Setelah Imam Al-Bushiri bertanya pada bait pertama tentang sebab keluarnya air mata yang bercampur dengan darah, apakah karena teringat Sang Kekasih yang ada di Salam? Sosok yang diajak bicara belum memberikan jawaban.
Al-Bushiri kembali bertanya kepada sosok itu:
أم هبت الريح من تلقاء كاظمة * وأومض البرق في الظلماء من إضم
Apakah darah yang keluar dari mata itu, karena ingatanmu tentang angin (Rihh) yang berhembus dari arah tempat tinggal Sang Kekasih, atau karena kilatan petir yang menyinari gelapnya malam pada Gunung idhami (nama gunung di Madinah)?
Al-Bushiri bertanya tentang hembusan angin karena seorang yang sedang dibendung oleh cinta akan terus memikirkan Sang Kekasih. Tiap detik waktu yang dia miliki hanya dihabiskan untuk merenung, memikirkan keindahan Kekasih. Maka jika datang angin yang berhembus dari arah tempat tinggalnya, khayalannya kembali datang bahwa yang datang adalah aroma Sang kekasih, dan mulailah air mata rindu itu kembali mengalir, hingga jika ia kering, darah lah yang akan menjadi penggantinya.
Al-Bushiri juga memilih kata (Rih) dalam menyebut angin dengan kalimat mufrad (tunggal) yang mana biasanya jika ia datang dengan mufrad, maknanya diartikan dengan angin yang kencang yang bahkan bisa membahayakan manusia. Sebagaimana pada Ali Imran, Allah berfirman:
مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيحٍ فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ.
Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya.
Pemilihan kalimat Riih oleh Al-Bushiri, seolah ia ingin mengatakan bahwa angin yang berhembus itu menstimulasi rasa rindu menjadi semakin panas dan meninggi, yang awalnya kerinduan itu hanya sebatas bayangan yang terlintas atau kegelisahan yang berat, kini berubah menjadi tangisan yang tiada henti hingga darah menjadi mengalir, yang bisa saja, jika darah tersebut terus mengalir akan membuat jasmani orang yang merindu dalam keadaan bahaya karena kehabisan darah.
Atau Al-Bushiri ingin mengartikan Riih bukan angin, tapi aroma (raihah) sang kekasih yang hadir tanpa adanya hembusan. Ia hadir begitu saja. Sebab pecinta, sensitifitasnya akan sangat tajam kepada setiap sesuatu yang berhubungan dengan orang yang ia cintai. Ini seperti apa yang pernah terjadi pada Nabi Ya’qub yang waktu itu juga merindukan anaknya, Nabi Yusuf, di dalam ayat itu, beliau juga menggunakan kata Riih (hembusan angin) tapi yang diinginkan adalah aroma. Allah berfirman:
وَلَمَّا فَصَلَتِ ٱلْعِيرُ قَالَ أَبُوهُمْ إِنِّى لَأَجِدُ رِيحَ يُوسُفَ
Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf.
**
Dua bait Burdah ini seakan memberikan isyarat tentang fungsinya wasilah dalam menyambung hubungan yang melonggar. Mungkin saat ini, kerinduan belum bisa menguat, tapi melihat kubah hijau, atau dengan menyebut nama Kekasih, rindu itu kembali membuncah. Sebagaimana dalam dua bait ini, kerinduan sang perindu itu semakin naik setelah ada ingatan yang datang, atau hembusan angin yang lewat, atau kilatan petir yang membuat rumah sang kekasih terlihat dari jarak jauh.
Sumber tulisan dari FB Fahrizal Fadil