Al-Bushiri, setelah memberikan dalil pertama bahwa semua keadaan yang dia rasakan hingga menangis dengan aliran darah itu betul-betul karena cinta, ia kali ini menyebutkan lagi dalil kedua:
لو لا الهوى لم ترق دمعا على طلل ** ولا أرقت لذكر البان والعلم.
“Seandainya bukan karena cinta, air matamu tidak akan mengalir hanya karena melihat bangunan yang pernah disinggahi oleh kekasih. Seandainya bukan karena cinta, kamu tidak akan sulit untuk tidur, hanya karena ingat pepohonan dan pegunungan yang ada di dekat rumah kekasih.”
Al-Bajuri dalam syarahnya menjelaskan, bahwa sulit bagi orang orang yang sedang merindu untuk tidur karena nyenyaknya tidur disebabkan karena lambung yang basah yang didapat dari makanan dan minuman. Karena orang yang rindu sulit untuk mengendalikan nafsu makan, akhirnya lambungnya mengering yang membuat ia kesulitan tidur. Ditambah dengan rindu sendiri berhawa panas dalam pikiran yang membuat pemiliknya sulit untuk fokus hingga bisa tertidur.
Al-Bushiri menyebutkan al-Bani yang berarti pohon yang beraroma wangi, dan al-‘alami yang berarti pegunungan yang indah. Bisa jadi yang diinginkan al-Bushiri adalah makna tekstualnya, yaitu ingat dengan sekitar tempat tinggal kekasih saja bisa membuatnya sulit untuk tidur, apalagi mengingat sang kekasih. Atau, al-Bushiri ingin menyamakan harumnya pohon itu dengan harumnya sang kekasih, dan menyamakan indah dan kokohnya pegunungan sama dengan tegaknya sang kekasih, sehingga maknanya adalah, ia teringat dengan aroma harum sang kekasih dan postur tubuhnya yang begitu tegak, sehingga ia kesulitan untuk tidur.
Mengingat tempat-tempat yang pernah dikunjungi kekasih memang membuat orang yang sedang kasmaran akan sulit mengendalikan dirinya. Dulu, Qais juga mengalami hal yang seperti ini, sulit mengendalikan diri saat ia melewati rumah Laila, ia bersenandung:
أمر على الديار ديار ليلى * وأقبل ذا الجدار وذا الجدارا
وما حب الديـار شغفنَ قلبي * ولكن حب من سكن الديارا
“Aku berjalan di rumah, rumahnya Laila. Aku kecup dinding yang ini dan itu. Bukan rumah itu yang membuat jiwaku melayang girang, tapi cinta kepada sang pemilik rumahnya lah yang membuat jiwa ini senang.”
Begitu juga Imam Nawawi yang dulu pernah ingin menziarahi Imam Syafi’i. Dari kejauhan, beliau melihat kubah makam, dan beliau menangis. Bukan karena kubahnya, tapi penghuni Makam tersebut.
**
فكيف تنكر حبا بعد ما شهدت ** به عليك عدول الدمع والسقم
“Mana mungkin (setelah semua yang terjadi ini) kamu masih mengingkari cinta yang kamu pendam, setelah terlihat begitu nyata bukti yang tidak akan berdusta: rasa sakit (saqam) dan air mata (dam’i)?!”
Al-Bushiri saat menyebutkan rasa sakit dan air mata sebagai bukti agar ia tidak lagi mengingkari rasa cinta itu, beliau sifati dengan ‘Udul (sesuatu yang tidak akan berdusta), padahal air mata dan rasa sakit itu bisa saja muncul selain karena cinta. Tapi, al-Bushiri mengungkapkannya dengan ‘udul, seolah itu pasti karena cinta. Karena sangat terlihat perbedaan antara tangisan cinta dan lainnya, juga sangat berbeda rasa sakit karena cinta dan sakit karena penyakit medis.
**
وأثبت الوجد خطي عبرة وضنى ** مثل البهار على خديك والعنم
“(Mana mungkin juga kamu mengingkari cinta) padahal rasa cinta dan duka nestapa itu telah menggoreskan dua garis di atas kedua pipi karena rasa lemah dan tak berdaya. Mirip seperti mawar kuning dan merah.”
Al-Bushiri ingin memberikan sebuah potongan gambaran yang sangat indah tentang wajah orang yang sedang diselimuti rasa rindu yang begitu dalam. Ia gambarkan, dua pipi itu seperti dataran yang dipenuhi oleh bunga-bunga mawar berwarna kuning. Ini sangat cocok dengan wajah orang yang sedang merindu yang biasanya pucat, kurang makan dan jarang tidur, hingga kesehatannya begitu mencemaskan. Di tengah hamparan bunga mawar berwarna kuning itu, ada dua garis merah dari bunga-bunga mawar merah, yang menjadi gambaran air mata yang mengalir yang bercampur dengan darah.
Gambaran yang diberikan oleh al-Bushiri ini, mirip dengan kisah yang dialami oleh Tsauban. Salah satu pelayan Rasulullah. Ia dulunya adalah tawanan perang yang dibebaskan oleh Rasulullah. Namun setelah bebas, ia tidak ingin pulang ke kampung halamannya dan memilih untuk tinggal, dan melayani Rasulullah.
Tsauban terkenal dengan cintanya yang begitu luar biasa kepada Rasulullah. Jika Rasulullah menjauh darinya untuk pergi sebentar saja, ia akan gelisah tidak menentu. Jika Rasulullah kembali, ia akan kembali bahagia dan asik menikmati keindahan Rasulullah.
Suatu hari, Rasulullah mendapati Tsauban yang sedang terlihat sangat sedih. Wajahnya pucat dan menguning. Rasulullah pun bertanya tentang apa yang ia sedang rasakan?
Tsauban menjawab: “jika aku mengingat akhirat aku sangat sedih. Karena engkau angkat diangkat oleh Allah ke derajat yang sangat tinggi bersama para Nabi. Lalu bagaimana dengan diriku yang akan jauh darimu? Dan jika aku tidak masuk surga, aku tidak akan melihatmu lagi selamanua.”
Rasulullah sangat terharu dengan jawaban Tsauban. Tidak lama setelah itu, turun sebuah ayat yang seolah menjadi jawaban atas kesedihan yang dialami oleh Tsauban:
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّينَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa 69)