KOLOM  

Kyai Moch. Busyri Al-Aly: Kyai Alim Yang Aktivis

Kyai Moch Busyri al Aly

Tidak banyak Kyai yang alim sekaligus seorang aktivis. Kebanyakan, ada Kyai yang alim tetapi hanya pandai dibaca kitab kitab klasik saja. Sedang pergerakan pergerakan sosial, beliau cenderung kurang berperan dalam arus perubahan. Disisi lain ada seorang Kyai yang sibuk dalam organisasi pergerakan, tetapi disiplin keilmuan keagamaannya kurang mumpuni. Sehingga dalam urusan fatwa fatwa yurisprudensi, beliau tidak mampu berkiprah di dalamnya. Namun pada sosok Kyai Moch. Busyri Al-Aly akan ditemukan dua kemampuan yang menyatu dalam pribadinya. Beliau orang yang alim dan sekaligus aktivis sejati.

Kyai Moch. Busyri al-Aly lahir pada tanggal 10 Oktober 1927 dari pasangan H. Abd. Manan dan Nyai Masiyatun Munadi. H. Abd. Manan sendiri adalah seorang pengusaha yang memiliki haliyah cinta kepada ulama. Beliau sering hadir dalam majelis majelis ilmu. Dan juga sering bersilaturahmi kepada ulama diberbagai daerah saat ia melariskan usaha dagangnya. Berkah dari kecintaannya kepada para ulama tersebut, anak turunnya menjadi orang alim dan memiliki pasangan yang berlatar ulama pula. Seperti Kyai Moch. Busyri al-Aly.

Sejak kecil Kyai Moch Busyri al-Aly telah dididik dalam tradisi ke-Islaman yang kental. Selain diajar langsung oleh ayahandanya, Kyai Moch Busyri al-Aly juga dididik oleh Ustadz-Ustadz yang mengajar di Mushola al Attas Miji. Sekolah formalnya, ditempuh di MI NU, yang sekarang lebih dikenal dengan nama MI al Muhsinun di lingkungan Kauman Kota Mojokerto.

Pada saat usianya beranjak 12 tahun, Kyai Moch Busyri al-Aly diberangkatkan orang tuanya untuk ngangsu kaweruh ke Pondok Pesantren Tebu Ireng, dibawah asuhan Hadratus Syekh Hasyim Asyari. Di Pesantren Tebuireng ini, Kyai Moch Busyri al-Aly selain belajar disiplin ilmu keagamaan, juga belajar tentang pemikiran serta pergerakan nasional kepada KH. Wahid Hasyim. Dari diskusi-diskusi dengan KH. Wahid Hasyim inilah, membuka cara pandangnya untuk berjuang membela umat dan bangsanya dari ketidakadilan penjajahan yang bertahun tahun telah berakar kuat di Nusantara. Kyai Moch Busyri al-Aly menyaksikan masa-masa Indonesia berada dalam penjajahan Belanda dan juga Jepang. Ia menyaksikan pula, bagaimana jatuh bangunnya Pesantren Tebuireng menghadapi kebengisan kebengisan penjajah dan antek anteknya untuk menghancurkan Pesantren Tebuireng yang menjadi lokomotif pergerakan dan perlawanan pada masa revolusi.

Masa menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng dilakoni-nya selama sembilan tahun. Pada tahun 1948, beliau boyong, kembali ke rumahnya di Miji Mojokerto. Kyai Moch Busyri al-Aly tidak segera mengajar ditengah tengah masyarakat seperti alumni alumni pesantren lainnya. Ia merasa masih belum siap terjun di tengah masyarakat. Walaupun ia telah banyak mengaji kitab kitab besar kepada para Masyayikh Tebuireng, tetapi ia merasa belum sempurna pemahaman akan kitab kitab tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk mendaras ulang kitab kitab yang telah dipelajarinya tersebut. Ia mendekam di sebuah gothak-kan sambil membaca kitab kitabnya hingga berhari hari lamanya.

Aktivitas mendaras ulang kitab-kitabnya itu membuat gairah keilmuannya terus meningkat. Ia kerap berdiskusi dengan ulama-ulama di Mojokerto. Juga berburu kitab kitab besar untuk memenuhi kehausan intelektualnya. Pada saat orang naik haji, ia selalu titip untuk dibelikan kitab sesuai pesanannya itu.

Keluasan Ilmu yang berpadu dengan kecerdasan akalnya membuat banyak orang mempercayakan kepadanya. KH. Wahid Hasyim, salah satunya, mempercayakan beberapa persoalan yang butuh pemecahan dengan diskusi bersama Kyai Moch Busyri al-Aly.

KH. Wahid Hasyim, menurut Khafidz Busyiri, kerap menginap di rumah Kyai Moch Busyri al-Aly. Kadang beliau sampai berhari hari berada di rumah Kyai Moch Busyri al-Aly. Selain beristirahat juga mengajak diskusi terkait dengan isu isu Nasional.

“Saat KH. Wahid Hasyim hendak memutuskan untuk keluar dari Masyumi, beliau berhari hari memikirkannya antara keluar atau tetap berada di dalam Masyumi. Saat memikirkan itu, beliau berada di rumah Buya sampai berhari hari” terang Khafidz al Busyiri, putra Kyai Moch Busyri al-Aly.

Karena kerap kali dikunjungi gurunya itu, membuat Kyai Moch Busyri al-Aly faham akan pergerakan di Jakarta. Termasuk sikap politik NU dikancah Nasional. Dan hal ini kelak, menjadikan pijakan Kyai Moch Busyri al-Aly bersikap sepeninggal gurunya, KH. Wahid Hasyim, dalam sebuah kecelakaan di Puncak, Bogor.

Selain dipercaya KH. Wahid Hasyim dalam diskusi-diskusi pergerakan nasional, Kyai Moch Busyri al-Aly juga dipercaya untuk mengajar di Madrasah Taswirul Afkar dibawah asuhan KH. Dahlan Achyat.

Perlu diketahui, Madrasah Taswirul Afkar berdiri pada tahun 1918. Ia berdiri atas prakarsa KH. Wahab Chasbullah bersama dengan KH. Dahlan Achyat, setelah sebelumnya mendirikan Madrasah Nahdlatul Waton bersama dengan KH. Mas Mansur. Madrasah Taswirul Afkar kala itu, difokuskan untuk mencetak ulama-ulama handal dalam menghalau sebaran kaum wahabi yang masif di era menjelang berdirinya NU. Santri Taswirul Afkar tidak saja dari Surabaya, tetapi diberbagai daerah yang ingin mengasah intelektualnya untuk menjadi mubaliqh siap tanding dalam debat debat umum yang kerap diselenggarakan untuk menangkis tuduhan tuduhan kaum wahabi.

Hanya saja pada masa revolusi, ketika Surabaya membara akibat perang 10 Nopember, sempat divakumkan, seiring berpindahnya warga Surabaya ke Mojokerto. Tak terkecuali keluarga KH. Dahlan Achyat. Pindahnya KH. Dahlan Achyat ke Mojokerto bertempat di Miji, rumah sahabatnya, yang merupakan kakak dari H. Abd. Manan (ayah Kyai Moch Busyri al-Aly), yakni H. Abdurrohim.

Karena telah menolong keluarga besar KH. Dahlan Achyat inilah, keluarga besar H. Abd. Manan menjadi dekat. Termasuk pula dengan Kyai Moch Busyri al-Aly. Kyai Moch Busyri al-Aly dipercaya mengajar di Madrasah Taswirul Afkar usai selesainya masa masa revolusi. Pada tahun 1950 Kyai Moch Busyri al-Aly dinikahkan dengan putri bungsu dari KH. Dahlan Achyat, yang bernama Nyai Zakiyah. Konon, sebelum menikah dengan Nyai Zakiyah, Kyai Moch Busyri al-Aly bersama sama dengan sahabatnya KH. Basori Alwi (Pengasuh PIQ Singosari Malang) dan KH. Damanhuri (Gresik) bersaing untuk memperebutkan putri dari KH. Dahlan Achyat ini. Namun Kyai Moch Busyri al-Aly-lah yang beruntung mempersunting putri KH. Dahlan Achyat.

