Oleh : Isno Wong Sayun
Hiruk pikuk diskusi publik tentang pengangkatan pahlawan tahun ini benar benar hangat. Pasalnya, yang diangkat menjadi pahlawan adalah Presiden Suharto. Sejumlah elemen masyarakat menolak Presiden Suharto menjadi pahlawan. Sebab Suharto memiliki sejumlah noda hitam dalam menjalankan pemerintahannya. Sebut misalnya, Gus Mus. Gus Mus yang tahu dan merasakan betul bagaimana kyai kyai diperlakukan pada era orde baru, merasa jengkel. Terlalu banyak dosa yang telah dilakukan dan luka luka sejarah masih menganga dalam meminggirkan peran peran NU.
Begitupun dengan aktivis aktivis kemanusiaan lainnya, seperti Gus Durian, menolak Suharto menjadi Pahlawan. Pun juga tampak pada pengurus PDIP, mereka menyerukan untuk menolak Suharto menjadi Pahlawan, walau suaranya terasa tak terlalu lantang sebagaimana isu isu lainnya.
Namun tak sedikit pula mendukung Suharto menjadi Pahlawan. Tentu bagi mereka yang merasakan era nyaman pada masa Suharto. Pun ormas ormas yang pernah merasakan madu di era Suharto. Mereka langsung bergegas mendeklarasikan dukungannya.
Terlepas dari pro kontra terhadap status Kepahlawanan mantan Presiden Suharto, realitasnya untuk menjadi Pahlawan, erat terkait pula dengan kehendak politik. Tentu juga tidak bisa dipungkiri ada standar standar yang harus dipenuhi.
Era Presiden Jokowi, beberapa nama bisa masuk jajaran menjadi pahlawan. Bila kemudian kita telisik peran kepahlawanannya, kita akan sedikit menemukan perannya dalam kapasitasnya pengaruh Nasional. Namun demikian, ia ditandai sebagai Pahlawan.
Tentu dengan menyematkan Presiden Suharto sebagai Pahlawan, disatu sisi mengangkat Gus Dur dan Syaikhona Kholil sebagai pahlawan, ada strategi meluluhkan luka warga NU terhadap Suharto. Pun demikian halnya dengan marsinah, sepertinya strategi untuk meluluhkan hati pula, bagi kaum kiri yang selama ini membela dan menuntut keadilan Marsinah kepada pemerintah.
Dari sini, kita bisa membaca, bahwa menjadi pahlawan tak sekadar memenuhi kriteria atau urusan administrasi. Tetapi ada kepentingan di dalamnya. Ada political Will.
Karenanya, warga daerah yang ingin mengusulkan tokohnya yang punya kiprah sejarah bisa saja mengusulkan. Sebut misalnya, di Mojokerto, ada calon calon tokoh yang bisa diusulkan seperti KH. Achyat Chalimi, KH. Nawawi, dan KH. Munasir Ali.
Selama ini, belum ada upaya upaya untuk mengusulkan tokoh tokoh tersebut untuk menjadi Pahlawan. Bisa jadi karena ketidaktahuan caranya mengusulkan, atau ketidak mauan atas persoalan yang dirasa ribet dengan tetek bengek urusan administrasi dan pendanaan.
Tentu santri santrinya para kyai tersebut yang kini berada dalam unsur pemerintahan atau menjadi tokoh masyarakat harus mendorong pihak keluarga untuk mau mengusulkan. Tentu juga mendanai kegiatan tersebut sehingga berhasil memenuhi standar administrasi.
Keberhasilan keluarga dan pemerintah yang bisa menjadikan tokoh menjadi pahlawan, selain menjadi kebanggaan keluarga, tentu daerah akan merasakan punya icon pahlawan daerah tersebut.
Lebih lebih, Mojokerto belum punya pahlawan. Padahal bila ditelisik sejarahnya, banyak pejuang pejuang masa kemerdekaan berseliweran di bumi Majapahit ini.
Untuk mencapai kesana, sebenarnya mudah. Sebab kita punya modal. Bupati Mojokerto juga seorang santri sekaligus ketua Ansor. Pun wali kota Mojokerto adalah Ketua Muslimat. Menteri sosialnya juga seorang sekjen PBNU. Ini menjadi modal. Tinggal siapa yang mau memulai.












