KOLOM  

Biografi KH. Arif Hasan, Pengasuh PP. Roudlatun Nasyiin Berat Kulon

Di suatu pagi yang sepi, seorang bayi dibiarkan terlentang seorang diri di dalam rumahnya. Tiba tiba dari arah sungai seekor ular menjulur julurkan lidahnya. Ular itu terus bergerak mendekati bayi itu. Ia pun kemudian membelit calon mangsanya itu.

Mendapati bayinya berada di ujung maut, Kiai Hasan dan Bu Nyai Sholihah gundah gulana. Mereka tidak bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan anak kinasihnya. Hanya kepasrahan kepada Allah mereka ikhtiarkan. Tiba tiba seekor kucing datang dari arah yang tidak diketahui. Kucing itu kemudian menyerang ular dan memaksanya untuk melepaskan belitan pada bayi kecil itu. Ular itu pun melepaskan mangsanya dengan terpaksa. Ia kemudian bertarung dengan kucing yang menyerangnya. Meskipun berdarah darah, akhirnya kucing itu pun berhasil mengusir ular.

Segera setelah ular melepaskan belitannya Kiai Hasan dan Bu Nyai Sholihah memeluk dan menciumi anaknya itu. Ada sebuah sesal telah membiarkan sang bayi seorang diri di pagi hari. Kiai Hasan dan Bu Nyai Sholihah menaubati perbuatannya dikemudian hari dengan memberikan selaksa kasih sayang yang penuh kepada bayi yang hampir terenggut nyawanya itu. Bayi itu, kelak yang menjadi Kiai Besar yakni KH. Arif Hasan.

KH. Arif Hasan lahir pada 20 Robiul Awal 1337 H/1917 M di Desa Berat Kulo Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Ia lahir dari pasangan Kiai Hasan dan Bu Nyai Sholihah. Kiai Hasan sendiri adalah Kiai Kampung yang alim, yang menjadi tempat menuntut ilmu dan bertanya tentang ragam persoalan kehidupan warga Berat Kulon dan sekitarnya.

Bila dijalurkan ke atas Kiai Hasan bin Mbah Ali bin Mbah Katam. Mbah Katam dikenal sebagai seorang china muslim. Sedang dari Nyai Sholihah binti Mbah Mahmud. Mbah Mahmud itu memiliki seorang istri yang juga seorang China Muslim.

Arif kecil tumbuh menjadi pribadi yang riang dan penuh keceriaan. Ia selain bermain bersama teman temannya sekampung, juga tekun belajar. Arif belajar dasar dasar ilmu agama dari Ayahnya langsung. Selain itu juga belajar kepada Kakeknya dari jalur ibu, Mbah Mahmud, dengan memperdalam bacaan Al Quran dan tafsir kehidupan yang telah dicecap oleh Mbah Mahmud.

Pada usia 16 tahun, tepatnya pada tahun 1933, Arif dipondokkan ke Tebuireng. Ia diantar oleh ayahnya sendiri beserta keluarga dan sahabat karibnya. Pada saat ayahnya menghadap kepada Hadratus Syekh Hasyim Asyari, Arif penasaran dengan keadaan pondok. Ia pun berjalan jalan melihat sekitar pondok pesantren. Bersamaan dengan itu, pihak keamanan pondok sedang mencari seorang anak pondok yang bernama Arif yang telah melakukan pelanggaran. Anak keamanan akan mengeksekusi santri yang bernama Arif tersebut. Sayangnya ia tidak tahu persis rupa si Arif. Mendapati Kiai Arif kecil yang sedang berjalan jalan dan ketika ditanyai menjawab arif adalah namanya, maka anak keamanan itu segera membawa arif ke sidang keamanan dan memberikan hukuman kepada Arif dengan memasukkannya ke dalam kamar mandi. Namun betapa terkejutnya pihak keamana, ketika mereka salah tangkap. Maka gemparlah PP. Tebuireng kala itu.

Mendapati peristiwa itu, Hadratus Syekh Hasyim Asyari mengambil kebijakan untuk menempatkan Arif di sebuah Gotakan bersama santri yang alim dan dituakan yakni Kiai Salim Kertosono. Di bawah pengawasan Kiai Salim ini, Arif dengan tenang mempelajari ilmu ilmu pesantren. Ia hafalkan nadzam nadzam kitab gramatikal arab seperti imrithi, amtsilah at Tasrifiyah, alfiyah ibnu malik dan lain lain. Arif juga menghafalkan Al Quran. Dan karena kecerdasannya, ia mampu khatam menghafalkan dalam waktu enam bulan.

