Arah Baru Kemandirian Ekonomi NU

Oleh: Sofian Junaidi Anom*

Di gerbang abad keduanya, ada sebuah pertanyaan besar yang menggayuti langkah Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai organisasi dengan denyut nadi yang terasa di hampir setiap jengkal kehidupan masyarakat Indonesia, bagaimana sesungguhnya kekuatan kultural yang luar biasa itu dapat menjelma menjadi kemandirian ekonomi yang nyata?

Gagasan ini bukanlah hal baru. Ia telah lama menjadi cita-cita, sebuah keniscayaan yang terus didengungkan. Namun, di lapangan, di tengah riuh rendah aktivitas warga, cita-cita besar itu seringkali membentur sebuah dinding senyap: kebingungan untuk memulai. Rasanya, kita bagai memiliki ladang yang teramat subur, tetapi gamang dari sudut mana harus mulai mencangkul.

Persoalan ini berhulu pada watak dasar NU itu sendiri. Ia adalah sebuah jam’iyah yang diikat oleh tali mahabbah, sebuah ikatan batin dan kesetiaan kultural, bukan sekadar registrasi keanggotaan formal. Inilah yang membuat setiap upaya merancang program ekonomi untuk “warga NU” menjadi begitu kompleks. Siapa persisnya subjek yang kita tuju di tengah lautan massa yang cair itu?

Akibatnya, sering terjadi semacam kelumpuhan strategis. Potensi yang melimpah di satu sisi, berhadapan dengan kebingungan metodologis di sisi lain. Namun, untuk memecah kebuntuan ini, kita mungkin tak perlu menengok jauh ke teori-teori manajemen modern. Jawabannya bisa jadi tersembunyi dalam khazanah kearifan yang selama ini telah kita miliki.

Solusi dari Dapur Sendiri

Ada sebuah kaidah ushul fikih yang agaknya relevan untuk direnungkan kembali: Maa laa yudraku kulluhu, laa yutraku kulluhu. Sesuatu yang tak dapat diraih seluruhnya, jangan lantas ditinggalkan seluruhnya.

Baca Juga:  Lagi, Lazisnu MWCNU Kecamatan Jetis Santuni Yatim Dan Dhuafa

Prinsip ini adalah obat bagi penyakit perfeksionisme yang kerap melumpuhkan organisasi besar. Ia mengajarkan kita untuk bersikap pragmatis, realistis, dan yang terpenting, berani melangkah dari titik yang paling mungkin untuk dijangkau. Jika memberdayakan puluhan juta jamaah dalam satu waktu adalah sebuah kemustahilan, bukan berarti perjuangan itu harus berhenti sama sekali.

Kaidah ini mengajak kita untuk memutar haluan. Alih-alih menyasar lautan jamaah yang tak terpetakan, fokus strategis harus dipusatkan pada pemberdayaan simpul-simpul yang sudah ada dan terdata: para pengurus NU di semua tingkatan. Mulai dari pengurus cabang, lembaga, badan otonom, hingga para penggerak di tingkat majelis wakil cabang dan ranting.

Merekalah titik ungkit paling efektif. Seorang pengurus bukanlah individu biasa. Ia adalah teladan, panutan, dan pusat jaringan di komunitasnya. Memberdayakan satu usaha milik pengurus hingga berhasil akan melahirkan efek getar yang jauh lebih dahsyat ketimbang seribu spanduk program. Keberhasilan mereka adalah dakwah bil hal yang paling otentik, yang akan menginspirasi jamaah di sekelilingnya secara alamiah.

Arsitektur Kemandirian Baru

Dengan fokus yang lebih tajam ini, kita bisa mulai merancang arsitektur kemandirian yang lebih konkret. Pertama, mengakhiri era asumsi dengan membangun fondasi data yang solid. Kita perlu memotret dan memetakan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki para pengurus ini, dari skala mikro hingga menengah, dalam sebuah platform digital terintegrasi. Ini akan menjadi peta jalan ekonomi kita.

Kedua, mengakselerasi kapasitas sumber daya manusia dan aset. Para pengurus yang memiliki bibit wirausaha perlu diasah melalui program inkubasi yang terstruktur. Pada saat yang sama, aset-aset wakaf yang selama ini diam membisu harus “dibangunkan” untuk menjadi produktif melalui sebuah badan usaha yang dikelola secara profesional dan akuntabel.

Baca Juga:  Jhon Indra Asal Sumatra Barat Pun Turut Suspelat

Ketiga, mengintegrasikan seluruh potensi itu ke dalam sebuah ekosistem. Kekuatan sejati terletak pada jaringan. Perlu dibangun sebuah rantai pasok internal—dari, oleh, dan untuk Nahdliyin—sekaligus membuka koridor-koridor baru menuju pasar yang lebih luas melalui kemitraan strategis yang bermartabat.

Pada akhirnya, langkah menuju kemandirian ekonomi ini bukanlah sebuah pencarian jalan keluar, melainkan sebuah penemuan kembali kompas internal NU. Kompas yang menunjukkan bahwa inovasi paling modern justru dapat ditopang oleh fondasi tradisi yang paling dalam. Dengan berpegang pada arah baru inilah, NU tidak hanya akan membangun pilar-pilar usaha, tetapi yang lebih luhur: membangun martabat dan masa depan umat di abad keduanya.

* Penulis adalah Ketua Lembaga Perekonomian PCNU Kabupaten Mojokerto 2025-2030 dan Penggerak Komunitas Terong Gosong.