KOLOM  

Melirik Dunia Asketisme dalam Islam

Pacet, NU Online Mojokerto—  

Dalam pandangan agama-agama yang ada di dunia dipastikan terdapat religion values yang mengajarkan untuk mendekatkan pada dzat yang menjadi sesembahan, yang ghaib dan tidak tampak dipermukaan. Berbagai macam ritual rohaniah yang menjadi rute yang ditempuh setelah mereka meyakini apa yang mereka peluk. Di dalam islam sendiri banyak sekali bagian-bagian dari agama untuk mendekatkan diri dengan sang Khaliq, salah satunya ialah konsepsi tentang tasawwuf.

Berbicara tasawwuf, mungkin sangat terdengar riskan bagi ummat muslim yang tidak memiliki pemahaman yang kuat di dalam fan akidah. Maka dari itu, muncullah madrasah-madrasah yang mengajarkan berbagai macam keilmuan islam, di dalam metode pengajaran madrasah tersebut ilmu akidah menjadi pelajaran yang harus dicekoki sejak dini dengan catatan harus step by step.

Para ulama’ dan beberapa pakar akademisi memiliki pengertian yang berbeda di dalam mendefinisikan kata tasawwuf. Salah satunya adalah ulama kelahiran Tarim tahun 1044 H; Habib Abdullah Alhaddad yang menulis kitab Tatsbit Al-Fuad. Di dalam kitab tersebut, tercatat bahwa sekalipun bilangannya jalan tasawwuf begitu banyak akan tetapi tetap bermuara pada satu jalan yakni; mujahadat an-nafs serta keluar dari perkara yang bisa menarik dari upaya menahan atau mengendalikan nafs. Dan dibagian akhir redaksi ini, beliau menambahkan hal tersebut adalah perkara yang sulit.

Habib Ali Al-Atthas juga berkomentar tentang tasawwuf. Beliau mengungkapkan dalam kitabnya; Al-Qirthas bahwa hakikat tasawwuf terdapat dalam dua perkara. Yaitu selamatnya hati dan lomannya jiwa.

Sedangkan menurut bahasa, zuhud tercetak dari kata zahida yang bermakna menolak. Secara terminologi zuhud memiliki arti upaya memalingkan kegiatan ruhaniah dari hal-hal yang menyebabkan kedunyan.

Dalam perjalanan menuju tuhan, seyogyanya manusia berangkat dengan melepas segala bentuk kecintaan terhadap dunia dalam artian menjauhi dari kemewahannya. Dan dalam bagian ini, konsep zuhud hadir untuk membentengi diri dan melepas belenggu yang kerap menguasai hati nurani manusia. Tapi, bukan berarti islam melarang pemeluknya untuk memiliki harta, memiliki rumah yang megah. Jika terdapat paham yang seperti itu, maka harus diluruskan agar tidak bias dengan hakikat zuhud. Guru kami, Abuya KH. Mahfudz Syaubari menegaskan bahwa zuhud bukan seperti yang diatas. Akan tetapi, beliau berkata hakikat zuhud ialah tidak mencintai apa yang ada di tangan, tidak mencintai apa yang dimiliki. Mengacu pada qur’an surah al-hadid ayat 23 yang berbunyi;

Baca Juga:  Buah Kejujuran Syekh Abdul Qadir Al Jailani

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ

 “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri”.

Dari ayat tersebut, Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi pemilik kitab Mauidzat Al-Mu’miniin yang berupa ringkasan dari magnum opus-nya Al-Ghazali Ihya’ Ulumuddin menulis agar tidak senang dan gembira terhadap sesuatu yang ada dan tidak bersedih terhadap sesuatu yang telah tiada.

Pada dasarnya, seluruh ulama shufiyyin termasuk Hujjatul Islam Al-Ghazali sepakat menyatakan cinta pada dunia ialah bagian dari penyebab terjadinya kerusakan. Maka dari itu, sebagai murabby KH. Mahfudz Syaubari mendidik santrinya dengan segala bentuk konsep kesederhanaan. Dalam hal ini, doktrin tersebut beliau tulis yang tersusun dari ajaran sikap pensucian jiwa dan kebersihan hati yang disebut dengan Santri Sejati. Di dalamnya, terdapat pesan-pesan kepada santri yang bermuara pada ajaran sufistik yang berupa;

  1. Kerja keras, hidup pola sederhana.
  2. Serius, berakhlaq mulia.
  3. Berjiwa besar, rendah hati.
  4. Mandiri, suka berbagi.
  5. Semangat, tahan uji.
  6. Bermanfaat, tau diri.

Dari enam poin tersebut substansinya ialah tentang tasawwuf, termasuk zuhud. Apabila ditinjau dari bahasa inggris, zuhud diartikan asketism. Dalam buku Sufi Terminology (al-qomaus al-sufi) The Mystical Languange of Islam karya Amanatullah Amstrong disebutkan “Ascestism this is renunciation of all things connected to this world. It is a useful approach in thias early stages of the spiritual path, but not desireable for the one who strives for ferfection. Such ascetisme implies means through which man gains knowledge of Allah”.

Yang dimaksud dari keterangan diatas adalah asketisme merupakan sikap meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia. Diantara dua istilah tersebut, antara asketisme dan zuhud adalah pandangan yang senada, pemahaman yang seirama yang nantinya bermuara kepada sikap seorang hamba agar cepat menempuh samudera spritual dalam upaya mencapai perjumpaan kepada Allah.

Baca Juga:  Kenduri; Akulturasi Budaya Sebagai Jalan Dakwah

Maka, zuhud dalam Islam itu adalah bagian yang tak bisa terpisahkan dari kehidupan tasawuf, dikarenakan zuhud menimbulkan konsekuensi penghindaran diri terhadap dunia secara totalitas untuk beribadah kepada Allah SWT., tetapi kehidupan zuhud dalam konteks moral Islam, zuhud diartikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati pada harta benda (materi), karena zuhud bukan hanya konsepsi dari lisan akan tetapi muaranya adalah hati, atau bagaimana dunia berada dalam pandangan nafsu dan tidak berarti antipati terhadapnya. Zuhud merupakan salah satu sikap yang menjaga jarak dari kehidupan dunia, karena kehidupan dunia ini adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. untuk mencapai kebahagian di akhirat kelak. Dan masing-masing dari hamba-Nya memiliki bagian dari dunia yang Allah berikan, dan Allah melarang bagian tersebut untuk diacuhkan.

وابتغى بما أتا ك الله الدار لاخرة فلا تنسى نصيبك من الد ني

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash : 77)

Wallahu A’lam.

Syamilul Asror*

*Pondok Pesantren Riyadlul Jannah Mojokerto