Selain mengaji, Arif juga turut membantu keperluan keluarga Ndalem Hadratus Syeikh Hasyim Asyari. Selepas melaksanakan shalat malam, Arif menuju rumah Hadratus Syeikh Hasyim Asyari untuk mencuci piring kotor, menimba air mengisi bak mandi yang dipergunakan Hadratus Syekh dan lain lain. Arif juga kerap dipanggil untuk mijitin tubuh Hadratus Syekh.

Karena jiwa melayaninya itulah, Arif memiliki kedekatan dengan Hadratus Syekh Hasyim Asyari. Sehingga Arif mampu melihat akhlak dan meniru dari sosok orang Alim pada zaman itu. Sehingga kelak, akhlak Hadratus Syekh itulah yang melekat dalam pribadi Arif.

Setelah enam tahun nyantri, Arif diboyong oleh ayahnya ke Berat Kulon. Saat itu usia Arif sudah menginjak 22 tahun. Usia yang masih tergolong sangat muda. Tetapi oleh ayahnya, ia dipasrahi untuk memberi pengajian menggantikan posisi ayahnya yang memiliki rutinan ngaji kitab. Karena kitab Fathul Muin belum pernah ia kaji, membuat arif grogi. Tetapi Arif terus berwasilah kepada Hadratus Syekh Hasyim Asyari. Dan tugas membaca kitab Fatkhul Muin dapat terselesaikan dengan sukses. Ia mampu membaca kitab kuning itu dengan lancar tak ada kendalan satu pun.

Lambat laun, Arif mulai memiliki tempat dihati masyarakat desa berat. Ia pun dipanggil dengan Kiai Arif meskipun usianya relatif muda. Berdirinya PP. Roudlatun Nasyiin pada 1 April 1939 oleh Kiai Arif, semakin mengukuhkan ketokohannya sebagai orang yang diperhitungkan dalam dakwah Islam di Masyarakat Berat dan sekitarnya.

Pondok Roudlatun Nasyiin semakin hari semakin banyak santri mukimnya. Tidak hanya dari Mojokerto saja tetapi merambah sampai di luar Mojokerto seperti Surabaya, Lamongan, Sidoarjo, Pasuruan dan lain lain. Pada tahun 1955, Pondok ini menambahkan bangunan hingga lima lokal dari dua lokal yang didirikan sejak awal mula. Dan pada tahun 1956, Kiai Arif menambah bangunan lokal lagi untuk santri santri putri.

Selain Pesantren, Kiai Arif juga mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, tepatnga pada 1 Agustus 1939. Pada tahun 1963, Kiai Arif mendirikan Mualimin Mualimat Pertama (MMP) semacam MTS. Dan kemudian menyusul pembangunan gedung sekolah untuk Mualimin Mualimat Atas pada tahun 1966. Tahun 1980, Kiai Arif juga mendirikan TK. Tanggal 15 Juli 1985, Kiai Arif juga mendirikan SMP Islam. Dan pada 1 Juli 1988, Kiai Arif menggenapi pembangunan gedung SMA Islam.

Dalam berdakwah Kiai Arif tergolong Kiai yang Arif dalam menyikapi perkembangan, tetapi dengan tidak melupakan ketegasan. Saat Hadratu Syekh Hasyim Asyari mengeluarkan Fatwa Jihad, Kiai Arif turut berjuang digarda depan melawan Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia yang telah merdeka. Bahkan rumahnya pernah dijadikan sebagai markas Laskar Hizbullah Utara Sungai.

Suatu kali, pasukan Belanda menyisir keberadaan pejuang yang kerap melakukan gerakan grilya ke desa desa. Salah satu desa yang dijadikan target untuk digeledah adalah Berat Kulon. Belanda pun memasuki rumah rumah, tak terkecuali rumahnya Kiai Arif. Kiai Arif tampak tenang sambil duduk di kursi goyang kesukaannya. Tidak ada tampak rasa khawatir di raut mukanyq. Sungguh aneh, pasukan Belanda tak melihat Kiai Arif duduk di kursi itu. Sehingga Kiai Arif aman dari penyergapan.

