Dulu orang orang mengenal KH. Achmad Dimyati sebagai santri yang suka tidur saat nyantri di KH. Achmad Naim. Kalau sudah duduk ngaji, ia langsung tertidur. Tetapi uniknya, saat KH. Achmad Naim bertanya tentang pelajaran yang diajarkannya, KH. Achmad Dimyati bisa fasih menjawab dibanding dengan santri lain yang tidak tidur.
Hal ini bisa jadi karena kealiman KH. Achmad Dimyati yang diatas rata-rata, bisa jadi pula karena kejadukannya yang telah dimilikinya secara turun menurun. KH. Achmad Dimyati bila ditelusuri nasabnya ke atas, akan sampai kepada jalur Joko Tingkir atau Raja Hadiwijaya (Raja Pajang). Ini sama dengan silsilah Gus Dur, bila ditelusuri ke atas akan bersambung dengan Joko Tingkir. Mungkin karena ada keterkaitan jalur, ada kemiripan kebiasaan, sering tidur tetapi bisa faham dengan pembicaraan orang disekelilingnya.
KH. Achmad Dimyati, diperkirakan lahir tahun 1929. Pengembaraan keilmuannya, ditempuh selama 3 tahun mondok di PP. Tebuireng. Kemudian melanjutkan mondok di Pondok Dzulqornain Desa Purworejo Kec. Pungging dibawah asuhan KH. Achmad Naim.
Pada saat mondok di Pondok Duzlqornain Purworejo ini, KH. Achmad Dimyati memperoleh ilmu yang berlimpah dari KH. Achmad Naim. Mulai dari ilmu syariat hingga ilmu hikmah. Tidak berhenti disitu, KH. Ahmad Dimyati melengkapi ilmunya dengan belajar tasawuf dan berbaiat thoriqoh kepada KH. Asyari-Ngoro. Beliau dibaiat sebagai murid Thoriqoh Naqsabandinyah Qodiriyah Kholidiyah.
Tentang baiat thoriqoh ini, ada cerita menarik. KH. Achmad Dimyati sebenarnya lebih dahulu berbaiat thoriqoh dibanding dengan gurunya, KH. Achmad Naim. Tetapi saat KH. Achmad Naim berbaiat, hanya waktu 40 hari, beliau langsung diangkat menjadi mursyid. Dan dikala KH. Achmad Dimyati sudah tiba waktunya menjadi mursyid, beliau tidak diangkat oleh KH. Asyari, tetapi oleh KH. Achmad Naim sendiri, gurunya.
Mungkin karena kealiman dari KH. Achmad Dimyati, sehingga KH. Achmad Naim jatuh hati merelakan putrinya untuk menjadi istri dari KH. Achmad Dimyati. Dari pernikahannya, KH. Achmad Dimyati memperoleh putra putri sebanyak 21.
Selama menjalani kehidupan pasca pernikahannya, KH. Achmad Dimyati, mengabdikan hidupnya dengan mengajar dan mengajar. Dari dalam pesantren sendiri beliau istiqomah mengajar santri santri PP. Dzulqornain Purworejo. Selain itu, beliau juga memiliki rutinan ngaji diberbagai desa-desa sekitar. Suatu saat, saat membacakan kitab kuning di daerah Mojosari, didengarkan oleh KH. Achyat Chalimi. KH. Achyat Chalimi penasaran dengan sosok pembaca kitab itu. Beliau lalu mencari sosok orang yang ngaji itu. Dikiranya adalah KH. Achmad Naim, tetapi ternyata beliau adalah KH. Achmad Dimyati.
Karena peristiwa itulah, KH. Achmad Dimyati diajak bergabung dengan Ngaji Ahadan yang dimandegani oleh KH. Achyat Chalimi. Ngaji Ahadan yang sekarang menjadi program LDNU Kab. Mojokerto, yakni ngaji keliling setiap ahad dari kecamatan ke kecamatan se Mojokerto. Pengajiannya dengan membaca kitab secara bergantian diantara para Kiai.
Selain alim kitab, KH. Achmad Dimyati dikenal sebagai Kiai Dungdeng. Pada masa masa ganyang PKI, KH. Achmad Dimyati dipasrahi bagian gemblengan kepada Pemuda Ansor. Pun saat saat pelatihan pelatihan Ansor yang membutuhkan gemblengan, KH. Achmad Dimyatilah yang bagian penggemblengnya.
Karena militansinya menyiapkan Pemuda Ansor ini, KH. Achmad Dimyati termasuk salah satu target yang hendak dibunuh oleh PKI. Bahkan beliau sudah disiapkan lubang kuburannya. Tetapi berbagai cara yang dilakukan oleh PKI, selalu gagal. Seperti upaya penyergapan, bahkan pembantaian dirumahnya, pun gagal.
Dari pengakuan Gus Ainur Rofiq, pasca peristiwa G 30 S PKI, berbagai ilmu kedigdayaan yang dimiliki oleh KH. Achmad Dimyati ditanggalkannya. Beliau khawatir apabila diteruskan, menjadikan syariatnya terpinggirkan. Pun pada masa setelah G 30 S PKI, ilmu ilmu kedigdayaan sudah tidak diperlukan secara urgen.
Meskipun demikian, KH. Achmad Dimyati tidak sepi dari tamu yang meminta amalan untuk menyelesaikan berbagai problem kemasyarakatan. Tamunya tidak berhenti. Pun dengan bisyaroh-nya. Hanya saja, KH. Achmad Dimyati orang yang dermawan. Uang yang dimilikinya banyak disedekahkan untuk dakwah Islam dan menyelesaikan permasalahan masyarakat.
Menjelang sedo-nya KH. Achmad Naim, KH. Achmad Dimyati diberi wasiat. Bila KH. Achmad Dimyati ingin tetap di Purworejo, maka diizini hanya menguatkan ilmu syariatnya saja. Sedang bila keluar dari Purworejo, maka diperbolehkan menyebarkan tarekat dan syariatnya.
Atas petunjuk para Kiai sepuh, KH. Achmad Dimyati memutuskan untuk keluar dari Purworejo. Beliau mencari tempat yang sesuai untuk dakwah menyebarkan Islam yang menjadi amanahnya. Banyak tokoh yang menawari untuk bermukim di daerahnya. Tetapi belum membuat ketetapan hati KH. Achmad Dimyati dan Istri untuk mengiyakan. Hingga akhirnya, pilihannya jatuh ke Desa Gayaman Kec. Mojoanyar. Di desa inilah kemudian KH. Achmad Dimyati membangun pesantren dan lembaga pendidikan. Serta membimbing jamaah thoriqoh Naqsabandiyah Qodiriyah Kholidiyah.
Pada tahun 1990, beliau didaftarkan Haji oleh KH. Achyat Chalimi. Bertepatan pula dengan peristiwa mina, yakni bergugurnya umat Islam diterowongan mina akibat saling berdesakan diantara jamaah. Ada 1000 jamaah yang meninggal. 600 jamaah diantaranya berasal dari Indonesia. Beruntungnya KH. Achmad Dimyati selamat dari peristiwa itu.
Dua tahun pasca Hajinya, KH. Achmad Dimyati meninggal dunia. Bertepatan dengan usianya menginjak 63 tahun. (Isno)
Rujukan Wawancara dengan Gus Ainur Rofik (Putra KH. Achmad Dimyati ke-14) di Dlanggu pada hari rabu tanggal 20 Januari 2021