Hari Santri Nasional: Melanjutkan Perjuangan Keaswajaan Mbah Hasyim

Foto Penulis
Foto Penulis

Pendahuluan

Bermula dari fatwa jihad yang ditulis oleh Hadlratusy-Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pada 11 September 1945, tercetuslah kemudian Resolusi Jihad Fi Sabilillah yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad itulah yang menggerakkan berbagai elemen masyarakat terutama para ulama dan santri untuk mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda jilid dua yang membonceng Sekutu. Hingga pada puncaknya terjadilah pertempuran yang luar biasa di Surabaya pada 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada waktu merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, para ulama dan santri berjihad dengan perjuangan diplomasi dan sinaan (senjata). Setelah kemerdekaan berhasil direbut dan dipertahankan, maka saatnya kini para santri berjihad dengan bayaan (menyebarluaskan ilmu). Marilah kita teladani Kiai Hasyim yang bukan hanya pejuang kemerdekaan tapi juga pejuang ilmu dan keaswajaan. PP. Tebuireng adalah bukti otentik dari Jihaad bil bayaan yang beliau lakukan. Bentuk lainnya adalah puluhan karya tulis dalam berbagai bidang keilmuan Islam yang menjelaskan tentang ajaran dan nilai keislaman terutama keaswajaan dan ke-NU-an.

Rabu lusa, 22 Oktober 2025, kita akan memperingati Hari Santri Nasional. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan secara singkat beberapa butir pemikiran Kiai Hasyim Asy’ari tentang keaswajaan yang  penulis rangkum dari berbagi karya tulis beliau. Dengan mengetahui beberapa pemikiran Kiai Hasym, diharapkan kita semua dapat melanjutkan perjuangan keilmuan dan keaswajaan beliau.

 

Penganut, Pengamal dan Pejuang Aswaja

KH Hasyim Asy’ari (Lahir 1287 H/1871 M, Wafat 1366 H/1947) adalah salah seorang ulama besar Indonesia. Selain belajar kepada para ulama pesantren di Indonesia seperti KH Kholil Bangkalan, KH Ya’qub Siwalan dan lainnya, beliau juga menimba ilmu dari para ulama sunni di Makkah seperti Syekh Sa’id al Yamani, Sayyid Husein al Habsyi, Syekh Bakr Syatha, Sayyid Alawi bin Ahmad as-Saqqaf, Syekh Shalih Bafadhl, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Tarmasi, Syekh Muhammad Nawawi al Bantani, Syekh Ahmad Khathib al Minangkabawi, Syekh Syu’aib bin Abdurrahman al Maghribi dan lainnya.

Sebagaimana guru-guru beliau, KH Hasyim Asy’ari adalah penganut ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, bahkan kemudian menjadi tokoh pejuang Ahlussunnah paling terkemuka di Indonesia.[1]

KH Hasyim Asy’ari menegaskan akidah tanziih[2]; bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu pun di antara makhluk-Nya. Allah bukan jism (benda yang tersusun dari bagian-bagian) dan Maha Suci dari sifat-sifat jism, Maha Suci dari arah, masa dan tempat. Beliau menjelaskan kebolehan bertawassul dengan adz-Dzawaat al Faadhilah seperti para nabi, ahlul bait dan para wali baik ketika mereka masih hidup atau pun sesudah meninggal. Bahkan beliau sendiri sering bertawassul dalam karya-karyanya. Beliau juga menegaskan bahwa melakukan safar untuk ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk sunnah yang disepakati oleh ummat Islam dan qurbah (perbuatan taat) yang sangat agung dan memiliki keutamaan yang sangat dianjurkan. Beliau juga menganjurkan agar peziarah bertabarruk dengan melihat Raudlah dan Mimbar Nabi.[3]

