Santri mana yang tidak mengenal Imam Jalaluddin as-Suyuthi?, Penimba ilmu di pesantren pasti tidak asing dengan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, nama beliau begitu dikenal karena kitab tafsir karangan beliau dan guru beliau Imam Jalaluddin al-Mahally yaitu kitab “Tafsir Jalalain” adalah kitab tafsir yang familiar sekali, yang dipelajari di hampir seluruh pesantren-pesantren yang ada di Indonesia, pesantren yang tergolong besar dengan santri ribuan, maupun pesantren kecil. Bahkan kitab Tafsir Jalalain disebut sebagai kitab tafsir yang harus dikuasai bila ingin mempelajari kitab tafsir lanjutan, atau kitab-kitab tafsir yang lebih tebal. Selain kitab tafsir, juga lahir dari kecemerlangan karir intelektual Imam Jalaluddin as-Suyuthi, yaitu kitab “al-Itqon Fi Ulum al-Quran” yang disebut-sebut oleh para ulama’ -khususnya yang menggeluti ilmu-ilmu Alquran- sebagai kitab undang-undangnya ulumul quran.
Namun kekurangan banyak santri hanya mengetahui nama saja, tanpa mengetahui riwayat hidup salah satu ulama’ yang sangat produktif ini. Padahal bila digali mengenai riwayat hidup beliau, banyak sekali kisah yang dapat menginspirasi para penuntut ilmu khususnya kaum santri di Indonesia. Oleh karenanya, dalam tulisan ini kita akan mengkaji kehidupan seorang Imam Jalaluddin as-Suyuthi.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi dilahirkan pada tahun 849 H atau bertepatan dengan tahun 1445 M di kairo, Mesir. Beliau adalah ulama’ yang sangat produktif, beliau menulis lebih dari 600 kitab dalam ukuran besar dan kecil, dan dalam berbagai disiplin ilmu: ilmu Alquran, hadis, tafsir, fiqh, ushul fiqh, sastra, sejarah, dan lain lain. Produktifitasnya tidak jauh dari karakter sang ayah yang juga merupakan seorang ulama’ yang menghabiskan harinya untuk belajar-mengajar, karena beliau memang lahir di dalam keluarga Ulama’ terkemuka. Dikisahkan bahwa suatu hari ayah as-Suyuthi pernah meminta istrinya yang tengah hamil untuk membawakan kitab, istrinya pun membawakannya. Namun di tengah perjalanan, istrinya merasakan mulas di perutnya, lalu istrinya pun melahirkan di tempat itu juga, yang kemudian disebut “Ibnu al-Kutub” yang berarti “anak kitab”. Nama aslinya adalah Jalaluddin bin Abdurrahman bin Kamaluddin.
Ayah as-Suyuthi wafat saat as-Suyuthi masih berusia enam tahun. Namun wafat sang ayah tidak menyurutkan niatnya dalam mencari ilmu. Belum genap usia delapan tahun, beliau sudah menyempurnakan hafalan Alquran dan kitab-kitab lainnya seperti al-Umdah, Minhaj al-Fiqh wal ushul, Alfiyah ibnu malik dan lain lain. Saat berusia 17 tahun, beliau sudah mengarang kitab bernama al-isti’adzah wal basmalah dan mendapatkan pujian dari guru beliau Imam Alamuddin al-Bulqini atas karyanya.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi sendiri pernah menghitung jumlah gurunya yaitu berjumlah sekitar 150 guru. Yang masyhur di antaranya adalah Syekh Ahmad as-Syarmasahi, Syekh Umar al-Bulqini, Syaikh Shalih bin Umar al-Bulqini dan Syaikh al-Qodhi Syarafuddin al-Munawi. Beliau sangat piawai dalam bidang : tafsir, hadis, fiqh, nahwu, ma’ani, bayan dan badi’. Bahkan beliau mengklaim bahwa penguasaan beliau atas ilmu-ilmu tersebut tidak mampu ditandingi oleh guru-gurunya sekalipun. Beliau berkata:
إنّ الذي وصَلتُ إليه مِن هَذِه العُلومِ السَّبعة سوى الفقهِ والنقُولِ لم يَصِلْ إليهِ ولا وَقْفَ عَليهِ من أَشْيَاخِي
“sesungguhnya, ilmu yang telah aku gapai dari tujuh ilmu ini, kecuali ilmu fiqh dan nuqul, adalah sesuatu yang tidak digapai oleh guru-guruku” (al-Itqon FI Ulum al-Quran, Dar Kutub Ilmiyah Hal. 5)
Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah sosok yang kutu buku, hari-harinya dilalui dengan membaca sekaligus menghafalkannya. Tradisi hafal-menghafal memang sudah menjadi kebiasaan orang Arab hingga sekarang. Pada usia 40 tahun beliau mengasingkan diri atau ber-uzlah untuk memusatkan kehidupannya sepenuhnya kepada Allah dan menjaga jarak dari urusan dumiawi. Pada usia ini, beliau vakum dari mengajar dan memberi fatwa sembari meminta maaf kepada para masyarakat dan muridnya.
Di saat uzlahnya, beliau bertempat tinggal di tempat tersembunyi yang disebut Raudhoh al-Miqyas. Di tempat itu, di samping beribadah, beliau juga menulis banyak kitab. Para pejabat dan masyarakat merasa kehilangan beliau di waktu uzlahnya. Banyak yang kemudian mengunjungi beliau dan memberi hadiah berlimpah. Namun, Imam Jalaluddin as-Suyuthi menolaknya dengan halus. Bilapun mengambilnya, beliau justru menyerahkannya kepada orang yang lebih membutuhkannya.
Beliau juga merupakan ulama’ yang berkali-kali mendapat undangan dari istana, namun berkali-kali juga beliau menolaknya. Bahkan pernah ada seseorang yang menasihati beliau perihal penolakan beliau atas undangan istana . “beberapa ulama’ lain sering datang menemui raja, sultan dan penguasa dalam rangka mencari bantuan untuk masyarakat luas.” Imam Jalaludiin as-Suyuthi menjawab:
اتّبَاعُ السّلَفِ فِي عَدَمِ تَرَدُّدِهِم أَسْلَمَ لِدِيْن المُسْلِمِ
“mengikuti ulama’ salaf dalam hal tidak sering lalu-lalang datang ke para penguasa lebih selamat bagi seorang muslim”
Menjelang akhir hayatnya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengalami sakit pada tangan kirinya, dan dirawat di rumah beliau di kairo, Mesir selama kurang lebih tujuh hari. Kemudian beliau wafat pada hari kamis malam Jumu’ah, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 1505 M. Atau, 19 Jumadil al-Ula, 911 H. Dan disemayamkan di Husy qousun. Beliau sangat banyak meninggalkan karya ilmiah yang menjadi rujukan dalam pengetahuan Islam seperti yang telah disinggung di atas. Di antara yang masyhur adalah :
1. Tafsir Jalalain
2. al-Itqon Fi Ulum al-Quran
3. Tadrib ar-Rawi ‘Ala Syarhi Taqrib an-Nawawi
4. Adab al-Muluk
5. Adab al-Qodhi ‘Ala Madzhab as-Syafi’i
6. Asbab al-Wurud al-Hadis
7. Lubab an-Nuqul Fi Asbab an-Nuzul
Ditulis oleh : M Faiz Nur Ilham (Mahasiswa Ilmu Alquran Dan Tafsir Uinsa Surabaya Dan Anggota LTN PCNU Kab. Mojokerto)