Penulis : Faiz (Anggota LTN dan Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya)
Ibn Abi al-Asba’ mengatakan setidaknya 10 gaya Allah SWT memulai setiap firman-Nya di 114 surah dalam Al-Qur’an, yakni: pertama, pujian terhadap diri-Nya, terletak pada 19 surah. Kedua, kata panggilan (nida’) terletak di 10 surah. Ketiga, kalimat berita (khobariyah) ada di 23 surah. keempat, sumpah (qasam) terletak pada 15 surah. Kelima, bentuk syarat ada pada 7 surah. Keenam kalimat perintah ada pada 6 surah. Ketujuh, kalimat tanya (istifham) ada pada 6 surah. Kedelapan kalimat doa, ada pada 3 surah. Kesembilan, ta’lil (argumen) ada pada satu surah, dan terakhir berupa huruf ada pada 29 surah.
Dari macam-macam kategori di atas, kita bisa menyebut bahwa surah al-Baqarah masuk pada kategori kesepuluh. Yakni surah yang dimulai dengan huruf, atau familiar disebut dengan al-Huruf al-Muqotho’ah.
Permasalahan utama dari kasus huruf muqhoth’ah ini adalah perihal makna. Di mana mayoritas ahli tafsir memilih memberi tafsiran ayat di atas -atau semisal dengannya- dengan kalimat الله أعلم بمراده بذلك yang jika diterjemah hasilnya “hanya Allah yang tau”. Lantas, untuk apa Allah menurunkan ayat yang tidak diketahui oleh makhluk-Nya? Bukankah hal tersebut seakan menciptakan kesan adanya ayat yang sia-sia?
Dalam hal ini, ada 2 kelompok ulama yang berselisih paham tentang makna huruf-huruf tersebut. Mayoritas ulama klasik, berpendapat bahwa adanya ayat tersebut sebagai bukti keilmuan Allah yang spesifik (al-Musta’tsar bih), dengan tujuan memberi informasi bahwa masih banyak keilmuan Allah yang tidak diketahui, dan manusia dituntut mengimani saja. Namun uniknya, mereka yang memiliki pengetahuan serta selera (dzauq) akan sastra yang tinggi, akan merasakan betapa huruf-huruf tersebut asik didengarkan, serasi ketika dialunkan, tidak diketahui secara pasti maknanya, namun indah dan menarik.
Mengapa mayoritas ulama klasik tidak memberikan tafsir terhadap ayat di atas, dan memilih bersikap fatalistik adalah karena upaya membongkar makna ayat tersebut adalah sebuah pekerjaan yang tidak berujukan, dan memang tak ditemukan penjelasan yang cukup dari Nabi Muhammad SAW sehingga memiliki resiko kesalahan yang tinggi.
Kedua, sebagian ulama khalaf berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat Al-Qur’an adalah huda (petunjuk), sehingga seluruh ayat Al-Qur’an terbuka untuk ditafsirkan. Jika ada ayat yang terus tertutup, maka fungsi ayat-ayat Al-Qur’an sebagai petunjuk tidak optimal. Atas dasar itulah beberapa ulama khalaf tidak selalu berkata “Allahu A’lam” namun berusaha memberi takwilan. Seperti ayat “Yaasiin” yang ditakwilkan sebagai nama lain dari Nabi Muhammad SAW. Abu al-Dluha mengatakan bahwa Ibn ‘Abbas adalah salah satu sahabat yang berani mengulik-ngulik makna di balik ayat tersebut.
Refrensi:
Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an: Imam Jalaluddin al-Suyuthi
Tafsir al-Qurthubi: Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi
Tafsir al-Mawardi: Abu al-Hasan Ali al-Mawardi