KH Hasyim Asy’ari juga menegaskan kewajiban bermadzhab bagi seseorang yang bukan mujtahid mutlak meskipun telah memenuhi sebagian syarat-syarat ijtihad. Madzhab yang bisa diikuti pada dasarnya adalah madzhab siapa pun asalkan pendirinya adalah seorang mujtahid mutlak. Karena memang para mujtahid mutlak bukan hanya pendiri madzhab empat. Ada banyak ulama yang telah mencapai derajat mujtahid mutlak seperti Sufyan ats-Tsauri, Sufyan ibn ‘Uyainah, Ishaq ibn Rahawaih dan lainnya. Namun KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa sekelompok ulama madzhab Syafi’i menyatakan tidak boleh bertaklid kepada selain imam madzhab empat karena beberapa alasan teknis. Oleh karenanya orang yang keluar dari madzhab empat di zaman sekarang termasuk kelompok ahli bid’ah (Mubtadi’ah).[4]

Dalam menyikapi perbedaan (ikhtilaaf) antara empat madzhab dan perbedaan dalam intern madzhab Syafi’i, KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa hal tersebut sah-sah saja. Sudah maklum bahwa ikhtilaaf dalam furuu’ telah terjadi di antara para sahabat Rasulullah. Dan mereka tidak pernah saling menyesatkan. Begitu pula antara imam Abu Hanifah dan imam Malik misalnya, telah terjadi perbedaan pendapat dalam sekitar 4000 masalah fiqh ibadah dan mu’amalah. Juga antara imam Ahmad bin Hanbal dan imam Syafi’i. Demikian pula terjadi perbedaan pendapat antara para ulama dalam intern madzhab Syafi’i, antara Syakhai al Madzhab; ar-Rafi’i dan an-Nawawi, Ahmad ibnu Hajar al Haitami dan Muhammad ar-Ramli serta antara para pengikut mereka. Mereka tidak pernah saling membenci, bermusuhan, iri dengki. Sebaliknya mereka tetap saling mencintai dan bersaudara dengan tulus.[5]

KH Hasyim Asy’ari juga mengikuti mayoritas ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Beliau menegaskan bahwa menggunakan tasbih, melafalkan niat (membaca Ushalli), talqin mayit, sedekah untuk mayit, tahlilan, ziarah kubur dan semacamnya adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang terpuji) bukan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang tercela). [6]

 

Siapakah salafi dan ahli bid’ah?

Menurut KH Hasyim Asy’ari, Salafi (Salafiyyuun) di Indonesia adalah orang-orang yang mengikuti dan melestarikan cara beragama dan ajaran-ajaran para pendahulu yang membawa Islam ke tanah Jawa. Salafi (Salafiyyuun) adalah para pengikut madzhab Syafi’i dalam fiqih, madzhab al Asy’ari dalam ushuluddin dan madzhab al Ghazali dan Abu al Hasan asy-Syadzili dalam tasawwuf. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti sistem bermadzhab dengan madzhab tertentu, berpegang dengan kitab-kitab yang beredar dan diakui di kalangan para ulama, mencintai ahlul bait, para wali dan orang-orang saleh, bertabarruk dengan mereka ketika masih hidup atau pun sudah meninggal, berziarah kubur, melakukan talqin mayit, bersedekah untuk mayit, meyakini adanya syafa’at, meyakini manfaat doa, tawassul dan semacamnya.

Bermadzhab adalah sistem yang sudah berlangsung dari masa para sahabat. Terbukti di masa para sahabat terdapat orang-orang awam yang meminta fatwa para ulama mujtahid di kalangan mereka dan mengikuti fatwa-fatwa hukum mereka. Para ulama pun menjawab berbagai pertanyaan mereka tanpa menyebutkan dalil. Dan para ulama sahabat tersebut tidak melarang orang awam mengamalkan ajaran agama dengan cara seperti itu. Ini artinya bahwa para sahabat sepakat (ijma’) bahwa orang awam harus mengikuti mujtahid sesuai dengan firman Allah ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (الأنبياء: 7)

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.  (Q.S. al Anbiya’: 7)

Dan inilah sebetulnya hakekat dan praktek taqlid.

