Al-Qur’an memiliki kebiasaan-kebiasaan dalam menarasikan pesannya, baik berkenaan dengan aspek pilihan diksi, susunan kata atau kalimat, pemaknaan, maupun cara penyampaian. Kebiasaan tersebut ada yang bersifat konstan dan ada pula yang bersifat aghlab (seringkali). Para mufassir dan pakar Ulumul Qur’an mengungkap beberapa kebiasaan al-Qur’an tersebut dalam karya mereka dengan intensitas yang berbeda-beda. Seperti Syeikh Thahir bin ’Asyur, Imam ar-Razi, az-Zamakhsyari, Imam az-Zarkasyi, Imam as-Suyuthi, Prof. Quraish Shihab, dan lain-lain. Kita akan belajar sekelumit tentang kebiasaan narasi al-Qur’an itu dan hikmah yang menyertainya.
Di antara kebiasaan narasi al-Qur’an adalah menyandingkan dua perkara yang bertolak belakang atau bertentangan. Menyebut rahmat sesudah adzab, menerangkan surga sesudah neraka, menyebutkan janji sesudah ancaman, menjelaskan tentang orang-orang beriman sesudah orang-orang kafir, dan semisalnya secara silih berganti. Penyebutan dua hal bertentangan secara beriringan memudahkan kita membedakan di antara keduanya. Perkara yang baik akan semakin jelas sisi kebaikannya, sedangkan yang buruk akan lebih terlihat keburukannya.
Surat al-Baqarah ayat 1-5 menerangkan sifat-sifat orang yang bertaqwa. Mereka beriman dan mematuhi petunjuk al-Quran, sehingga beruntung dan bahagia. Ayat 6-7 menguraikan tentang orang-orang kafir. Allah menutup hati, pendengaran, dan mata hati mereka, sehingga diberi peringatan maupun tidak, sama saja tidak mau beriman. Taqwa membuahkan bahagia, kufur mendatangkan siksa. Surat al-Insyiqaq ayat 7-9 menuturkan tentang orang-orang yang menerima catatan amal dengan tangan kanan, disusul ayat 10-12 tentang orang-orang yang menerima catatan amal dari belakang punggungnya. Golongan pertama dijanjikan surga, yang kedua diancam dengan neraka
Bagian awal surat Muhammad ayat 15 menguraikan aneka minuman surga yang dijanjikan Allah untuk orang yang bertaqwa, sedang bagian akhirnya berbicara tentang minuman untuk ahli neraka :
مَّثَلُ ٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي وُعِدَ ٱلۡمُتَّقُونَۖ فِيهَآ أَنۡهَٰرٞ مِّن مَّآءٍ غَيۡرِ ءَاسِنٖ وَأَنۡهَٰرٞ مِّن لَّبَنٖ لَّمۡ يَتَغَيَّرۡ طَعۡمُهُۥ وَأَنۡهَٰرٞ مِّنۡ خَمۡرٖ لَّذَّةٖ لِّلشَّٰرِبِينَ وَأَنۡهَٰرٞ مِّنۡ عَسَلٖ مُّصَفّٗىۖ وَلَهُمۡ فِيهَا مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ وَمَغۡفِرَةٞ مِّن رَّبِّهِمۡۖ كَمَنۡ هُوَ خَٰلِدٞ فِي ٱلنَّارِ وَسُقُواْ مَآءً حَمِيمٗا فَقَطَّعَ أَمۡعَآءَهُمۡ ١٥
Artinya : “(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga ususnya terpotong-potong.”
Prof. Quraish Shihab menyatakan, al-Qur’an seringkali menggabung dalam uraian-uraiannya sesuatu dengan lawannya. Biasanya setelah menyebut surga diuraikannya tentang neraka. Setelah berbicara tentang siapa yang hidup diuraikannya tentang yang mati. Berbicara tentang riba sesudah berbicara mengenai zakat, demikian silih berganti. Salah satu tujuannya adalah untuk menghidangkan perbandingan antara keduanya, sehingga yang mendengarnya tertarik mengarah kepada hal-hal yang bersifat positif.
Jiwa manusia ditabiatkan takut dengan ancaman dan senang dengan janji. Menghimpun antara janji dan ancaman lebih dapat mengajak kepada ketaatan dan berpaling dari kemaksiatan. Dengan cara ini, pelaku kemaksiatan akan takut lalu menyudahi perbuatan dosanya, sebaliknya pelaku kebajikan akan lebih bersemangat melakukan kebaikan. Keduanya harus dipakai, janji dan ancaman. Targhib dan tarhib. Tidak boleh salah satu saja. Menggunakan metode targhib saja bisa menjadikan orang hanya mengandalkan rahmat, tetapi enggan bertaubat dan terus bermaksiat. Sebaliknya penggunaan metode tarhib semata menjadikan orang semakin menjauh dan berputus asa dari rahmat Allah.
Kebiasaan narasi Al-Qur’an lainnya adalah menyebut jima’ (hubungan seksual) dengan bahasa yang santun, tidak seronok dan fulgar, seperti al-Massu (menyentuh), mulaamasah (saling menyentuh), rafats (bercampur), mubaasyarah (saling bersentuhan), dan lain-lain. Dalam surat al-Baqarah ayat 223 bahkan disebut dengan ungkapan “mendatangi tempat bercocok tanam”.
نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٞ لَّكُمۡ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ أَنَّىٰ شِئۡتُمۡۖ وَقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُمۡۚ
Artinya: “Isteri-isterimu (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu…” (QS. Al-Baqarah: 223)
Ini merupakan adab al-Qur’an yang bertujuan mendidik umat agar berkata sopan, tidak porno dan urakan. Pada sisi lain, seks dalam pandangan Islam tidak semata hubungan badan antara suami dengan istri, tetapi juga hubungan ruhaniyah dan qalbiyah yang bernilai ibadah. Hubungan seksual di antara suami istri dinamakan jima’ dan mu’asyarah sebagai isyarat bahwa hubungan tersebut merupakan berkumpulnya dua badan, dua jiwa, dan dua hati yang berdimensi dunia-akhirat. Nabi SAW. bersabda :
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَة
Artinya : “…. Dan pada kemaluan (hubungan badan) salah seorang dari kalian adalah sedekah (berpahala)…” (HR. Muslim, Nomor: 1006).
Al-Qur’an juga biasa setiap kali menyebut tanda-tanda kekuasaan Allah dalam diri manusia, disusul dengan menyebut ayat-ayat-Nya yang tergelar di alam raya. Ini bertujuan untuk memberikan pengajaran kepada manusia untuk mengetahui keindahan dan kehebatan ciptaan Tuhan, bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan-Nya dengan cara merenungkan dan mengambil dalil dari fenomena tersebut.
Dalam surat ’Abasa ayat 24, Allah memerintahkan manusia merenungkan makanannya, lalu disusul ayat 25-32 yang menguraikan tentang bagaimana Allah mencurahkan hujan, membelah bumi, menumbuhkan aneka tumbuhan dan buah-buahan. Orang yang mau merenungkan sumber-sumber makanannya dan cara Allah menyediakan, memenuhi, dan mendistribusikannya ke setiap sudut bumi ini, niscaya ia semakin meyakini kebesaran dan kekuasaan-Nya. Iman, tauhid, dan keyakinannya kepada Tuhan pasti semakin bertambah.
Demikian pula surat adz-Dzariyat 21-22 :
وَفِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ ٢١ وَفِي ٱلسَّمَآءِ رِزۡقُكُمۡ وَمَا تُوعَدُونَ ٢٢
Artinya : “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan. Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.”
Ayat 21 menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT., baik dalam proses kejadiannya, keserasian organ-organ tubuh dan sistem kerjanya yang luar biasa, dan lain-lain. Selanjutnya pada ayat 22 diuraikan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah berupa rezeki yang berasal dari arah atas kita (langit), seperti cahaya matahari, hujan, angin, dan lain-lain. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber-sumber rezeki dari langit atau arah atas kita semakin nyata dan dirasakan oleh manusia.
Kebiasaan narasi al-Qur’an lainnya adalah ketika menguraikan ketentuan-ketentuan hukum, maka disebutkan setelahnya janji dan atau ancaman agar kita terdorong mengamalkannya. Surat an-Nisa’ ayat 11-12 menjelaskan tentang bagian-bagian harta ahli waris. Selanjutnya dalam ayat 13-14 dinyatakan:
تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدۡخِلۡهُ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٣ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُۥ يُدۡخِلۡهُ نَارًا خَٰلِدٗا فِيهَا وَلَهُۥ عَذَابٞ مُّهِينٞ
Artinya : “Itu adalah batas-batas Allah. Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keberuntungan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Ayat 11-12 surat an-Nisa’ menjelaskan tentang rincian bagian harta untuk ahli waris. Selanjutnya ayat 13-14 memberi dorongan, peringatan serta janji dan ancaman bahwa bagian-bagian warisan tersebut merupakan batas-batas atau ketentuan-ketentuan Allah. Orang-orang yang mengindahkan ketentuan-ketentuan itu dijanjikan surga, sedangkan yang melanggar diancam dengan neraka. Janji dan ancaman ini dimaksudkan agar manusia terdorong untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut.
Model narasi seperti ini juga tampak dalam surat al-Baqarah ketika menjelaskan ketentuan hukum tentang qishas, thalaq, kebolehan makan minum dan berhubungan suami istri pada malam hari di bulan Romadhon, ketentuan-ketentuan seputar peperangan (qital), dan lain-lain. Dalam kitab al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Imam as-Suyuti menyatakan, “al-Qur’an biasa menyebutkan janji dan ancaman sesudah menguraikan tentang hukum-hukum, untuk mendorong dan memotivasi kita mengamalkannya. Kemudian menuturkan ayat-ayat yang menunjukkan keesaan dan kesucian Allah agar diketahui keagungan Yang Memerintah dan Melarang. Renungkan ayat-ayat dalam surat al-Baqarah, an-Nisa’ dan al-Ma’idah, niscaya anda akan menjumpai yang demikian itu”.
Demikian sedikit di antara sekian banyak kebiasaan-kebiasaan dalam narasi al-Qur’an. Wallohu A’lamu bisshowaab. Semoga bermanfaat… Salam Sukses Bersama Al-Qur’an.
Daftar Bacaan :
Imam Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Qur’an
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah