Siapa mengira dibalik megahnya kawasan industri Ngoro, ada pesantren kecil yang menyimpan sejarah dakwah Islamisasi yang menarik untuk diteliti.
PP. Sabilillah, nama pesantren itu.
Konon, dusun Watusari, tempat pesantren sabililah itu, dulunya adalah komunitas Madura. Pun termasuk Desa Jedongnya. Hanya saja komunitas madura di Jedong banyak santrinya. Sedangkan yang di Watusari banyak orang awamnya. Sehingga dua kampung itu memiliki karakter yang berbeda.
Dikampung Watusari banyak warganya melakukan molimo. Banyak kriminal, bandit, tukang sabung ayam, tukang adu jangkrik, dan lain.
Tentang keberadaan komunitas Madura di tengah orang Jawa ini, bila merujuk pada pendapat Mansyur Negara, dulu, saat banyaknya kebutuhan buruh untuk pabrik dan perkebunan Belanda, maka Belanda merekrut banyak masyarakat. Termasuk warga Madura. Hanya saja tempat bekerjanya tidak ditempatkan di lokal tempat tinggal mereka. Mereka dipindah pindahkan dari satu daerah ke daerah lain. Saat berpindah pindah itu, kebutuhan domisili menjadi hal urgen. Dan pada akhirnya domisili pekerja ini menjadi kampung.
Kembali ke Watusari.
Tersebutlah seorang pemuda diantara warga Watusari yang memiliki kesadaran berbeda. Namanya Sarmadi. Ia seorang pendekar. Banyak guru kanuragan yang didatanginya. Untuk menambah ilmunya.
Islam menghampirinya saat ia hendak menikahi seorang gadis dari desa Sugeng Trawas. Ia kemudian memperdalam Islam hingga menghantarkannya bertemu dengan KH. Qusyairi Mojosari, seorang mursyid thoriqoh Naqsabandiyah Qodiriyah. Ia banyak mencerap ilmu ilmu hikmah kehidupan. Yang kemudian ia amalkan dan ditularkan kepada lingkungannya.
Sarmadi, yang lebih dikenal dengan nama Pak Lim, menisbatkan pada nama anaknya, melakukan dakwah kepada warga Watusari. Yang ia dakwahi utamanya adalah kaum perempuan.
Kenapa? kata Ustadz Mualimin, putranya, karena perempuan memiliki pengaruh kuat dalam keluarga. Selain kepada anaknya juga kepada suaminya.
Sejarah kemudian mencatat, anak anak Watusari berbondong bondong menjadi santri TPQ-nya, yang kelak juga menjadi santri saat Pondok Sabilillah berdiri.
Ibu-ibu dibuatkan wadah untuk berkumpul dengan tahlil, yasin, dan lain lainnya. Kemudian diberi pengajian oleh Pak Lim. Dari situlah kesadaran beragama dibangun.
“Ibu ibu di Desa ini memiliki pengaruh besar. Seorang suami yang macem macem, bila di marahi istrinya, pasti akan nurut” kata Ustadz Mualimin.
Tradisi judi dan mabuk pun kini pelan pelan telah hilang. Dulu, apabila ada orang punya hajatan, sudah pasti semalam suntuk orang akan bermain judi. Tetapi setelah dibuatkan acara Pencak Dor oleh Pak Lim, akhirnya perjudian di acara hajatan lambat laun menghilang.
Dan yang unik dari Pencak Dor Pak Lim, pihak shobibul hajah hanya boleh memberi seikhlasnya saja. Tidak menarif dengan tarif tinggi. Sebab ide Pencak Dor sendiri adalah dakwah.
Personel personel Pencak Dor sendiri, oleh Pak Lim, diambilkan dari mantan mantan pendekar. Sehingga pendekar pendekar itu terangkul oleh Pak Lim. Dan kemudian menjadi tim yang solid memberi pesan dakwah kepada masyarakat.
Adu ayam dan adu jangkrik yang terpusat di Watusari, kini pun telah lenyap dengan sendirinya. Selain pendekatan personal, arus perubahan ditengah masyarakatlah yang kemudian menggilasnya.
“Dakwahnya bapak itu seperti Walisongo. Beliau tidak melawan masyarakat, tetapi dengan pendekatan pendekatan. Dan saya akui dakwah bapak itu luar biasa cerdiknya” tukas Ustadz Mualimin.
“Beliau itu yang dihafal kitab bidayatul hidayah, dan diamalkan. Sehingga laku hidupnya sangat lembut kepada banyak orang. Beliau sebenarnya mampu saja melawan, sebab beliau itu pendekar. Tapi jalan itu tidak ditempuhnya. Beliau lebih menggunakan pendekatan pendekatan personal” imbuh Ustadz Mualimin.
Puncaknya adalah berdirinya Pesantren Sabilillah. Dilihat dari vidio pembuatan pesantren yang diunggah di Youtube, sungguh sangat mengharu biru. Semua elemen masyarakat tumplek blek turut bergotong royong membangun pesantren Sabilillah. Ini memiliki arti, bahwa Pak Lim mampu menjadi icon menyatukan masyarakat dan mampu menggerakkan masyarakat untuk merasa butuh atas pendirian pesantren.
Pak Lim tak sekadar mendirikan Pesantren belaka. Tapi juga menyiapkan Kiainya. Ia sendiri tidak mungkin menjadi Kiai di Pesantren itu. Sebab dilihat dari latar keilmuannya, beliau tak memiliki kemampuan penguasaan kitab kuning. Karenanya jauh hari, Pak Lim telah menyiapkan putra sulungnya yang bernama Mualimin, dipondokkan sejak kecil.
Ustadz Mualimin mondok di PP. As Syafiiyah Ngetrep pada tahun 1991 sampai 1997. Kemudian melanjutkan mondoknya lagi ke PP. Lirboyo dari tahun 1997 hingga 2005. Satu tahun bertugas pengabdian di Probolinggo dan tahun 2007, ia pulang ke rumah.
Saat liburan pondok, Ustadz Mualimin sudah sering membuat pengajian pengajian umum berbasis kitab kuning di desanya. Karenanya saat Pondok sudah berdiri tahun 2012, ia sudah memiliki pengaruh yang mengakar di tengah masyarakat.
Tahun 2013, memperoleh santri mukim sebanyak 13 santri. Kini pesantren ini memiliki santri mukim sebanyak 83. Sedang santri TPQ-nya sebanyak 150.
Pesantren ini kemudian mengembangkan MTS dan MA. Dan terus berkembang dengan pembebasan tanah untuk pengembangan lembaga berikutnya. Saat ini PP. Sabilillah juga telah memiliki BLK (Balai Latihan Kerja) yang mempersiapkan santri santrinya selain siap ilmu agamanya juga siap dengan skill bekerja untuk kesejahteraan ekonominya.
Tak sekadar memiliki pengaruh di dusun kecilnya itu, Ustadz Mualimin juga dipercaya sebagai Ketua LBM MWC NU Kec. Ngoro. Dan juga menjadi Wakil Ketua LBM PCNU Kab. Mojokerto. Kini, beliau juga merupakan Ketua PC. Asnuter Mojokerto.
Penulis
Isno, Ketua LTN NU Kab. Mojokerto