Ketika meletus G 30 S PKI tahun 1965, Kiai Arif turut terdepan dalam menumpas PKI. Rapat rapat penting penumpasan anggota PKI diadakan di rumah Kiai Arif. Dan setiap hendak mengeksekusi, Kiai Arif yang dijadikan pertimbangan. Pernah suatu peristiwa, anggota Ansor menangkap anggota PKI di desa Kembangan. Kiai Arif dimintai fatwa tentang eksekusi terhadap anggota PKI itu. Oleh Kiai Arif diberikan jawaban, selama anggota PKI masih bersyahadat, dia dilarang dibunuh.

Setelah usai gonjang ganjing yang melanda negeri lerai, Kiai Arif fokus ke pesantrennya lagi. Kiai Arif fokus mendidik santri santrinya. Dihadapan santri, Kiai Arif selain mengajarkan ilmu ilmu pesantren juga merupakan tauladan yang memberi contoh akhlak mulia dalam penerapan kehidupan sehari hari. Kiai Arif merupakan sosok yang istiqomah. Setiap hari, Kiai Arif tak pernah meninggalkan jamaah. Pun jadwal ngaji bersama santri, senantiasa diisi secara istiqomah.

Kiai Arif tak menolak model dakwah yang kreatif untuk zamannya. Kiai Arif bahkan menugasi putranya untuk membuat radio, sehingga ngajinya bisa disiarkan ke berbagai pelosok selain Mojokerto. Bahkan siaran radio bisa menembus hingga Pasuruan. Sehingga orang Pasuruan penasaran sampai mencari keberadaan Kiai Arif di Berat Kulon.

Kiai Arif, tidak sekadar memanfaatkan radio untuk ngaji saja, tetapi juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan Pondok Pesantren Roudlotun Nasyiin serta lembaga lembaga pendidikan formal dalam lingkupnya. Hanya saja radio ini, karena ada peraturan untuk izin dengan birokrasi ribet, maka radio itu akhirnya ditutup.

Kiai Arif juga menginisiasi, sebelum ada listrik masuk desa, membuat aliran listrik dari genset. Dari aliran listrik ini, membawa manfaat, ngaji para santri di malam hari menjadi jelas dan terang. Pada perkembangannya, genset ini mampu menerangi seluruh kampung.

Kiai Arif juga pernah menginisiasi berdirinya PERTANU (Persatuan Petani NU) yang bergerak dalam pendampingan kepada para petani. Pada musim tiba, petani petani diminta menyisihkan satu dua karung hasil panennya. Kemudah dicatat dan dimasukkan lumbung PERTANU. Dan bila petani membutuhkan mengambil padinya bisa diambil sewaktu waktu.

Kiai Arif selain kerja kerja sosial kemasyarakatan dan agama, juga pernah terjun dalam dunia birokrasi. Tercatat, Kiai Arif pernah menjadi Kepala Pengadilan Agama di Mojokerto. Tetapi karena kesibukan di dunia birokrasi menyita perhatian sehingga kegiatan pesantrennya tersingkirkan, maka Kiai Arif kemudian mengundurkan diri.

Pun juga kala Kiai Arif masuk ke dunia politik. Melalui jalur tokoh masyatakat, tahun 1955, Kiai Arif terpilih menjadi anggota DPRD Mojokerto. Tapi Kiai hanya bertahan hingga tahun 1960. Usai tahun itu, Kiai Arif kembali lagi ke Pesantren.

Meski telah kembali ke pesantren, tetapi karismanya sebagai tokoh yang berpengaruh membuat tokoh tokoh Mojokerto selalu meminta pendapat kepada Kiai Arif. Tidak hanya politisi, berbagai kalangan pun bertamu untuk memintakan solusi atas ragam permasalahan kepada Kiai Arif. Dan kiai Arif dengan bijaksana melayani masyarakat yang berkeluh kesah kepadanya.

Dengan kesibukannya melayani umat, tidak melupakan kewajibannya untuk menyempurnakan rukun Islamnya. Kiai Arif dengan uang hasil tabungannya pun berangkat naik haji. Pasca berangkat haji, kesehatan KH. Arif Hasan menurun. Pada 31 Oktober 1988, KH. Arif Hasan dilarikan ke rumah Sakit Budi Mulia Surabaya atas derita diabetes akut yang menderanya. Malang tak dapat ditolak, belum sempat ditangani, KH. Arif Hasan telah berpulang ke rahmatullah. Isak tangis pun pecah mendengar khabar meninggalnya Kiai panutan umat. Santri dan masyarakat pun berduyun duyun mengantarkan jenazah sang Kiai.

Penulis : Isnoe Woeng Sayun (Ketua LTN NU Kab. Mojokerto)