Para pelaku bid’ah (al Mubtadi’un) muncul di Indonesia pada sekitar tahun 1330 H. Ahli bid’ah tersebut menurut KH Hasyim Asy’ari terbagi ke beberapa kelompok sebagai berikut:[7]

  1. Para pengikut Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad ibn Taimiyah dan kedua muridnya Ibnu al Qayyim dan Ibnu Abd al Hadi
  2. Kelompok Rafidlah
  3. Kelompok Ibahiyyun
  4. Para Penganut Paham Reinkarnasi
  5. Para Penganut Paham Hulul dan Ittihad
Baca Juga:  Penyuluh Agama Islam dan Media Sosial

 

 

Pokok-pokok Ajaran Golongan Yang Dikategorikan Ahli Bid’ah

  1. Pengikut Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad ibn Taimiyah dan kedua muridnya Ibnu al Qayyim dan Ibnu Abd al Hadi

 

Rasyid Ridla dan gurunya, Muhammad Abduh mempunyai beberapa pemikiran sebagai berikut:[8]

  • Mencela para ulama dan menyatakan tidak boleh taqlid kepada mereka.
  • Dianjurkan kepada siapa saja untuk melakukan ijtihad tanpa ada kriteria-kriteria tertentu.
  • Daging babi boleh dimakan jika direbus dalam air yang sangat mendidih sehingga kuman dan bakteri yang ada di dalamnya mati.
  • Menafsirkan malaikat dengan makna “kekuatan alam” (al-Quwaa ath-Thabii’iyyah).
  • Menafsirkan jin dengan makna “bakteri dan kuman” (al-Mikruubaat).
  • Mendukung teori Darwin yang menyatakan bahwa asal manusia dari kera.

Oleh karena pemikiran-pemikirannya yang menyimpang, Rasyid Ridla dicela dan dibantah oleh banyak ulama, di antaranya syekh Yusuf an-Nabhani, syekh Yusuf ad-Dajawi, al-Muhaddits syekh ‘Abdullah al-Ghumari dan lain-lain. Bahkan syekh Yusuf an-Nabhani pernah menulis tentang Rasyid Ridla sebagai berikut:

وأما رشيد ذو المنار فإنه                   أقلهم عقلا وأكثرهم شرا

“Adapun Rasyid Ridla, penulis al-Manar, sesungguhnya ia… Orang yang paling picik pikirannya dan paling banyak kesesatannya”

 

Sedangkan golongan Wahhabi adalah para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi (W. 1206 H). Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya yang mengkafirkan penduduk Mesir, Irak dan sekitarnya, Syam, Hijaz dan Yaman[9] memiliki ajaran-ajaran sebagai berikut:

  • Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas Arsy.
  • Mengkafirkan dan memusyrikkan orang yang bertawassul dengan nabi atau wali yang sudah meninggal atau tidak hadir di hadapan orang yang bertawassul.
  • Memusyrikkan orang yang mengalungkan Hiriz (semacam jimat yang bertuliskan ayat al Qur’an dan dzikir-dzikir yang warid)
  • Memusyrikkan para pengikut madzhab empat.
  • Menyesatkan Tasawwuf dan Tarekat

 

Oleh karenanya, ketika golongan Wahhabi menyerbu kota Tha-if, mereka membunuh semua orang, tua-muda, besar-kecil, rakyat dan para pejabat, mereka menyembelih anak yang sedang menyusu ibunya, mereka merampas harta dan menawan para wanita,[10] karena mereka menganggap penduduk Hijaz kafir musyrik.

Para ahli fiqh, hadits, tafsir serta para sufi di segenap penjuru dunia Islam telah menulis banyak sekali risalah-risalah kecil atau buku-buku khusus untuk membantah Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Di antaranya adalah Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H),  Syekh Ibnu ‘Abidin al Hanafi (W. 1252 H), Syekh Muhammad ibn Humaid  (W. 1295 H) mufti Madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah,  Syekh Ahmad Zaini Dahlan  (W. 1304 H) mufti madzhab Syafi’i di Makkah al Mukarramah dan ulama lainnya.

  1. Kelompok Rafidlah

Mereka adalah golongan yang mencela sayyidina Abu Bakr dan Umar serta membenci seluruh sahabat Nabi kecuali sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka melampaui batas dalam mencintai sayyidina ‘Ali dan ahlul bait. Sebagian dari mereka bahkan masuk kategori kafir dan zindiq.

