Setiap 22 Oktober, kita kembali merayakan Hari Santri. Berbagai seremoni digelar untuk mengenang kehebatan Resolusi Jihad 1945, sebuah seruan yang menjadi bahan bakar utama bagi pertempuran 10 November. Ini adalah ritual penting untuk menghormati sejarah.
Namun, seringkali ritual itu berhenti di sana. Kita kembali ke rutinitas, merasa cukup telah menjadi pewaris dari sebuah perjuangan besar. Kita lupa, tugas kita bukanlah menjadi penjaga museum yang merawat abu kemenangan para pendahulu. Tugas kita adalah mewarisi apinya, untuk menyalakan tungku perjuangan di zaman kita sendiri. Pertanyaannya menjadi begitu menantang: jika Mbah Hasyim punya Resolusi Jihad 1945, lalu apa resolusi jihad kita hari ini?
Jihad 30 Tahun di Bumi Majapahit
Untuk menjawabnya, kita bisa berkaca pada sebuah epik perjuangan di Mojokerto. Pada tahun 1958, Kiai Achyat Chalimi (Abah Yat) mendeklarasikan “resolusi jihad”-nya sendiri. Bukan untuk mengangkat senjata, tapi untuk mendirikan rumah sakit. Beliau resah melihat warga NU, jika sakit, terpaksa dirawat di rumah sakit Kristen karena tak ada pilihan lain, sebuah kondisi yang dianggapnya mengancam akidah umat.
Namun, ide itu diuji selama tiga puluh tahun. Selama itu, NU Mojokerto dihantam berbagai badai, dari keterbatasan dana hingga tekanan politik Orde Baru yang menakutkan. Api itu hampir padam, namun tak pernah benar-benar mati. Puncaknya terjadi pada 1989, saat sebuah keputusan besar diambil: membeli sebuah rumah makan seharga 190 juta rupiah untuk dijadikan cikal bakal rumah sakit.
Jumlah 190 juta rupiah di tahun 1989 sangatlah besar, setara dengan lebih dari 3,5 miliar rupiah hari ini. Cukup untuk membeli lima mobil Kijang Innova Zenix tipe tertinggi. Uang itu tidak datang dari pemerintah atau korporat, melainkan dari “Jihad Harta” seluruh lapisan warga: Kiai merogoh sakunya sendiri, pengusaha berinfak, hingga gerakan jimpitan beras dari dapur-dapur warga di pelosok desa pun digerakkan.
Rumah Sakit Islam Sakinah, yang akhirnya berdiri, bukanlah sekadar bangunan. Ia adalah monumen perjuangan. Sebuah modal yang diwariskan oleh generasi itu untuk kita.
Warisan ataukah Modal?
Dan di sinilah letak persoalan kita hari ini. Kita terlalu sering memandang hasil jerih payah para pendahulu itu sebagai warisan yang siap dinikmati, bukan sebagai modal yang harus didayagunakan untuk perjuangan lebih lanjut. Warisan cenderung membuat manja; kita merasa berhak, lalu sibuk berebut pengelolaan. Namun sebaliknya, modal menuntut kita untuk produktif.
Rumah sakit yang awalnya lahir dari semangat layanan (khidmah), kini juga merupakan sebuah institusi bisnis. Keuntungannya harus kembali menjadi bahan bakar perjuangan. Jika generasi Abah Yat mampu melahirkan sebuah rumah sakit dari nol, tantangan bagi generasi kita adalah: institusi apa lagi yang bisa kita lahirkan dari hasil keuntungan rumah sakit itu?
Pertanyaan ini sering tidak terjawab, karena kita mungkin terlalu asyik menggelar peringatan hari besar, pelatihan, atau membagi bantuan karitatif. Acaranya sukses, laporannya rapi, tapi setelah itu selesai, tak ada dampak sistemik yang tercipta. Kegagalan untuk menciptakan dampak berkelanjutan inilah yang menuntut adanya pergeseran radikal dari sekadar “membagi kue” menjadi fokus untuk “membangun pabrik kuenya”.
Jihad Baru di Abad Kedua
Jihad kita hari ini bukanlah mengangkat senjata, melainkan mengangkat martabat ekonomi warga. Perjuangan ini menuntut cara-cara baru yang cerdas, seperti melahirkan gerakan kewirausahaan yang nyata dan membangun badan-badan usaha milik NU yang dikelola secara profesional. Dengan demikian, NU tidak hanya kuat secara jamaah, tapi juga kokoh secara ekonomi.
Tentu, memberdayakan jutaan warga sekaligus adalah kemustahilan. Namun, sebuah langkah cerdas bisa dimulai dengan fokus pada titik ungkit yang paling efektif, yaitu para penggerak organisasi di semua tingkatan. Memberdayakan mereka yang merupakan tokoh di lingkungannya akan menciptakan efek berantai yang dahsyat.
Maka, di Hari Santri ini, mari kita berhenti sejenak dari tepuk tangan untuk masa lalu. Mari kita tatap cermin perjuangan para pendahulu kita, bukan untuk melihat bayangan kebesaran mereka, tapi untuk bertanya pada pantulan diri kita sendiri: “Modal apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi berikutnya?”
Sebab penghormatan tertinggi bagi para pejuang 1945 bukanlah dengan melestarikan cerita mereka. Penghormatan tertinggi adalah dengan menulis cerita perjuangan kita sendiri, yang lebih hebat, untuk menjadi modal bagi generasi yang akan datang.
Penulis : Sofian Junaidi Anom*
Editor : Moch. Taufiq Zulmanarif
*Penulis adalah Ketua Lembaga Perekonomian PCNU Kabupaten Mojokerto 2025-2030, Penggerak Komunitas Terong Gosong, dan pernah mondok di pesantrennya Kiai Achyat Chalimi.