Tidak banyak peninggalan catatan sejarah terkait biografi KH. Chusen Ichsan-Brangkal. Dari penelusuran saya, sedikit sekali untuk menyatakan tidak ada dzuriah yang bisa bercerita secara utuh kisah kehidupan KH. Chusen Ichsan. Tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Serpihan serpihan cerita kehidupan beliau inilah yang akan ditulis dalam tulisan yang sederhana ini.
KH. Chusen Ichsan berasal dari Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang. Tentang silsilah keluarganya masih diperselisihkan. Ada yang menyatakan bahwa Mbah Ihsanlah ayahnya, sedang pendapat lain menyatakan bahwa KH. Chusen Ichsan itu sesungguhnya anak angkat dari Mbah Ihsan. Ia diangkat menjadi anak pasca selesai mondok di Mojosari Nganjuk. Ia diminta khusus datang ke Mojokerto selain diangkat sebagai anak, ia ditugaskan untuk “ngurip nguripi” mushola kecil milik Mbah Ihsan.
Pendapat lain menyatakan apabila sesungguhnya KH. Chusen Ichsan itu, diangkat menjadi anak oleh KH. Mansyur Sidosermo. KH. Mansyur Sidosermo sendiri, konon menikahi bibinya KH. Chusen Ichsan. Karena melihat kecerdasan KH. Chusen Ichsan, maka dipondokkanlah ia di pondok yang terkenal dengan laku hikmahnya. Pondok itu bernama Pondok Mojosari-Nganjuk.
Pondok Mojosari-Nganjuk ini diasuh oleh seorang Kyai yang alim dan memiliki banyak karomah yakni KH. Zainudin. Beliau ini dikenal sebagai waliyullah. Banyak santri santrinya menjadi orang yang berhasil, seperti KH. Jazuli Ploso dan lain lain. Uniknya meskipun santri santrinya dikenal nakal dan jahil, tetapi memiliki kekeramatan yang tidak dimiliki alumni pesantren lainnya. Karenanya, dahulu, ada satu ungkapan, santri apabila belum pernah mencicipi nyantri ke Pondok Mojosari Nganjuk ini belumlah dikatakan lengkap.
Di Pondok ini, KH. Chusen Ichsan sangat lama sekali berguru disini. Tidak ada data kuat, apabila KH. Chusen Ichsan mondok ditempat lain. Tapi ada data lain, apabila KH. Chusein Ichsan juga memiliki guru yang dikenal wali juga. Hanya saja belum banyak yang bisa diungkap tentang sosok waliyullah ini. Namanya Kyai Mas Abdulloh Sadjat.
Usai dari Pondok Mojosari-Nganjuk, KH. Chusen Ichsan pulang ke Mojokerto. Tepatnya di Brangkal. Disini, KH. Chusen Ichsan mengembangkan Masjid peninggalan Mbah Mansyur yang terletak ditepi jalan raya brangkal.
Pada tahun pasca 1965, menurut Pak Manaf ( santri KH. Chusen Ichsan yang tinggal di Trowulan), Masjid Brangkal ini sedang membangun menara. Pada saat membangun menara ini, tenyata orang yang membantu membangun ini begitu banyaknya. Selidik punya selidik, ternyata pekerja menara ini, mereka adalah eks PKI, yang menyamar menjadi santri, agar selamat dari kejaran militer. Mereka juga ikut tidur dan ngaji ke KH. Chusen Ichsan.
Menurut Gus Fatkhur (Putra KH. Chusen Ichsan) KH. Chusen Ichsan memperoleh santri banyak sekitar tahun 1970-an. Banyak santri yang berguru, selain belajar kitab, juga berguru ilmu kanuragan. KH. Chusen Ichsan itu, dulu, dikenal sebagai Kyai Ahli Kanuragan. Banyak tamunya yang berdatangan, mengadukan berbagai permasalahan. Dan KH. Chusen Ichsan memberikan berbagai wirid, jimat, sabuk dan lain lain.
“Tamunya abah dulu, dari berbagai daerah. Jawa Barat juga sangat banyak. Kadang sekali bertamu, bisa 5 bus” terang Gus Fatkhur.
