Ba’da Isya, saya diterima oleh Ayah-Ibu Gus Roqi di ruang tamu Asrama al Qurtuby PP. Bidayatul Hidayah Mojogeneng. Saya dipersilahkan duduk dan mencicipi suguhan yang dihidangkan. Secangkir kopi hangat dihidangkan pula untuk menemani wawancara dengan Gus Roqi malam ini.
Tak berapa lama, Gus Roqi hadir ditengah tengah kami. Saya pun dipersilahkan masuk ke ruang yang akan dijadikan sebagai sekertariat untuk juri pada festival banjari secara online dalam memperingati rangkaian acara Haul Gus Fudin (Ayah Gus Roqi) sabtu hingga minggu (25-26 Juli 2020).
Gus Ilham, Kakak Gus Roqi sedang sibuk menyiapkan perangkat wifi untuk acara. Sesekali menyapa saya dan ngobrol tentang multimedia yang digelutinya. Tapi tak berapa lama Gus Ilham keluar, katanya ada keperluan.
Gus Roqi sendiri duduk dikursi sofa ditemani Ibunya, Bu Nyai Mustafrida. Kami ngobrol tentang perjalanan Gus Roqi menapaki bagian bagian kehidupan yang telah dijalaninya. Dari obrolan santai itu saya memperoleh info menarik seputar jejak langkah Gus Roqi.
Gus Roqi lahir tahun 24 oktober 2000 dari pasangan Gus Saifuddin Yahdi dan Nyai Mustafrida. Ia bersama kakaknya, Gus Ilham, menjadi yatim saat masih kecil.
Kenangan indah bersama ayahnya, kata Gus Roqi, saat ia rewel, selalu diberi banjari untuk mengekspresikan tangannya yang ekspresif. Secuil memori itu, ditambah dididikan ibundanya yang sabar, membangkitkan mahabah pada shalawat Nabi.
“Saat masih kecil, Ibu selalu memutarkan shalawat nabi. Dan dari sering mendengar shalawat nabi itu, menjadikan saya suka dan menirukan shalawat nabi” terang Gus Roqi.
Kesukaannya pada shalawat nabi, menghantarkannya kepada peruntungan, ia berhasil memperoleh juara II pada festival Banjari di Universitas Darul Ulum Jombang. Yang dari pencapaian ini, ia kemudian dikenal masyarakat luas. Gus Roqi sering diundang ke berbagai daerah untuk bershalawat. Bahkan kerap berduet dengan pesolawat kesohor di negeri ini. Untuk menyebut seperti Habib Syekh, Kiai Kanjeng-Cak Nun , dan lain sebagainya.
Namun kecintaannya kepada shalawat pernah dihentikan oleh Ibunya, Bu Nyai Mustafrida. Sebab Hafalan al-Quran yang dirintis sejak umur 8 tahun, banyak yang hilang.
“Waktu itu saya masih sibuk menjadi pengajar di MI. Saya kira, anak saya ini bisa menghafal mandiri. Tetapi ternyata setelah saya tes sendiri, banyak hafalannya yang hilang. Karenanya saya minta ia menghentikan bersholawatnya hingga khatam al-Qurannya” terang Bu Nyai Mustafrida.
Pada akhirnya Gus Roqi bisa menghafal 30 Juz tepat saat ia berumur 13 tahun. Dari rentang mulai menghafal, ia memerlukan waktu enam tahun.
“Sebenarnya saya ditarget oleh Ibu, bisa hafal selama dua sampai tiga tahun, tapi karena banyak kendala, akhirnya molor hingga enam tahun” ujar Gus Roqi.
Rentang waktu yang molor itu, Bu Nyai Mustafrida menjelaskan,
“Anak saya itu ya seperti kebanyakan anak anak lainnya. Kadang malasnya muncul. Kadang nangis saat disuruh menghafal” tutur Bu Nyai Mustafrida, pengasuh Asrama al Qurtubi itu.
Disinggung soal metode yang digunakan untuk hafalan al Quran Gus Roqi, Bu Nyai Mustafrida menjelaskan,
“Setiap hari saya bacakan satu ayat al Quran. Ia mendengarkan dengan baik dan kemudian menghafalkannya” imbuh Bu Nyai Mustafrida.
“Alhamdulillah, Gus Roqi akhirnya bisa diwisuda. Dan kini mentashihkan al Qurannya kepada Gus Fatoni” kata Ibu tiga anak itu.
Disinggung tentang keinginanannya untuk belajar ilmu agama lebih dalam ke pesantren besar seperti yang dilakukan oleh Gus Fudin, ayahnya, Gus Roqi menjawab bila keinginan itu tetap ada. Hanya saja belum diperbolehkan oleh Gus Fatoni.
“Belum boleh oleh Gus Toni. Sebab saya disuruh fokus al-Quran terlebih dahulu” terang Gus Roqi.
Kata Gus Roqi, saat ini selain fokus tashih, murojaah hafalan al-Quran, juga belajar kitab kitab kuning ke Ustadz ustad di Mojogeneng seperti ngaji kitab mabadi fiqh, kitab sulam taufik, kitab tafsir jalalain dan lain sebagainya.
Biasanya, kata Gus Roqi, ngajinya privat. Gus Roqi mendengarkan penjelasan penjelasan tentang kitab kitab pesantren tersebut. Bahkan ada maqolah maqolah yang dihafalnya. Kadang ia bertanya kepada Ustadznya hingga pemahamannya terang benderang.
“Gus Roqi itu kalau bertanya itu detail. Ingin tahu semuanya. Apalagi kalau sudah diberi cerita sejarah, ia sangat suka sekali.” jelas Bu Nyai Mustafrida.
Selain kitab kuning, Gus Roqi juga belajar bahasa Inggris kepada putrinya Gus Toni. Ia menghafal idiom idiom bahasa Inggris. Dan percakapan percakapan sehari hari.
“Hanya ingin tahu saja, bahasa Inggris itu seperti apa” ungkap Gus Roqi sambil tersenyum.
“Tetapi saya justru tidak mahir berbahasa Indonesia. Tapi faham. Lebih banyak bahasa jawanya” imbuh laki laki yang kini berusia 20 tahun itu.
Selain sibuk belajar, Gus Roqi juga sibuk membantu ibunya untuk menyimak santri santri al Qurtuby setoran hafalan al Quran.
“Ya hanya bantu bantu Pondok saja” terang Gus Roqi
###
Tak terasa malam semakin pekat. Sudah waktunya saya mengundurkan diri. Terlihat Gus Roqi pun kepayahan. Tetapi sebelum saya mengundurkan diri, saya ingin menanyakan satu hal kepada Bu Nyai Mustafrida tentang tirakatnya sehingga memiliki anak yang cerdas hafalannya walaupun tak pernah bersentuhan dengan sekolah.
” Apa ya ustadz” jawab Bu Nyai Mustafrida sambil berfikir mengenang amalan yang telah dilakukannya.
“Mungkin ini ustadz, waktu kecil, seluruh anak anak saya, baik weton-nya maupun hari ulang tahun-nya, selalu saya khatamin al Quran. Saya sendiri yang membaca hingga khatam”
“Dan amalan dari Gus Toni ke saya” sahut Gus Roqi, “Agar berdoa kepada Allah, bila Allah ridlo maka mudahkanlah dalam menghafal”
Isno, Ketua LTN NU Kab. Mojokerto