  1. Kelompok Ibahiyyun

Mereka adalah golongan yang menyatakan bahwa seorang hamba yang sudah sampai derajat tertinggi dalam kecintaan kepada Allah, telah suci dan jernih hatinya serta telah tertanam kuat keimanan dalam kalbunya, maka gugur (tidak berlaku) baginya perintah dan larangan Allah. Dan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam neraka dengan sebab perbuatan dosa besar yang ia lakukan. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa hamba tersebut gugur baginya ibadah-ibadah yang zhahir, dan ibadahnya hanya berupa merenung dan memperbaiki perilaku yang batin. Paham seperti ini, menurut Sayyid Muhammad Murtdla az-Zabidi dalam Syarh Ihyaa’ Uluumiddiin sebagaimana dikutip mbah Hasyim dalam Risaalah Ahlissunnah wal Jamaa’ah, hlm. 11, adalah kekufuran, kezindikan dan kesesatan.

  1. Para Penganut Paham Reinkarnasi

Mereka adalah golongan yang meyakini reinkarnasi roh dan berpindahnya roh selamanya dari satu badan ke badan yang lain; disiksa atau memperoleh kenikmatan sesuai dengan suci atau kejinya roh tersebut. Paham seperti ini jelas adalah kekufuran.

  1. Para Penganut Paham Hulul dan Ittihad

Mereka adalah kaum shufi gadungan (Jahalah al-Mutashawwifah). Mereka berkeyakinan bahwa tiada yang ada kecuali Allah; Allah adalah keberadaan mutlak dan segala sesuatu selain-Nya tidak disifati dengan keberadaan sama sekali. Paham ini, menurut al-‘Allamah al-Amir dalam Hasyiyah ‘Abdissalam sebagaimana dikutip mbah Hasyim, adalah kekufuran yang nyata.

KH Hasyim Asy’ari juga menegaskan bahwa madzhab Imamiyyah dan Zaidiyyah adalah madzhab para ahli bid’ah dan tidak boleh berpegang dengan pendapat-pendapat mereka.[11]

            Setelah menjelaskan tentang berbagai golongan dan ajaran-ajaran yang menyimpang tersebut, KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa kebenaran berada pada golongan Salafi tersebut yang mengikuti jalan para salaf salih karena merekalah mayoritas ummat Muhammad. Dan merekalah yang ajarannya sesuai dengan para ulama sunni yang ada di Haramain dan ulama al Azhar asy-Syarif yang merupakan teladan ahlul haqq. Mereka terdiri dari para ulama yang tersebar di seluruh penjuru dunia yang sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya.

KH Hasyim Asy’ari juga sangat berempati terhadap ulama-ulama Makkah yang sempat terusir dari Makkah sekitar tahun 1343 H seperti guru beliau ketika di Makkah Syekh Sa’id bin Muhammad al Yamani asy-Syafi’i, Syekh Abdul Hamid Sunbul Hadidi al Hanafi, Syekh Hasan bin Sa’id al Yamani, Syekh Muhammad Ali bin Sa’id al Yamani. Mereka sempat mengungsi ke Gresik, Jawa Timur karena gangguan dan intimidasi Wahhabi terhadap para mukimin di sekitar Masjid al Haram.[12]

 

Faktor-faktor Penyebab Munculnya Penyimpangan

Di antara penyebab muncul dan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam Islam menurut  KH Hasyim Asy’ari[13] adalah:

 

  1. Tidak Menguasai seluk beluk bahasa Arab dan berbagai gaya bahasa (Asaalib) dalam bahasa Arab

KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa sekian banyak orang tersesat dari jalan yang benar dikarenakan mengikuti pemahaman orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai gaya bahasa dalam bahasa arab. Beliau menyatakan: “Al Ashmu’i meriwayatkan dari al Khalil dari Abu ‘Amr ibn al ‘Ala-‘, ia berkata:

“أَكْثَرُ مَنْ تَزَنْدَقَ بِالعِرَاقِ لِجَهْلِهِمْ بِالعَرَبِـيَّةِ”.

Kebanyakan orang yang Zindik di Irak disebabkan kebodohan mereka tentang bahasa Arab”.

