunia astronomi Eropa. Al-Biruni yang hidup di masa khalifah Abbasiyah itu termasuk yang pertama kali mengatakan bila bumi berotasi. Soal Ibnu Sina, hampir setiap orang sudah mengenalnya.
Al-Haitam, lahir di Irak, adalah orang yang pertama kali mengoreksi pandangan filsuf Yunani soal mekanisme pembelokan cahaya dalam medium yang berbeda. Ia menjadi orang pertama yang mengikuti metode sains, melakukan pengamatan secara sistematis atas berbagai fenomena fisis atau bukti-bukti empirik dan menghubungkannya dengan teori. Para filsuf besar Yunani dulunya beranggapan bahwa mereka tak perlu membuktikan teorinya secara empirik. Tidak berlebihan bila ia disebut sebagai “the first real scientist”.
Ketimbang menarik kesimpulan penyebab kemunduran ini dengan sembrono, Weinberg melakukan beberapa hal berikut dalam tulisannya itu:
Pertama, alih-alih menggunakan istilah “sains Islam”, ia menggunakan istilah “sains arab”. Istilah ini merujuk pada aktivitas serta perkembangan sains dan teknologi tidak hanya di Baitul Hikmah Baghdad, melainkan juga di Mesir, Spanyol, Maroko, timur Persia, bahkan Asia tengah.
Kedua, Weinberg seakan ingin membantah anggapan sementara orang yang mengatakan bahwa perkembangan sains dan teknologi di jazirah Arab dan sekitarnya mandeg total pasca dinasti Abbasiyah.
Kenyataannya, meski berkurang, aktivitas penelitian masih berlangsung dibawah dinasti Mongol di Persia, India, juga Utsmaniyah. Observatorium terbesar pada masa itu bahkan dibangun di Samarkand oleh Ulugh Beg dari dinasti Timurid (tentu sebagian dari kita akrab dengan nama pendiri dinastinya, Timur Lenk).
Dan, hal ketiga inilah yang saya kira paling penting, yang membedakan ilmuwan dari orang kebanyakan: Weinberg dengan cermat mengajukan dua buah pertanyaan untuk mencari tahu apakah benar perkembangan agama Islam secara pesatlah yang menyebabkan kemunduran ini.
Pertanyaan pertama: bagaimana pandangan ilmuwan muslim pada umumnya terhadap agama? i.e. apakah benar anggapan yang menyatakan bila ilmuwan muslim yang sukses itu adalah mereka yang memisahkan pengaruh agama?
Kenyataannya, Weinberg sendiri kesulitan untuk menjawab pertanyaan ini meskipun ia menyajikan beberapa contoh ilmuwan muslim yang ia anggap sebagai representasi dari sikap “religious skepticism”. Dari Umar Khayyam, Ibnu Rusyd, hingga al-Razi, kemudian Ibnu Sina di sisi yang berlawanan.
Hal ini disebabkan tak banyak ilmuwan arab yang meninggalkan catatan soal pengaruh agama pada risetnya. Weinberg memposisikan konflik agama dan sains dalam Islam sama kompleksnya dengan konflik serupa dalam Kristen — dan karenanya ia tak akan (mungkin karena enggan, atau memang tak bisa) memberi jawaban pasti.
Lalu pertanyaan kedua: bagaimana pandangan umat Islam pada umumnya terhadap sains?
Perilaku anti sains dalam Islam meningkat sejak abad ke-11. Weinberg memberi contoh sebuah anekdot: al-Biruni dikritik oleh seorang “religous legalist” hanya karena ia menggunakan sebuah instrumen yang menampilkan nama-nama bulan menggunakan bahasa Yunani, bahasa yang digunakan oleh orang-orang Kristen Bizantium. Al-Biruni menjawab (mungkin karena sudah kesal), “toh orang Yunani juga sama-sama perlu makan!”.
Dengan “sopan” melalui pembubuhan kalimat “often said”, Weinberg kemudian mengajukan nama al-Ghazali dan al-Asy’ari sebagai kontributor terbesar ketegangan antara sains dan Islam. Menurutnya kedua figur ini merupakan penganjur okasionalisme. Meski percaya bila al-Ghazali tahu benar soal potensi jarinya yang akan terbakarnya bila ditaruh diatas lilin, Weinberg kesulitan memahami mengapa al-Ghazali percaya pada paham semacam itu.
Padahal Weinberg sendiri yang mengutip kalimat al-Ghazali pada paragraf sebelumnya soal beberapa kemungkinan saat kapas yang bersentuhan dengan api: (1) kapas bisa saja tak terbakar, atau (2) kapas segera menjadi abu bahkan tanpa tersentuh api terlebih dulu.
Al-Ghazali memang tak menuliskan secara eksplisit penerimaannya pada kemungkinan ketiga yang lebih reguler terjadi, yaitu terbakarnya kapas saat bersentuhan dengan api. Mungkin karena beliau ingin menekankan kedua kemungkinan lainnya itu. Hanya saja, justru kemungkinan inilah yang dicari-cari dan dipastikan selalu terjadi oleh para ilmuwan seperti Weinberg, sekaligus menegasikan dua kemungkinan lainnya. Karena itu, Weinberg tetap pada pendiriannya bila al-Ghazali menolak adanya keteraturan/kepastian hukum alam.
Sebagai penutup, Weinberg mengungkapkan sebuah ironi soal Sayyid Qutb, yang menyerukan pemurnian agama Kristen, Yahudi, dan Islam sekaligus. Salah satu tujuannya ialah untuk membuka jalan berkembangnya “sains Islam” yang akan menutup celah antara sains dan agama. “But Arab scientists in their golden age were not doing Islamic science. They were doing science,” tutup Weinberg.
Oh, hampir lupa, tahukah anda bila Steven Weinberg termasuk salah satu penyerang terbaik dari grup yang sering disebut sebagai “New Atheist Movement”?
Bila Weinberg saja masih berusaha untuk secara sistematis mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar demi menggali penyebab kemunduran umat Islam, meski ia bisa luput dalam beberapa kesimpulannya, juga bisa tepat dalam beberapa kesimpulan lainnya, tentu anda yang mengaku muslim bisa melakukan minimal hal yang sama pada agama anda sendiri, bukan?
Keterangan foto: Pemenang Nobel Fisika tahun 1979, kiri ke kanan, Sheldon Lee Glashow (ateis), Abdus Salam (muslim), Steven Weinberg (ateis). Dalam buku yang sama, Weinberg menyatakan bila Abdus Salam adalah kawan muslimnya yang taat beragama.
Penulis : M. Rodlin Billah (PCINU Jerman)