In Memoriam KH. Agus Sunyoto

Berita wafatnya almarhum Pak Agus Sunyoto pertama kali saya peroleh dari Group WhatsApp sahabat-sahabat LTN-NU Mojokerto. Lembaga Ta’lif wa Nasyr, lembaga penerbitan yang bernaung di bawah NU. Lembaga yang saya mendapat amanah untuk untuk menjadi kontributor di wilayah MWC Dlanggu setahun yang lalu.

Saya memang belum pernah bertemu Pak Agus Suyoto secara langsung, tetapi saya mengenal nama beliau sejak tahun 1988-1989 melalui laporan investigasi 2 wartawan lain Maksum dan A. Zainuddin yang diturunkan secara berseri di Harian Jawa Pos tentang pemberontakan PKI Madiun 1948, lalu dibukukan yang diberi judul “LUBANG L.UBANG PEMBANTAIAN: Petualangan PKI di Madiun (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990)

Tahun 1989 saya masih kelas 3 SMPN Kutorejo, dan di mading depan kantor guru tempat Koran Jawa Pos yang ditempel, saya mengikuti hasil investegasi beliau. Tulisan berseri yang menambah perbedaharaan pengetahuan saya mengenai aksi pemberontakan PKI yang kerap memberontak sejak jaman Hindia-Belanda hingga fokus di pemberontakan tahun 1948.

Mengikuti sejarah pemberontak PKI menjadi minat sejak kecil, mungkin dikarenakan mempunyai kedekatan personal “emosional”. Sejak kecil sebelum bisa baca tulis, ayah yang kebetulan tahun 1965, saat PKI kembali memberontak, menjadi ketua Ansor/Banser Kecamatan Dlanggu seringkali bercerita tentang sengit, panas dan kerasnya gesekan dengan pemuda rakyat organisasi underbow-nya PKI. Dan tulisan Pak Agus di Jawa Pos mengafirmasi, kebrutalan PKI nyata adanya bukan isapan jempol atau dongeng menjelang tidur.

Tentu saja saat itu saya belum paham, tentang apa yang sedang diperjuangkan Pak Agus, mengumpulkan cerita lisan kaum santri menjadi bagian dari sejarah yang ditulis. Karena sebelum cerita itu dituliskan, maka tetap akan dianggap pra-sejarah, sebab tulisanlah yang menjadi tapal batas antara pra-sejarah dan sejarah, terlepas sejarah yang dituliskan itu benar atau salah. Di kalangan kita saat ini perjuangan ini dilakukan Mas Isnoe yang menuliskan cerita-cerita lisan yang berserakan tentang guru-guru kita tokoh NU di wilayah Mojokerto.

Ketika saya baca ulang seri investigasi di Jawa Pos yang sudah dibukukan –tentu saja dengan lebih nyaman baik secara struktur penulisannya dan cara menikmatinya yang dulu harus berdiri di depan mading sekolah– maka kita akan banyak temukan data-data yang belum dituliskan sebelumnya. Dan perlu dicermati data-data yang diungkap itu sebagian besar adalah sepak terjang kaum santri yang belum dicatat dalan sejarah.

Baca Juga:  MWCNU Jetis Serahkan 35 Bidang Tanah Wakaf Kepada Takmir Masjid dan Mushola

Di era ba’da khittah NU Situbondo 1984 sebagai penulis yang konsen bicara sendiri sebagai santri dalam bidang sejarah beliau bagian pelopor. Karena satahu saya di masa orde baru, berbicara tentang kaum santri biasanya memijam pena orang luar, baik peneliti dalam negeri maupun asing.

Memang kaum santri mestinya memang kaum pembelajar, tentu saja dengan segala varian levelnya, dari yang alim alamah sampai yang protolan dan remah-remah seperti saya. Dan kegiatan kajian ilmiah bukan barang asing dan langka, ribuan kitab dari berbagai fan keilmuan ditulis dan diajarkan di banyak pesantren. Tetapi bisa menulis dan menjadi konsumsi publik di luar pesantren pada awal orde baru tidaklah banyak.

