Baru baru ini muncul tulisan yang kontroversial atas nama Nasrudin Hoja yang mengkritik keputusan Pemerintah Indonesia yang menetapkan Idul Adha berbeda dengan keputusan Pemerintah Saudi yang menetapkan Idul Adha Jatuh pada hari Sabtu (9 Juli 2022), sedang pemerintah Indonesia menetapkan pada hari Ahad (10 Juni 2022).
Nasrudin Hoja, yang dalam tulisan tulisannya identik dengan idiologi HTI ini, menyatakan keanehan hasil Rukyat Pemerintah Indonesia.
“Aneh, sudah ada hadits haji itu di Arafah, rukyat yang dipake rukyat Amir Makkah, eh ini maksain rukyat sendiri. *Akhirnya harinya beda*, tulisnya.
Menyikapi pernyataan itu, Gus Syamsul Maarif, Ketua PC. Falakiyah NU Kabupaten Mojokerto justru menyatakan rasa keanehannya pada pernyataan Nasrudin Hoja ini,
“Memang benar, waktu haji itu didasarkan hasil rukyat Amir Makkah. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan –antara lain– oleh Imam Abu Dawud, nomor hadis 2340 (dalam versi teks _al-Maktabah al-Syamilah_). Kenapa harus pake rukyat Amir Makkah? Kok tidak pakai rukyat Nabi dan penduduk Madinah saja? Ya jelas toh … karena lokasi manasik haji itu di Makkah. Coba di Madinah, tentu Nabi tidak akan menyuruh pake rukyat Amir Makkah.” Jelasnya.
“Bahkan andai lokasi manasik haji itu di Jabon Mojoanyar, yang bakalan muncul dalam hadis adalah rukyat Bupati Mojokerto … haa haa haa” lanjutnya.
Menurut Pria yang juga jadi Wakil PW Falakiyah Jawa Timur ini, sejatinya hadis tersebut mengandung isyarat bahwa moment kemunculan hilal itu bisa berbeda antar dua tempat yang jaraknya jauh, meskipun yang satu di selatan dan yang lain di utara (seperti antara Makkah dan Madinah yang dipisah jarak sekitar 400 kilometer). Secara ilmu falak astronomi, fenomena seperti ini benar, tidak salah.
Karena itu, Ibnu Abbas yang tinggal di Madinah menolak memedomani hasil rukyat awal Ramadhannya khalifah Mua’wiyah dan penduduk negeri Syam. Ibnu Abbas memilih memedomani hasil rukyat penduduk Madinah sembari menegaskan: _“Begitulah Rasulullah SAW menyuruh kami”_ (Hadis riwayat Imam Muslim nomor 2580; Imam Abu Dawud nomor 2334; Imam al-Tirmidzi 693; dan Imam al-Nasa-i nomor 2421)
Dan tentang pertanyaan, apakah muslimin di seluruh dunia wajib ber-Puasa Arafah pada HARI yang sama dengan HARI Wukuf di Arafah? Gus Syamsul menjawab wajib. Tapi bukan sama _“hari pekanan”_ nya, melainkan sama _“hari bulanan”_ nya, yakni pada hari ke 9 Zulhijjah di negeri masing-masing.
“Yang di Makkah, ya pada hari ke 9 Zulhijjah di Makkah. Yang di Selandia Baru, ya pada hari ke 9 Zulhijjah di Selandia Baru, dst”
“Orang Indonesia yang ingin puasa pada _“hari pekanan”_ yang sama dengan Makkah, wah gampang banget. Segera beli tiket, dan terbang ke Makkah. Mumpung masih ada waktu. Kalau sudah di sana, bukan hanya puasa Arafahnya yang sama _hari pekanan_nya dengan orang Makkah, tetapi juga waktu sahur dan berbukanya, waktu salat lima waktunya, dan lain-lain”
“Saya? Wah, saya di Nusantara saja. Saya ikut Amir Nusantara. Hahhaa … _gitu aja kok repot “