 

  1. Tidak Memiliki Perangkat Keilmuan yang Cukup

Ketika menjelaskan kewajiban bermadzhab bagi orang awam, KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa pemahaman orang awam tidak diperhitungkan sama sekali, selama tidak sesuai dengan pemahaman para ulama Ahlul Haqq al Akabir al Akhyar. Karena sesungguhnya masalah bukan berada pada teks-teks al Qur’an atau pun hadits yang memang sahih, melainkan terletak pada pemahaman yang keliru terhadap teks-teks tersebut. Oleh karenanya, setiap ahli bid’ah dan orang yang tersesat pun mengaku memahami ajaran-ajaran mereka yang batil dari al Kitab dan as-Sunnah tetapi itu tidak menyelamatkan mereka dari kesalahan. Demikian penting kaedah ini untuk diikuti dan diamalkan, sehingga KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa seseorang yang bukan mujtahid mutlak dia harus bertaklid kepada salah satu dari madzhab empat dan tidak boleh memahami sendiri dan beristidlal langsung dari ayat-ayat al Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Baca Juga:  Satkoryon Banser Jetis Buka Posko Mudik 2024

Identifikasi Kesesatan Dan Kekufuran

KH Hasyim Asy’ari dengan mengutip dari beberapa ulama mengidentifikasi berbagai keyakinan dan ajaran yang menyimpang dan mengeluarkan seseorang dari Islam. Beliau menyatakan:[14]

Al Qadli ‘Iyadl berkata dalam kitab asy-Syifa: Setiap perkataan yang tegas menafikan rububiyyah (ketuhanan) Allah, keesaan Allah atau perkataan yang menyatakan beribadah kepada selain Allah, atau beribadah kepada sesuatu selain Allah digabung dengan ibadah kepada Allah, maka itu semua adalah kekufuran, seperti perkataan golongan Dahriyyah, orang-orang Kristen, Majusi, orang-orang yang menyekutukan Allah dengan menyembah berhala, para malaikat, setan, matahari, bintang, api, atau siapa pun dan sesuatu apapun selain Allah. Demikian pula para penganut keyakinan Hulul dan Reinkarnasi. Demikian pula orang yang mengakui ketuhanan dan keesaan Allah tetapi dia meyakini Allah tidak hidup, tidak Qadim, atau bahwa Allah baharu (memiliki permulaan), berbentuk dan bergambar, atau mengklaim bahwa Allah memiliki anak, isteri, atau Allah terlahir dari sesuatu, ada dari sesuatu, atau meyakini bahwa ada sesuatu selain Allah yang qadim (bermula) ada bersama Allah pada azal, atau meyakini ada pencipta atau pengatur seluruh alam ini selain Allah, itu semua adalah kekufuran dengan ijma’ (konsensus) ummat Islam. Demikian pula orang yang mengaku telah duduk-duduk bersama Allah, bertemu dan berbincang-bincang dengan Allah, atau meyakini Allah menempati tubuh seseorang seperti perkataan sebagian orang yang mengaku sufi, sebagian Bathiniyyah dan orang-orang Nasrani. Demikian pula kita memastikan kekufuran orang yang meyakini keqadiman alam dan kekalnya alam, atau meyakini reinkarnasi roh dan berpindahnya roh selamanya dari satu badan ke badan yang lain; disiksa atau memperoleh kenikmatan sesuai dengan suci atau kejinya roh tersebut. Demikian pula orang yang mengakui ketuhanan Allah dan keesaannya tetapi mengingkari kenabian secara mutlak dan umum, atau mengingkari kenabian nabi kita secara khusus, atau kenabian salah seorang nabi yang ditegaskan oleh Allah padahal dia mengetahui hal itu, maka dia kafir tanpa keraguan sedikit pun. Begitu pula orang yang mengatakan bahwa nabi kita bukan yang berada di Makkah dan Hijaz. Demikian pula orang yang mengklaim kenabian untuk seseorang bersama (di masa) Nabi kita Muhammad atau setelahnya atau yang mengaku dirinya sebagai nabi. Demikian juga para sufi (gadungan) ekstrim yang mengaku menerima wahyu meskipun tidak mengaku sebagai nabi. Dalam kitab al Anwar dikatakan: Dan dikafirkan secara pasti setiap orang yang mengatakan perkataan yang berujung kepada penyesatan terhadap ummat Islam dan pengkafiran terhadap para sahabat. Demikian pula dikafirkan secara pasti setiap pelaku perbuatan yang tidak akan muncul kecuali dari orang kafir seperti sujud kepada salib atau api, berjalan ke gereja bersama orang-orang Kristen dengan pakaian ritual mereka seperti zunnar dan lainnya.”