Setelah itu lama tidak mengikuti kegiatan beliau, rentang waktu antara tahun 1993-2002. Walaupun kami berdomisli di kota yang sama, Malang. Di toko buku Togamas tempat kami nongkrong, memang saya temui beberapa karya beliau, kadang-kadang beriringan dengan karya Agus Mustofa sarjana nuklir penggiat tasawuf modern.

Saat itu minat pada sejarah lokal masih belum begitu kental. Sejarah Arab masih menjadi minat utama. Buku-buku Pak Agus belum menjadi prioritas. Terlebih rentang tahun 1985-1998 mungkin adalah era emas buku-buku Keislaman terjemahan baik dari yang berbahasa Arab, Inggris juga Persia. Begitupun dengan publikasi jurnal. Dan santri dan punya Jurnal Taswirul Afkar di situ.

Tetapi ketika bersinggungan dengan sobat Rahayu yang memandang minor Islamisasi di Jawa, pengetahuan tentang sejarah Arab seolah menjadi kehilangan relevansinya. Sekalipun tesis saya tentang Fiqh Siyasi Kerajaan Islam Jawa: Studi abad 15-16, tetapi referensinya masih “barat” minded, seperti Hermanus Johannes de Graaf, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, dls. Bahkan ketika dosen pembimbing Prof. Dr. Thoha Hamim, MA. meminta teks kitab Kutaramanawa Dharmasastra “UUD Mojopahit” serta Salokantara dan Junggul Muda “UUD Demak”, sampai tesis rampung tahun 2002 ketiga kitab ini belum juga ketemu. Baru di era internet atas jasa Mas Ahmad Baso baru saya dapatkan softcopy pdf-nya.

Baca Juga:  Duet KH. Syafi'i dan Kiai Syaiful Hadi Terpilih Kembali Nahkodai MWC NU Trowulan Periode 2024-202

Pada tahun 2013 kembali saya menikmati karya Pak Agus, Atlas Walisongo (Jakarta: Pustaka IIMaN, Trans Pustaka & LTN PBNU, 2012) sebuah karya yang dilatari tidak dicantumkannya Wali Songo dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve. Hal ini ditenggarai sebagai upaya penerbitan yang berfaham wahabi menghilangkan peran para wali dalam proses Islamisasi Nusantara sekaligus menebar anti pati terhadap tradisi yang diwariskannya, Islam ahlussunnah waljama’ah.

Sekalipun tidak semua isi Atlas Walisongo saya setuju –seperti letak Cempo, saya cenderung percaya di Jeumpa Aceh dibandingkan di Vietnam— tetapi jika diminta membuat buku seperti beliau, hamba menyerah tak sanggup.

6 tahun berikutnya 2018 karya beliau Fatwa & Resolusi Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta, 10 Nopember 1945 (Jakarta: Lesbumi PBNU, 2018). Saya baca. Barangkali ini jawab dari pernyataan Roeslan Abdul Gani saat ditanya, minimnya peran santri dalam perang 10 Nopember. “Ya tulis sendiri, masak menunggu hasil tulisan orang luar.” Buku ini memberikan data, kaum santri tidak hanya bisa ngaji thok. Kalau memang harus sampai adu fisik, yo ayo, siapa takut.

Hadirnya Pak Agus Sunyoto memberikan penegasan kepada kita, corak baru cara membaca sejarah hasil karya orang lain tentang kita –menjadi obyek bukan subyek, kalo dalam istilah teman-teman Resist Book, “baca dan lawan”. Membaca karya orang asing dan tulisan ulang dengan pemahaman kita sendiri.

Selamat jalan Pak Agus Sunyoto, kelak kamipun akan menyusul nJenengan…
Al-fatihah….

Penulis : Gus Fatoni, LTN Dlanggu.