Kyai Moch. Busyri al Aly dan Nyai Zakiyah

Pada tahun 1950, Kyai Moch Busyri al-Aly bersama dengan KH. Basori Alwi dan KH. Damanhuri merintis berdirinya Jamiyatul Quro wal Huffadz. Dalam catatan biografi KH. Basori Alwi, waktu merintis Jamiyatul Quro wal Huffadz, sebelum subuh, para Qori (KH. Basori Alwi, Kyai Moch Busyri al Aly, dkk) mengudara dengan lantunan indah membacakan kalam kalam Allah di Masjid Sunan Ampel Surabaya. Dari cikal bakal berkumpulnya Qori inilah yang kelak dikemudian hari menyatu menjadi Jamiyatul Quro wal Huffadz.

Pengalaman merintis Jamiyatul Quro wal Hufadz di Surabaya, menjadikan bekal untuk membuat gerakan menebarkan al-Quran di bumi Majapahit itu. Pada tahun 1954, Kyai Moch Busyri al-Aly turut menggerakkan kegiatan Mudarosatul Quran bil ghoib yang dilaksanakan secara rutin tiap Jumat kliwon. Kelak kegiatan ini menjadi spirit bagi Kyai Kyai penghafal al-Quran seperti KH. Arif Hasan dan KH. Ismail Nawawi untuk menghimpun para Hufadz dalam satu jammiyah.

Pada tahun 1952, KH. Achyat Chalimi dan Kyai Moch Busyri al Aly terlibat dalam proses pendirian Sekolah Menengah Islam (SMI). Sekolah ini menempati gedung “Balai Muslimin” Jl. Taman Siswa 27 Mojokerto. Sayangnya SMI ini hanya bertahan 4 tahun saja, setelah itu bubar.

Pada tahun 1956, Kyai Moch Busyri al-Aly dipercaya oleh KH. Achyat Halimi untuk merintis pendirian Madrasah Mualimin dan Mualimat Nahdlatul Ulama yang sekarang dikenal sebagai SMP Islam Brawijaya. Ketika KH. Achyat Halimi berhasil membeli tanah dan bangunan di Jl. Brawijaya 99, pada tanggal 4 Agustus 1961, maka “Madrasah Muallimin Muallimat Nahdlatul Ulama (MMNU) resmi berdiri dengan Kyai Moch. Busyri al-Aly yang ditunjuk sebagai Kepala Sekolah. Lembaga ini berafiliasi ke Departemen Agama, khususnya pada lembaga PGAP 4 Tahun. Karena waktu itu Pemerintah sangat membutuhkan Tenaga Guru, sehingga lembaga Pendidikan Keguruan seperti PGAP 4 Tahun, PGA 6 Tahun, SPG C2, PGSLP dan lain-lain banyak didirikan.

Di Madrasah ini, banyak gebrakan gebrakan dilakukan khususnya dalam mengkader generasi generasi Nahdliyin, seperti membentuk kepengurusan IPNU-IPPNU Mojokerto dan juga penguatan basis basis ahli sunnah waljamaah lainnya. Pada tahun itu pula Kyai Moch Busyri al-Aly, merintis pendirian TK/RA al Hidayah yang bertempat tidak jauh dari rumahnya.

Pada tahun 1967, Kyai Moch Busyri al-Aly diberi amanat untuk memimpin LP. Maarif NU Mojokerto. Pada tahun itu pula, Kyai Moch Busyri al-Aly terlibat dalam proses pendirian SPMA yang merupakan proyek kerjasama antara KH. Achyat Halimi dengan Bupati Mojokerto kala itu yakni RA. Basuni. Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) ini didirikan di desa Sooko. Lulusan SPMA ini kemudian diangkat sebagai Pegawai Penyuluh Pertanian yang berfungsi sebagai penyuluh dan innovator bidang pertanian. Sayangnya pada perkembangan selanjutnya SPMA ini dibubarkan. Karena minat masyarakat untuk menyekolahkan putra putrinya ke sekolah pertanian, kurang.

Kyai Moch. Busyri al Aly, pada tahun itu pula, terlibat pada proses pendirian Sekolah Teknik Menengah (STM) Raden Patah. Awalnya STM Raden Patah ini bertempat di rumah H. Madchury (Kradenan) yang terletak di Jl. Mojopahit 184 (sekarang Toko Tengah), namun sekolah ini kini berdiri di daerah Wates dengan perubahan nama dari STM ke SMK Raden Fatah.