 

Peringatan Kepada Masyarakat

Dalam Muqaddimah al Qaanuun al Asaasi Li Jam’iyyah Nahdlatil Ulamaa’,  setelah menjelaskan tentang pentingnya persaudaraan, persatuan, guyub rukun, bekerja sama dan saling tolong menolong dan bahaya perpecahan, KH Hasyim Asy’ari mengingatkan para ulama madzhab empat akan bahaya golongan-golongan yang menyimpang yang telah berkonsolidasi dalam berbagai perkumpulan dan menyebutkan beberapa hadits dan atsar tentang hal itu. Salah satu hadits yang beliau sebutkan:

قَالَ رَسُـوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم  : “إِذَا ظَهَرَت الفِتَنُ وَالبِدَعُ وَسُبَّ أَصْحَابِي فَلْيُظهِرِ العَالِمُ عِلْمَهُ، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ” أخرجه الخطيب البغدادي

Jika muncul berbagai fitnah, bid’ah dan para sahabatku dicaci maka hendaklah seorang ulama menampakkan ilmunya (menjelaskan dan menyebarkannya kepada masyarakat), jika ia tidak melakukannya maka ia terkena laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya” (H.R. al Khathib al Baghdadi).

 

والحمد لله وصلى الله وسلم على رسول الله ، والله أعلم وأحكم

 

[1] KH Hasyim Asy’ari, Risaalah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaa’ah fi Hadiits al-Mautaa wa Asyraath as-Saa’ah wa Bayaan Mafhuum as-Sunnah wa al-Bid’ah. Baca juga Muhammad Asad Syahaab, al-‘Allaamah Muhammad Hayim Asy’ari: Waadli’ Labinah Istiqlaal Indonesia, Daar as-Shaadiq, Beirut, 1971.

[2] KH Hasyim Asy’ari, Risaalah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaa’ah fi Hadiits al-Mautaa wa Asyraath as-Saa’ah wa Bayaan Mafhuum as-Sunnah wa al-Bid’ah. Baca juga Muhammad Asad Syahaab, al-‘Allaamah Muhammad Hayim Asy’ari: Waadli’ Labinah Istiqlaal Indonesia, Daar as-Shaadiq, Beirut, 1971.

[3] Lihat KH Hasyim Asy’ari,  an-Nuur al-Mubiin fii Mahabbah Sayyid al-Mursaliin, hlm. 66-75

[4] Lihat Risaalah fi Ta’akkud al-Akhdz bi Madzaahib al-Aimmah al-Arba’ah.

[5] KH Hayim Asy’ari, at-Tibyaan fii an-Nahy ‘an Muqaatha’ah al-Arhaam wa al-Aqaarib wa al-Ikhwaan, hlm.  16.

[6] KH Hasyim Asy’ari , Risaalah Ahl as-Sunnah, hlm. 8.

[7] KH Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 9-13.

[8] Lihat Majallah al-Manar dan Tafsir al-Manar.

[9] Lihat buku mereka yang berjudul Fath al Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 191.

[10] Lihat ad-Durar as-Saniyyah fi ar-Radd ‘ala al Wahhabiyyah, hal. 41.

[11] KH. Hasyim Asy’ari, Risaalah fii Ta’akkud, hlm.29.

[12] KH. Hasyim Asy’ari, Aadaab al-‘Aalim wa al-Muta’allim fii maa Yahtaaju ilaihi al-Muta’allim fii Ahwaal Ta’allumihi wa maa Yatawaqqafu ‘alaihi al-Mu’allim fii Maqaamaat Ta’liimihi, hlm.102-108.

[13] KH Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm.13.

[14] KH Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 14.

Penulis : Nur Rohmad Ketua LAKPESDAM NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan sumber Daya manusia) PCNU Kab. Mojokerto
Editor  : Moch. Taufiq Zulmanarif