Oleh Ustadz Hidayat Nur (PWNU Jawa Tengah)
Dalam pandangan fikih Islam yang saya fahami, membuat sesajen (sesaji) berupa makanan adalah terlarang, jika:
(1) Unsur idho’atul mal (menyia-nyiakan harta), yaitu meletakkan sesaji dan tidak diambil kembali. Kecuali sesaji tersebut dilakukan untuk menolak prilaku buruk jin yang seandainya tidak dilakukan, maka sesuai kebiasaan yang berlaku jin akan mengamuk atau membuat kerusakan. Maka hukum haram idho’atul mal tersebut menjadi hilang. Itupun tetap dengan satu keyakinan bahwa Allah semata yang dapat memberikan manfaat dan madhorot secara absolut.
(2) Tasyabbuh (menyerupai) dengan adat jahiliyah. Artinya, haram apabila niatan dari pelaku adalah untuk menyerupai adat jahiliyah atau menghidupkan tradisi jahiliah. Dan hukum tasyabbuh ini sangat bergantung dengan niat pelaku. Alasannya, walaupun awal mulanya tradisi ini adalah tradisi jahiliyah, akan tetapi tradisi tersebut sudah biasa dikerjakan oleh sebagian masyarakat muslim yang awam dan jauh dari agama, sehingga haram atau tidaknya tergantung niat tasyabbuh dan maksud pelaku.
Demikian mengacu pada putusan Bahtsul Masail di PP. Al-Ma’ruf Bandungsari (Grobogan Jawa Tengah) yang dihadiri pondok-pondok lain se-Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti PP. Lirboyo, PP. Ploso, PP. Mahir ar-Riyadh, PP. Raudhatul Ulum Pasuruan, PP. Al-Anwar Sarang, PP. Sidogiri, PP. MUS Sarang, dan lain-lain.
Dalam kitab Sirojul Arifin (hal. 57) disebutkan:
اما وضع الطعام والأزهار فى الطرق اوالمزارع اوالبيوت لروح الميت وغيره فى الأيام المعتادة كيوم العيد ويوم الجمعة وغيرهما كل ذلك من الأمور المحرمة ومن عادة الجاهلية ومن عمل أهل الشرك .
“Adapun meletakkan makanan dan aneka ragam kembang di jalanan, sawah, atau rumah untuk roh mayit atau yang lain pada hari-hari yang sudah menjadi kebiasaan, seperti hari raya, hari Jum’at dan selainnya, maka semua itu adalah diharamkan dan termasuk tradisi jahiliyah dan perbuatan ahli syirik”.
Dalam keputusan musyawarah ulama’ Ahlussunnah Indonesia di Arab Saudi tentang sesaji yang tercatat dalam kitab Tsamar ar-Raudhah asy-Syahiyah disebutkan: (Nukil dari situs NU online Dawe Kudus)
إن قصد بتصدق ذلك الطعام التقرب إلى الله ليكفي الله شر ذلك من الجن لم يحرم لأنه لم يتقرب لغير الله كما لا يخفى للمنصف وأما إذا قصد الجن فحرام بل إن قصد التعظيم والعبادة لمن ذكر كان ذلك كفرا قياسا على نصهم في الذبح كما في فتح المعين ج ۲ ص ٣٤٩، والجمل على المنهج في كتاب الصيد والذبائح وغيرها اه ، هذا إذا لم يكن فيه إضاعة مال كأن لم يكن فيه إلا مأكول ويؤكل، وأ.ما ماعهد الآن في بلدنا جاوة من أن فيه لبان جاؤه «منيان » والأزهار «كمباغ » وغيرهما مما لا يؤكل فحرام لأنه تصرف المال فيما لا يقصد شرعا
“Jika tujuan sedekah makanannya tersebut adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah agar Allah menghindarkan dari keburukan jin, maka hukumnya tidak haram, karena tidak adanya unsur taqarrub kepada selain Allah sebagaimana yang tidak samar lagi bagi orang yang inshof. Tetapi jika tujuannya adalah jin, maka hukumnya haram. Bahkan jika niatnya adalah ta’zhim dan ibadah kepada jin, maka hal itu adalah kekufuran diqiyaskan dengan penjelasan ulama’ dalam bab menyembelih seperti dalam kitab Fathul Mu’in dan Hasyiyah al-Jamal. Semua itu jika tidak ada unsur idho’atul mal, seperti sesajiannya adalah makanan dan kemudian dimakan. Adapun yang berlaku di tanah Jawa sekarang ini, dimana sesajiannya berupa menyan, kembang dan yang lain, makan hukumnya adalah haram karena yang tersebut menggunakan harta yang tidak sesuai dengan tujuan syari’at”.
Adapun syirik atau tidaknya sangat bergantung kepada keyakinan pelaku. Jika ia tidak meyakini jin atau makhluk halus penunggu gunung atau tempat wingit bisa memberi manfaat dan bahaya (madhorot) atau niat ibadah kepada makhluk-makhluk tersebut, maka ia tidak jatuh dalam syirik atau kufur, tetapi jika sebaliknya maka ia bisa jatuh syirik atau kafir. Tetapi hendaklah kita tidak berburuk sangka dalam hal sensitif seperti ini, apalagi sampai mengkafirkan pelakunya.
Lalu bagaimana hukum membuang atau menendang sesaji yang berupa makanan dan lain-lain? Hukumnya haram apabila makanan tersebut masih bisa atau layak dikonsumsi, karena membuang makanan masuk kaedah larangan menyia-nyiakan harta.
Memang seyogyanya menyampaikan kebaikan atau dakwah adalah dengan cara yang lebih arif tanpa menyakiti atau menyinggung perasaan kaum awam atau pelakunya. Dan dakwah seperti ini memerlukan cara atau siyasat yang baik, pendekatan akhlak, jitu dan juga terukur. Salah langkah bisa menyakiti dan justru bisa menyulut amarah mereka. Tetapi mempolisikan mereka yang kasar dan menendang sesajen menurut saya juga bukan langkah yang tepat. Perlu solusi yang baik agar semua bisa berdakwah dan menyelesaikan masalah dengan cara yang baik dan damai.