Di lingkungannnya sendiri, pada tahun 1966, Kyai Moch. Busyri al Aly merintis berdirinya Pesantren Putri yang menampung siswi Mualimat maupun siswi PGA 4 Tahun/6 Tahun. Dan pada tahun 1968, Kyai Moch. Busyri al Aly juga mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda Miji yang tidak jauh dari rumahnya, sebagai laboratorium pendidikan bagi siswa/siswi PGA 4/6 tahun yang juga tidak jauh dari daerah Miji.

Selain terlibat dalam pendirian lembaga-lembaga pendidikan, Kyai Moch. Busyri al Aly  juga terlibat pada lembaga-lembaga pemerintahan. Pada tahun 1970-1978, Kyai Moch. Busyri al Aly dipercaya pemerintah menjadi Hakim Agama Mojokerto. Pada tahun 1973-1977, Kyai Moch. Busyri al Aly menjadi Ketua komisi D (Kesra) DPRD Kab. Mojokerto dari partai PPP.

Di lingkungan pengurus NU, selain pernah diamanati memimpin LP. Maarif, Kyai Moch. Busyri al Aly pada tahun 1973-1978 pernah diamanati memimpin Ljnah Bahtsaul Masail PCNU Kab. Mojokerto. Pada tahun 1979-1983, beliau juga diamanati menjadi Katib Syuriah PCNU Kab. Mojokerto.

Kyai Moch. Busyri al Aly, pada tahun 1979 hingg meninggalnya, juga dipercaya menjadi Ketua PC. Ittihadul Mubalighin Mojokerto. Organisasi ini adalah bentukan dari KH. Achmad Syaichu, yang bergerak dalam pengiriman kader kader NU untuk mondok/kuliah di tingkat Internasional. KH. Achmad Syaichu adalah salah satu Ketua PBNU kala itu. Tetapi sejak tahun 1979, dalam muktamar di Semarang, beliau tidak terpilih menjadi pengurus. Karena tidak terpilih menjadi pengurus NU tersebut, ia kemudian fokus menyiapkan kader kader NU untuk mondok atau kuliah ditingkat Internasional dengan pendirian PC. Ittihadul Mubalighin.

Selain aktif mendirikan lembaga lembaga formal, Kyai Moch. Busyri al Aly juga aktif mengisi kajian rutinan. Menurut Hafidz Busyri, Kyai Moch. Busyri al Aly aktif mengisi kajian tafsir di Masjid al Fattah sehabis subuh.

“Beliau hampir tidak pernah absen hingga wafatnya mengisi rutinan diberbagai daerah yang diasuhnya. Di Masjid al Fattah saya kerap diajak oleh Buya, sebelum subuh sudah sampai di Masjid al Fattah. Beliau sholat malam hingga subuh. Dan bada subuh, beliau mengisi kajian tafsir. Kitab yang saya ingat dikaji itu, kadang tafsir jalalain dan kadang tafsir al Ibris” tutur Hafidz Busyri.

Selain di Masjid al Fattah, Kyai Moch. Busyri al Aly juga aktif mengisi kajian kitab di beberapa desa di daerah Mojokerto dan sekitarnya.

“Beliau itu rutin mengisi rutinan diberbagai desa. Saya banyak lupa daerah daerahnya. Yang saya ingat, di jagalan, sentanan, petengan, watudakon dan belug Kesamben“ terang Hafidz Busyri.

Pada 25 Januari 1984, Kyai Moch. Busyri al Aly, wafat dengan meninggalkan sembilan anak. Diantaranya Faizah Busyiri, Halimah Busyri, Rosyidah Busyiri, Zainul Anam Busyiri, Lailin Busyri, Hafidz Busyiri, Rozy Busyri, Arofah Busyri, dan Fitri Busyri.

 

Ditulis oleh Isno (Ketua LTN NU Kab. Mojokerto)

Sumber : Wawancara dengan H. Hafidz al Busyri dan dokumen dokumen pendukung