KOLOM  

Benarkah Binatang Juga Bisa Disebut Ulama’?

Jagat Media Sosial sedang diramaikan oleh pernyataan kontroversial Sugik Nur Raharja mengenai penyebutan ulama’ terhadap golongan hewan yang merupakan penafsiran yang terkesan ngawur.

Mengutip dari channel Youtube “Agama Akal TV” yaitu salah satu Channel Youtube yang membagikan vidio mengenai ceramah Sugik Nur yang kontroversial tersebut. Sugik Nur berdalil menggunakan Alquran surah fathir ayat 28 yaitu :

وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَاۤبِّ وَٱلۡأَنۡعَـٰمِ مُخۡتَلِفٌ أَلۡوَ ٰ⁠نُهُۥ كَذَ ٰ⁠لِكَۗ إِنَّمَا یَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰۤؤُا۟ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِیزٌ غَفُورٌ

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Sugik Nur Raharja kemudian menafsirkan ayat ini bahwa menurut Allah ulama’ tidak hanya manusia, namun binatang melata, dan hewan ternak yang takut kepada Allah juga bisa disebut ulama’. Bahkan dia menyebut secara spesifik dan tegas “jadi menurut Allah, ulama’ itu bisa ular, bisa ayam, bisa kambing, bisa manusia, yang penting takut kepada Allah.” tegasnya.

Bila kita merujuk pada kitab tafsir klasik misalnya kitab Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran atau masyhur disebut Tafsir At-Thabari di sana disebutkan:

إنما يخَافُ اللّهَ فيَتَّقِي عِقابَهُ بِطَاعَتِه العُلَماءُ، بقُدْرَتِه على مَا يَشَاءُ مِن شَيءٍ، وأنه يَفْعَلُ ما يُرِيدُ، لأن مَنْ عَلِمَ ذلك أَيْقَنَ بعِقَابِه على معْصِيتِه؛ فخَافَه ورَهَبَه خَشْيَةً مُنْه أن يُعَاقَبَه

” Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan takut terhadap Siksa Allah dengan ketaatan adalah ulama’, orang yang mengetahui bahwa Allah dengan segala kekuasaan-Nya memutuskan segala sesuatu dan melakukan sesuai kehendak-Nya, sesungguhnya orang yang mampu memahami semua itu meyakini Siksa Allah akan menimpa orang yang mendurhakai Allah, maka ulama’ ( Orang Yang mengetahui Kekuasaan Allah) memiliki rasa ketaqwaan akan siksaan Allah” (Jami’ul Bayan fi takwil al-Quran Juz 20 hal. 462, Muassasatur Risalah )

Baca Juga:  Lima Nasihat Ustadz Jamaludin Kepada Jamaah Muslimat dan Fatayat NU Jatirejo

Maka terlihat sangat janggal apabila ulama’ (Orang yang mengetahui dan meyakini segala kekuasaan Allah) sehingga memiliki ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah disejajarkan dengan makhluk yang notabenenya tidak berakal.

Letak kesalahannya jika sedikit dikupas adalah berikut:

Pertama, dalam ayat 28 surah fathir tersebut terdapat ‘Athof Khas kemudian ‘Am karna menyebut manusia lebih dulu sebagai sosok yang dikhususkan penyebutannya, kemudian diikuti dengan hewan melata dan hewan ternak yang maksud tafsirnya adalah bahwa manusia termasuk golongan yang berbeda beda macam dan warnanya (مختلف ألوانه) layaknya hewan melata dan hewan ternak.

Kedua, penggunaan “Tasybih” (كذلك) (Arti: Begitu juga)sebenarnya menjadi petunjuk bahwa manusia itu berbeda-beda atau bermacam-macam layaknya hewan melata dan hewan ternak. Bila disederhanakan maksud Alquran adalah sebagai berikut:

و من الناس مختلف ألوانه، وكذلك الدواب والأنعام

Ketiga, bila Sugik Nur Raharja memahami ulumul quran maka akan menerapkan waqof dan ibtida’ dalam menafsirkannya, karena bila kita melihat Alquran ayat tersebut berhenti di kalimat (كذلك) yang memungkinkan pembahasannya selesai di waqf tersebut, salah satu keunikan Alquran adalah dalam satu ayat saja membicarakan hal yang berbeda dan tidak selalu bermunasabah (berkorelasi) secara langsung, perlu pemahaman yang mendalam untuk memahami munasabah antara ayat satu dan ayat yang lain.

Demikianlah beberapa letak kesalahan penafsiran yang dilakukan oleh Sugik Nur Raharja, kesalahan ini terletak dari kecerobohannya yang tidak berhati-hati dalam menafsirkan Alquran, karena bila kita merujuk pada maqolah Imam Malik Bin Anas salah satu Imam madzhab fiqih berkata:

ما أفتيتُ حتّى سألتُ منْ هو أَعْلَمُ مِنِّي هَلْ يرَانِي مَوْضِعًا لذلك

Baca Juga:  Rekam Jejak H. Pungkasiadi dari Pengurus NU hingga Orang Nomor Satu di Kab. Mojokerto

“Tidaklah aku berfatwa sehingga aku bertanya kepada seseorang yang lebih alim dariku, apakah ia melihatku dalam posisi yang layak untuk berfatwa” (Adabul Fatwa  wal Mufti wal Mustafti, Darul Fikr hal 18)

Tradisi orang alim yang disebut “ulama” adalah meminta konfirmasi terhadap orang yang lebih alim, berdiskusi dengan ulama’ yang lebih Alim demi menghindari kecerobohan dalam berfatwa.

Maka hendaknya kita berhati-hati dalam mengambil ilmu, terutama ilmu agama, karena apabila kita tidak mengambil ilmu pada orang yang tepat yang terjadi hanyalah mendapatkan pemahaman agama yang kurang tepat bahkan sesat dan menyesatkan, kita mencari guru yang tepat bukan diukur dari apakah dia pandai bersilat lidah di atas podium kemudian kita sebut dia orang Alim atau ulama’, namun kita melihat kapasitas dan sanad keilmuannya. Karna seperti yang dikatakan salah seorang pembesar ulama’ kalangan tabi’in Ibnu Sirrin berkata:

إن هذا العلمَ دينٌ فانْظُرُوا عَمَّنْ تأْخُذُونَ دِينَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah Agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil Agama kalian” (Muqoddimah Shahih Muslim)

Sebuah nasihat yang diucapkan Ibnu Sirrin yang memberikan pemahaman kepada kita agar lebih berhati-hati dalam memilih guru atau mengambil pelajaran terutama ilmu agama, karena semakin maraknya orang yang mengaku-ngaku memiliki kapasitas untuk memberikan kajian ilmu agama padahal pengetahuannya sangat minim. Wallahu A’lam.

Mochammad Faiz Nur Ilham (Mahasiswa Ilmu Alquran Dan Tafsir Uin Sunan Ampel Surabaya dan Anggota LTN NU Kab. Mojokerto)