Warta  

Seri 3 : Tantangan Sosial dalam Keberlangsungan Madrasah Diniyah

JADI: Tantangan sosial dalam keberlangsungan madrasah diniyah. Zamroni Ahmad.

Di balik peran agungnya dalam membentuk karakter dan akhlak bangsa, madrasah diniyah kini menghadapi tantangan sosial yang kian berat. Perubahan pola hidup masyarakat modern membawa dampak besar pada cara pandang terhadap pendidikan agama. Banyak orang tua kini lebih fokus pada pendidikan formal dan prestasi akademik, sementara kegiatan ngaji di madrasah diniyah mulai dianggap sekadar pelengkap. Akibatnya, minat anak-anak untuk belajar agama secara rutin menurun drastis.

Di beberapa daerah, fenomena ini tampak jelas. Anak-anak yang dulu sore harinya mengaji, kini sibuk dengan les tambahan atau tenggelam dalam dunia digital. Gawai dan media sosial menjadi “guru baru” yang lebih menarik perhatian daripada ustaz di langgar. Pola asuh keluarga pun berubah; waktu kebersamaan berkurang, nilai religius tidak lagi ditanamkan dengan keteladanan, tetapi diserahkan sepenuhnya pada lembaga pendidikan—yang ironisnya, justru mulai diabaikan.

Guru-guru diniyah juga menghadapi tekanan sosial yang tidak ringan. Mereka yang dulu dihormati sebagai tokoh masyarakat, kini sering dipandang sebelah mata karena status sosial dan ekonomi yang terbatas. Banyak di antara mereka harus bekerja rangkap untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun tetap mengajar dengan keikhlasan luar biasa. Dedikasi ini jarang terlihat, karena masyarakat modern lebih menghargai pekerjaan yang menghasilkan uang daripada yang menanamkan nilai.

Baca Juga:  Jelang Pelantikan, PC. GP. Ansor Kabupaten Mojokerto Adakan Ziarah Muasis

Selain itu, pergeseran nilai dan gaya hidup konsumtif turut mengikis semangat kolektif dalam mendukung madrasah diniyah. Dulu, masyarakat dengan sukarela bergotong royong memperbaiki mushala dan memberikan infak untuk guru ngaji. Kini, semangat itu perlahan pudar, tergantikan oleh budaya individualistik dan gengsi sosial. Madrasah diniyah yang bergantung pada donasi warga akhirnya berjalan terseok-seok, bertahan dengan seadanya.

Lingkungan sosial juga tak lagi sepenuhnya mendukung. Di banyak tempat, ruang-ruang untuk kegiatan ngaji mulai berkurang karena tergusur oleh kebutuhan ekonomi. Tanah wakaf yang dulu untuk pendidikan agama terkadang beralih fungsi, sementara perhatian generasi muda terhadap lembaga keagamaan makin menipis. Jika tren ini terus berlangsung, madrasah diniyah bisa kehilangan tempat—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial.

Padahal, hilangnya semangat sosial untuk menjaga tradisi ngaji berarti terputusnya rantai nilai antar generasi. Madrasah diniyah sejatinya bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi jantung kehidupan moral masyarakat. Di sana tumbuh rasa hormat, kesabaran, dan solidaritas—nilai-nilai yang justru semakin langka di era serba cepat dan instan ini.

Baca Juga:  Pawai Takbir Keliling Kolaborasi Nahdlatul Ulama dan Desa Bendunganjati

Kini, tantangan terbesar bukan pada kurangnya dana atau fasilitas, melainkan pada menurunnya kesadaran sosial bahwa ngaji adalah kebutuhan mendasar bangsa. Bila masyarakat tidak segera bangkit dan memulihkan komitmen terhadap pendidikan agama, maka madrasah diniyah akan perlahan redup—bukan karena tak relevan, tapi karena ditinggalkan oleh mereka yang dulu menjadikannya sumber cahaya. (Zamroni Ahmad).