Abdullah Aqib masih belum genap berusia 20 tahun manakala ia menjadi santri di pesantren Tebuireng. Di pesantren asuhan Hadratussyaikh Hasyim Asyari itu, ia menjadi kader KH. A. Wahid Hasyim dan KH. Muhammad Ilyas di Madrasah Nidzomiyah. Abdullah Aqib merasa senang saat diterima di madrasah yang menerapkan sistem klasikal dengan komposisi materi 70 persen umum dan 30 persen ilmu-ilmu agama ini di akhir tahun 1930-an.
Hingga pada suatu ketika, manakala ia asyik menghafal nadzom, ia dipanggil oleh Kiai Wahid Hasyim. Keduanya lantas duduk berhadapan dengan dipisahkan meja di beranda ndalem (rumah pengasuh pesantren).
“Sampeyan mau saya ajari ilmu baru,?” tanya Kiai Wahid, ayah Gus Dur itu.
“Injih gus, saya mau,” jawab Aqib, panggilan akrabnya.
Dengan cekatan tangan Kiai Wahid mengambil segepok kartu remi (poker) dari sakunya. Menaruhnya di atas meja, lalu menatanya dengan rapi. Aqib terkesiap.
“Ayo, kita main kartu!” ajak Kiai Wahid.
“Wah, saya tidak bisa gus,”
“Nah, ayo, saya ajari.”
Dengan telaten, Kiai Wahid mengajari Aqib pola permainan kartu itu. Meski mulai tampak terampil bermain, hati Aqib masih bertanya-tanya, manakah jenis “ilmu baru” yang ditawarkan Kiai Wahid. Tapi, ia tidak berani menanyakannya. Segan.
Setelah beberapa saat bermain….
“Baik, pelajaran hari ini sudah cukup. Kulihat sampeyan sudah menguasai permainan ini.”
“Injih, Gus. Injih. Matur nuwun,”
“Ini ilmu baru, Kang. Setidaknya baru buat sampeyan. Kelak, ilmu main kartu ini akan berguna, akan bermanfaat buat sampeyan,”
Aqib mengangguk, meski ia belum paham betul apa yang diinginkan gurunya.
Setelah lulus dari Tebuireng, Aqib mendampingi desa transmigrasi di daerah Lampung pada tahun 1958. Mayoritas penduduk desa ini berasal dari Blitar. Di desa ini, Aqib menjadi pembimbing umat, kiai muda. Tapi ia masih gelisah melihat perilaku masyarakat yang kurang agamis, khususnya kaum pria yang suka menganggur sambil main kartu, berjudi dan mabuk-mabukan. Beberapa kali diingatkan, tetap saja mereka cuek.
Hingga akhirnya tercetus ide di benak Kiai Aqib; menantang jagoan-jagoan itu bermain kartu. Agar menarik, disisipkanlah tantangan: jika Kiai Aqib kalah, maka tanah, perkebunan, dan rumah miliknya diserahkan kepada para pemabuk ini, kemudian ia pulang ke Jawa, tapi jika Kiai Aqib menang, maka para pemabuk harus menghentikan kebiasaannya.
Tantangan ini segera diterima setelah sebelumnya ditertawakan; mana ada kiai jago main kartu. Pertandingan lantas digelar. Kiai Aqib versus seorang jagoan yang mewakili kawan-kawannya. Penontonnya? Penduduk Desa! Hasilnya? Kiai Abdullah Aqib menang!
Karena terikat dengan janjinya, kelompok yang kalah harus menghentikan kebiasaan buruknya. Melihat kemenangannya ini, Kiai Aqib tercenung haru mengingat ucapan guru yang ia cintai, beberapa tahun sebelumnya.
“Ini ilmu baru, kang. Setidaknya baru buat sampeyan. Kelak, ilmu main kartu ini akan berguna, akan bermanfaat buat sampeyan.”
Dikisahkan oleh KH. Dr. Kharisuddin Aqib bin KH. Abdullah Aqib kepada Rijal Mumazziq Z, 3 Oktober 2012. Lahumal Fatihah. (Disarikan dari website muktamarnu jombang 2015)