Karena kebutuhan bertempat tinggal dari tamu tamunya yang terkadang menginap, maka dibuatlah bangunan selatan Masjid yang kemudian menjadi pesantren. Ditempat itu, para tamu tamunya merebahkan tubuhnya.
“Saya termasuk yang turut membangun pembangunan dari menara Masjid hingga bangunan pesantren selatan Masjid itu.” tukas Pak Manaf.
“Saya juga yang kebagian menjahit rajah rajah yang diberikan kepada para tamu” imbuh Pak Manaf.
Tentang kehebatan KH. Chusen Ichsan dalam olah kanuragan itu dibuktikan sendiri oleh Pak Manaf. Pak Manaf menyaksikan sendiri, KH. Chusen Ichsan bisa membelah diri menjadi tiga.
“Suatu saat saya pernah di dalam pesantren, disapa sama Yai. Waktu sebentar, jalan ke jalan raya, disapa lagi sama yai. Dan saya pindah ke tempat lain disapa lagi sama Yai. Saya jadinya bingung, siapa sebenarnya yang menyapa saya itu, kok kyai ada dimana mana” cerita Pak Manaf.
Hanya saja, Kata Gus Zen (Putra KH. Chusein Ichsan lainnya), KH. Chusen Ichsan tidak akan memberikan ijazah selama tidak ada yang meminta. Karenanya seringkali Gus Zen diminta santri santri lain untuk memintakan ijazah kepada KH. Chusen Ichsan.
“Abah itu tidak akan memberi ijazah selama tidak ada yang meminta. Sangat jarang bahkan tidak pernah, Abah memberi ijazah ditempat umum” tukas Gus Zen.
Biasanya, terang Gus Zen, KH. Chusen Ichsan itu memberikan ijazah sesuai dengan tahap tahap yang harus dilalui seorang santri. Dimulai dari wirid wirid pembersih hati, kemudian wirid laduni dan kemudian berbagai wirid yang lain.
“Saya pernah diberi ijazah Yai yang harus 41 orang yang menjalani. Selama 41 hari. Dengan mahar yang ditanggung 41 orang ini. Alhamdulillah dari 41 orang ini menjadi orang hebat semua” ucap Pak Manaf.
Selain dikenal sebagai Kyai ahli kanuragan, KH. Chusen Ichsan memiliki kepedulian terhadap kelestarian seni budaya Islam. KH. Chusen Ichsan menggerakkan Ishari di Mojokerto. Bahkan beliau pernah tercatat sebagai pengurus PW Ishari Jawa Timur.
Dalam ke-NU-annya, beliau tercatat sebagai Rais PCNU Kab. Mojokerto tahun 1991-1998. Beliau menggantikan posisi KH. Achyat Chalimi, ketika KH. Achyat Chalimi mangkat. Hal ini menunjukkan ketokohannya diakui, baik dari tingkat kultural maupun struktural.
KH. Chusen Ichsan meninggal dunia tahun 2002, dua tahun sebelum banjir bandang menyerbu Brangkal. Beliau meninggalkan dua istri dan putra putranya. Menurut Gus Fatkhur, Istri KH. Chusen Ichsan itu ada tiga. Yang pertama menikah dengan wanita Kemlagi. Tetapi karena tidak memiliki keturunan, maka bercerailah dua pasangan ini. KH. Chusein Ichsan kemudian menikah dengan Nyai Khodijah dan memiliki dua anak yakni Gus Syamsul Huda, dan Gus Malikul Fanani. Dari istri keduanya yakni dengan Nyai Nafiah, memiliki keturunan berjumlah 14. Hanya yang hidup 7 orang yakni Ning Syifa, Ning Ida, Ning Lilik, Agus Fathurahman, Gus Zaenal, Gus Mamat dan Ning Nul.
Penulis :
Isno (Ketua LTN NU Kab. Mojokerto)
Hasil Wawancara dengan Gus Fathurahman, Guz Zaenal Abidin, Pak Manaf dan Pak Manfudz